
Alhamdulillâh. Wash-Shalâtu was-Salâmu ‘Alâ Sayidina Rasulillâh, Muhammad ibni Abdillâh, wa ‘Alâ Alihî wa Shahbihî wa Man Wâlah…
Dikatakan oleh Syaikh Muhammad Awwamah, Hafidzahullâhu Ta’âla wa Nafa’anâ Bihî. Amîn…
Semestinya bagi penuntut ilmu terutama bagi yang bukan sejenisnya, bagi orang yang bukan sesama penuntut ilmu, terutama lagi bagi orang yang banyak mainnya, banyakan main. Dan mikirnya terlalu pendek, artinya hanya memikirkan hal-hal yang bersifat jangka pendek. Ada orang itu berpikir jangka panjang, ada orang berpikir jangka pendek.
Orang yang berpikir jangka panjang adalah orang yang memikirkan masa depannya, yang memikirkan kesuksesan di masa yang akan datang. Adapun orang yang hanya mikir jangka pendek, itu mikirnya yang penting senang hari ini, terserah nanti gimana. Nah itu, ada tipe-tipe manusia yang seperti itu. Sehingga Yang penting dia girang hari ini, besok mau jungkir balik, mau apa, mau jadi gembel, enggak ada urusan. Yang penting hari ini dia senang. Maka orang yang semacam itu, dia hanya memikirkan kesenangan yang sesaat. Dan ini menjadi perumpamaan bagi Allah. Allah mengumpamakan:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا
Siapa yang ingin cepat-cepat, akan Aku (Allah) percepat. Tapi di akhirat, dia enggak mendapatkan bagian.(QS. Al-Isra’ [17]:18)
Ini yang bersifat jangka lebih panjang lagi. Tapi hal yang lebih dari itu, artinya seseorang yang ingin masa depannya cerah:
مَنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ بِدَايَتِهِ مُحْرِقَةٌ، لَمْ يَكُنْ فِيْ نِهَايَتِهِ مُشْرِقَةٌ
Siapa orang yang awalnya tidak terbakar, tidak ada pengorbanan yang dia alami, yang dia lakukan, tidak ada perjuangan, enak-enak aja hidupnya. Itu pun juga enggak selamanya enak, orang hidup ya mesti ada enggak enaknya. Maka enggