
Alhamdulillah…
Dzakara asy-Syaikh Hafidzahullâhu Ta’âla wa Nafa’na Bihî wa bi Ulûmihî fid-Dârain…
Di sini dikatakan, hendaknya seorang Thâlibul-Ilim memperhatikan, bahwa umat sedang menunggunya. Umat menunggu kita semua. Jadi kita sebagai penuntut ilmu—tentu umat enggak bakalan menunggu dalam urusan agama dari orang-orang yang tidak mengerti dan tidak belajar ilmu syariat. Tidak mungkin umat menunggu penjelasan agama dari pelajar sekolah-sekolah umum. Tentunya dari para santri, kalau kita saat ini di Indonesia. Para penuntut ilmu syariah.
Jika para imam terdahulu menganggap seorang yang berilmu, sebagai orang alim—sama juga bagi penuntut ilmu—bahwa fokus dalam ilmu itu lebih utama (afdhal) daripada ibadah-ibadah sunah. Seperti yang dijelaskan pada awal kitab ini, bagaimana ucapan-ucapan ulama mengenai hal ini. Bahkan Habib Umar mengutip, bahwa menuntut ilmu lebih baik daripada 1.000 shalat sunah, dan lebih baik daripada melayat 1.000 jenazah.
Sampai dulu saya teringat, bahwa Syaikh Abdullah Awad Abdun (w. 1423 H), Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid di Malang, murid daripada al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih (w. 1411 H). Pada acara haul al-Habib Abdul Qadir, murid-muridnya minta izin untuk hadir haul. Maka kata beliau (Syaikh Abdullah)—acaranya masih sama di kota Malang—beliau tidak mengizinkan. Beliau mengatakan, “Tahu enggak, bahwa al-Habib Abdul Qadir lebih suka kepada kalian di saat kalian menuntut ilmu seperti ini!”
Sampai begitu. Kenapa? Memang haul ibadah, menuntut ilmu juga ibadah. Tapi kalau disandingkan, maka ibadah menuntut ilmu itu lebih utama dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lain. Maka jangan disia-siakan! Ini merupakan anugerah terbesar yang Allah berikan kepada kita semua.
Bagaimana mungkin dia akan menghitung waktu yang akan dia hilangkan dengan seorang teman yang sia-sia gitu (fâdhi). Masak mau dia arahkan, dia habiskan waktu, meskipun sedikit? Tidak ada dia memberi faedah, tidak pula dia mengambil faedah, cuman ngobrol, majlas, nyantai, misalnya. Apa untungnya? Bagi penuntut ilmu, berteman dengan orang-orang semacam itu merupakan sebuah kerugian yang besar.
Dan ini, subhânallâh, kadang kita temukan orang-orang taat yang seperti itu malah jadi bahan bullying oleh teman-temannya yang lain, karena dia terlalu fokus dalam ilmu. “Wah ini mah terlalu Alim!”, “Ya Ini mah terlalu tegang!”, “Ini mah terlalu taat!”, “Awas orang baik itu cepat mati!” katanya. Kadang sampai digituin, tapi Shahibu Himmah dan mengerti nilai sebuah waktu, dia enggak akan menyia-nyiakan waktunya. Dia akan bertambah, bertambah, bertambah! Kalau enggak menulis, ya membaca; kalau enggak membaca, ya belajar (mudzâkarah).
Gimana kalau berjam-jam harus dia sia-siakan dengan sia-sia. Artinya, harus dia hilangkan dengan sia-sia. Hal itu bukan hanya sekedar terjadi sehari atau dua hari, tapi berhari-hari yang berulang-ulang. Habis waktu untuk itu saja. Tentu ini merupakan sebuah kerugian yang nyata. Na’ûzubillâh!
***
Imam as-Sakhawi (w. 902 H) seorang pakar Tarikh (sejarawan) yang luar biasa, pakar hadis yang luar biasa, karangannya banyak. Di antara karangannya yang terkenal adalah adh-Dhau’ul-Lâmi’, menerangkan Fil-A‘yân al-Qarni as-Sâbi’. Tentang biografi para ulama yang hidup pada Abad ke-XII Hijriah. Beliau mengatakan tentang biografi gurunya, al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H). Imam Ibnu Hajar digelari dengan “Amirul Mukminin fil-Hadis”. Sampai-sampai di masanya itu, karya Ibnu Hajar ditulis dengan tinta emas, di masa hidupnya Ibnu Hajar.
Karangannya menjadi hadiah berharga di kalangan raja-raja. Jadi seorang raja, pejabat, menteri, di saat itu bila mendapatkan hadiah karya Ibnu Hajar, merupakan sebuah hadiah yang sangat berharga. Itu di zamannya. Ibnu Hajar ini dari kecil sudah ahli di bidang bahasa, mengucapkan syair dengan Irtijâl(baca: improvisasi antara “dinamika ucapan” dengan “dorongan emosional” sehingga melahirkan bahasa verbal yang indah). Luar biasa!
Ibnu Hajar al-Asqalani, murid daripada al-Imam al-Iraqi (w. 806 H). Beliau mengarang kitab banyak sekali, di antara karangannya yang fenomenal adalah kitab “Fathul-Bâri”, syarah atas kitab “Shahihul-Bukhâri”. Sebelum Ibnu Hajar sebenarnya sudah banyak para ulama yang mengarang syarah daripada Shahihul-Bukhâri. Orang yang sezaman setelah Imam Ibnu Hajar banyak juga mengarang kitab syarah Shahîhul-Bukhâri, seperti Imam al-Aini (w. 855 H), juga Imam Maula Ali al-Qari (w. 1014 H), dan lain sebagainya.
Tetapi yang terbaik dari sekian syarah-syarah yang ada, adalah kitab Fathul-Bâri yang dikarang oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani. Sampai ada istilah “Lâ Hijrata Ba’dal-Fath, itu aslinya hadis Nabi Muhammad. Yang mengatakan, “Lâ Hijrata Ba’dal-Fath”, setelah penaklukan Makkah enggak perlu lagi ada hijrah. Artinya enggak wajib bagi kaum muslimin untuk hijrah, sebab Makkah sudah menjadi negara Islam (Dârul-Islâm). Setelah ditaklukkan oleh Nabi Muhammad. Artinya, ente tinggal di Makkah atau di Madinah sama saja, tidak ada kewajiban pindah. Begitu redaksi hadisnya.
Ketika kemudian orang-orang membaca kitab Imam Ibnu Hajar yang berjudul Fathul-Bâri, para ulama juga mengatakan: “Lâ Hijrara Ba’dal-Fath”, enggak perlu kitab yang lain lagi setelah adanya kitab Fathul-Bâri. Sehingga dikatakan, bahwa jika Imam Bukhari (w. 256 H) itu memiliki jasa besar terhadap umat ini, maka Imam Ibnu Hajar punya jasa besar kepada Imam Bukhari. Sebab kitab Fathul-Bâri yang dikarang oleh Imam Ibnu Hajar sangat luar biasa, membantu sekali, dan memenuhi segala yang diinginkan oleh umat.
Belum lagi karangan beliau lainnya, seperti kitab Bulûghul-Marâm, kitab Nukhbatul-Fikr, dan kitab lain sebagainya. Banyak karangan-karangan beliau. Alaihi Rahmatullâh.
Imam Ibnu Hajar Pernah menjadi Qadhi, dipecat, diangkat lagi. Pada akhirnya beliau mengundurkan diri, fokus (tafarugh) berdakwah dan mengajar. Punya murid namanya Imam as-Sakhawi yang luar biasa, pintar, dan cerdas. Kata Imam as-Sakhawi, menyebut beberapa hal penyebab yang mencetak sosok Ibnu Hajar seperti itu, menjadi “Amirul Mukminin fil-Hadis, Faqih dalam Mazhab Syafi’i. Kenapa kok ada seorang yang seperti Imam Ibnu Hajar? Kenapa tercetak seorang penuntut ilmu yang melahirkan banyak ulama? Apa penyebabnya? Kan ada perangkat, ada penyebab, tidak serta merta!
Maka dikatakan: “Di antara yang menyebabkan Imam Ibnu Hajar ini hebat, adalah teman-temannya. Di mana teman-teman beliau itu mencapai puncak dalam nilai keagamaan, tawadhu’, punya perhatian besar terhadap urusan ilmu, dan lain sebagainya. Punya perhatian besar terhadap ilmu!”
Itu teman-temannya Imam Ibnu Hajar. Jadi teman-temannya membantu Imam Ibnu Hajar bergantian membaca, kalau lagi capek atau punya kerjaan. Lagi sibuk, ada yang bacain kitab. Kadang ada yang nulisin, bantu nulis. Kadang Ibnu Hajar juga bantu nulis untuk teman-temannya. Minjemin kitab, pulpen, dan sebagainya. Saling tolong-menolong dalam mencetak diri mereka sendiri, untuk menjadi seorang yang alim. Bukan mikir diri sendiri aja, tapi kebersamaan itu yang menciptakan seorang Ibnu Hajar.
Dan ada waktu khusus untuk mereka belajar (mudzâkarah). Mudzâkarah ini penting, ia lebih baik empat kali lipat daripada hafalan. Kalau kita sedang musyawarah atau kita ajarkan ilmu, bahkan ilmu yang diajarkan itu “Al-Ilmu Yanmû bil-Infâq”. Yang tadinya kita kurang paham, sekali baca lalu diajarkan, kedua kalinya sudah paham benar. Atau kita berdebat dengan teman, saling mengasah otak, itu faedahnya luar biasa. Bahstul-Masail bukan sekedar buat hiburan, tetapi memang benar-benar. Bagaimana caranya mengembangkan, di samping kita belajar untuk berani, belajar untuk tampil, belajar untuk bicara. Itu penting. Banyak orang pintar, baca ini, baca itu. Pas giliran suruh ngajar kagak bisa, suruh ceramah kagak bisa. Atau ilmunya hilang, karena tidak adanya Mudzâkarah.
Sehingga seorang penuntut ilmu hidup dengan teman-temannya sebagai penuntut ilmu sejati, benar-benar hidup. Semuanya berisi ilmu dan mudzakarah. Kalau ngomongin yang lain, udah deh! Ngomongin tentang isu yang viral di luar, tentang isu ini. Enggak penting! Isu politik, semisal isu ekonomi, ngapain kita mikirin ekonomi? Belum waktunya! Mikirin ini, mikirin itu. Apalagi mikirin Harim. Yang diomongin hal-hal negatif yang seperti itu.
Bagaimana mungkin seorang penuntut ilmu, semestinya dia tidak menoleh ke mana-mana, tidak ke kanan tidak ke kiri, tapi dia fokus satu sama lainnya saling melengkapi, satu sama lainnya saling membantu, bersabar dalam menuntut ilmu. Kita kalau belum bisa merasakan pahitnya menuntut ilmu, kadang datang jenuh, kadang datang sumpek, kadang datang gangguan, ada iseng dari orang, kita bersabar. Ada cobaan ini, cobaan itu, biasa. Tapi fokus kita adalah ilmu. Tapi kalau cobaannya adalah “ilmu”, itu baru yang bahaya. Apa? Malas, itu bahaya. Cobaannya, pengin ngobrol aja, pengin bercanda yang tidak ada gunanya.
***
Hadis Nabi Muhammad,
أَحَبُّ الْأَسْمَاءِ إِلَى اللهِ عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، وَأَصْدَقُهَا حَارِثٌ وَهَهَام، وَأَقْبَحُهَا حَرْبٌ وَمُرَّةٌ
Ahabbul-Asma Ilallah, sebaik-baiknya nama di sisi Allah itu adalah Abdullah dan Abdurrahman. Ma ‘ubbidah, Abdullah, Abdurrahman, Abdul Hadi, Abdur Raqib, pokoknya yang di situ ada unsur Asmaul Husna.
Kemudian paling nama jujur itu Harits dan Hamam. Harits maknanya “orang yang memiliki semangat untuk mencari dunia.” Iya kan namanya orang pasti kerja ini itu, pengin makan, pengin minum, berusaha. Hamam dan Haris itu maknanya berusaha. Begitu pula dalam urusan ibadah dan kebaikan, semuanya bisa bangkit dengan semangat masing-masing (himmah). Siapa yang lebih bersemangat, lebih bangkit melakukan shalat malam sebelum yang lain. Shalat duhanya lebih, baca Qurannya lebih banyak.
Atas dasar ini kami sempat belajar kepada sebagian guru-guru kami, Rahimahullâhu Ta’âla Jamî’ahu fil-Ilmi wal-Amali. Mari kita dengarkan bagaimana. Sampai-sampai pernah salah satu guru beliau (Dr. Muhammad Awwamah) anaknya meninggal, enggak ikut menguburin, karena sibuk dengan madrasah. Cuman sampai di halaman, udah. “Selama tinggal anakku!” Anaknya yang paling disayangi! Sampai segitunya. Kenapa? “Saya sibuk dengan Madrasah!”
Ada yang meninggal istrinya, dipikir sama murid-muridnya enggak masuk kelas, “Guru enggak bakalan datang”. Eh ternyata, tetap aja ngajar. Karena ya seperti itu, duka ya duka, katanya. Meninggal ya meninggal. Sedih ya sedih. Memang sedih, tapi ilmu ya tetap ilmu. Itu kan yang kita dengar dan kita baca pada pelajaran-pelajaran yang lalu.
***
Di antara tugas utama para guru dan para ustadz yang memang pendidik sejati, adalah mengingatkan para penuntut ilmu. Terutama yang masih pemula, seperti kita ini. Mengingatkan akan bahaya berteman dengan teman-teman yang bukan satu circle-nya, bukan dalam kelompok mereka, bukan dari penuntut ilmu. Nah, kalau sudah memiliki teman yang seperti itu, “Ini berbahaya”, sambil diingatkan gitu! Setahun, 2 tahun, 3 tahun, sampai beberapa tahun.
Atau teman-teman mereka sebelum berafiliasi (Intisâb) kepada ilmu syariah, sebelum menjadi santri, maksudnya. Mengingatkan mereka bawah ini tugas seorang guru. Mengingatkan dengan ucapan Nabi Muhammad yang mengatakan:
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ: إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً.
“Perumpamaan teman baik dengan teman yang jelek, seperti penjual atau tukang minyak wangi dan tukang pandai besi.” (Hadis Muttafaq Alaih)
Kalau tukang minyak wangi, kadang kalau engkau duduk bersama dia, paling ngasih sama kamu. Kita datang ke toko-toko minyak wangi, disuruh nyoba. Nih, ini enak nih baunya. Padahal kagak beli. Atau paling tidak kamu beli darinya, jadi wangi. Atau paling tidak, lewat saja di sepanjang Jalan Raya Condet, banyak penjual minyak wangi, tercium wangi kan. Coba lewat di tempat-tempat pembuangan sampah, laler yang kita lewati. Ini perumpamaan, seperti itu.
Kalau kamu duduk sama tukang las besi, adakalanya kena bakar, paling tidak itu percikan-percikan apinya kena bajumu, akan membakar bajumu. Gimana itu baunya kalau besi lagi di las, sedap? Enggak enak! Nah seperti itu teman, paling tidak kalau temannya lagi macam-macam, ente juga kena. Kalau temannya melanggar. “Jangan-jangan bareng Fulan”, padahal dia enggak ikut-ikutan, misalnya. Cuman karena temenan, “Ah ini dia nih, pasti ini barengan.” Karena satu circle, satu geng.
Diingatkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka lihatlah siapa yang dia temenin!”
Hadis riwayat Ibnu Abbas:
قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيُّ الْجَلَسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: مَنْ ذَكَرَكُمُ اللهَ رُؤْيَتُهُ
“Ada orang nanya kepada Nabi, ‘Teman-teman yang perlu kami temani itu siapa yang baik, ya Rasulullah?’ Kata Nabi: ‘Orang yang dengan memandangnya mengingatkan engkau kepada Allah!’”
Bukan pas mandang ingat game, pandang dia inget game. Kenapa? Dia kalau cerita game jago, dia cerita game online itu macam-macam, ada yang ini ada yang itu. Sehingga dia identik dengan hobi game, ngelihatnya ingat game. Orang kalau ngelihat dia, ketemu dia, pikirannya “Game apa aja yang baru ya kira-kira?”
Ada orang yang “Gibol”, tahu gibol? Gila bola. Kalau cerita bola, dia menceritakan dari “Alif” sampai “Ya’” (awal-akhir), tahu semua seluk-beluknya. Kita ngelihat orang yang semacam ini, akan bilang ingat bola. Kayak Ronaldo. Sebab dalam otaknya dan dalam kesehariannya adalah seperti itu.
Tapi kalau orang yang kesehariannya dengan Allah, ahli dzikir, tawadhu’, memandangnya itu mengingatkan kepada Allah. Memandang dia, ngelihatnya: “Masyaallah”. Ini orangnya tidak macam-macam, orangnya ahli shalawat. Ingatnya begitu, dengan memandangnya saja.
Kata Nabi tadi, temenin orang yang memandangnya saja membuat engkau ingat kepada Allah. Kalau ngomong menambah pengetahuanmu, ilmumu. Bukan semakin gelap, bukan malah bikin bingung, malah bikin semakin berani kepada Allah, berani maksiat, berani melanggar, berani macam-macam. Jangan temenin yang kayak gitu.
Dan amalnya mengingatkan dirimu kepada akhirat. Nah ini baru sebagai teman, ini yang semestinya diingatkan. Kita ingatkan tiap saat, tiap waktu akan hal ini, agar kita jangan salah memilih teman. Dan semestinya kita udah segini-gininya teman, kan cuman berapa orang santri sini? Udah begitu, tidak sanggup menciptakan suasana yang kondusif dalam menuntut ilmu, sungguh sangat rugi! Ini kesempatan, saling mendukung satu sama lain. Jangan sampai ada yang menjadi produk gagal. Tahu produk gagal? Afkîr, katanya. Akhirnya dibalikin (ke pabriknya).
Jadi benar-benar sesuai dengan yang diinginkan, baik diinginkan dirinya, orang tuanya. Paling tidak kita berkhidmah, berbakti kepada kedua orang tua. Dan dengan ketaatan kita, kesungguhan kita, semangat kita, insyaallah akan Allah beri Futûh kita semua, Allah berikan kebaikan untuk kita semua. Maka mudah-mudahan Allah berkahi hidup kita, waktunya diberkahi, teman-temannya diberkahi, semuanya diberkahin oleh Allah.
Alfatihah Ilâ Hadratin-Nabi Muhammadin Sallallahu Alaihi Wasallam, Alfatihah!
MATERI: MA’ALIMUL-IRSYADIYAH LI SHINA’ATI THALIBIL-ILMI
KARYA: DR. MUHAMMAD AWWAMAH
video full https://www.youtube.com/live/tbJlxx8k84M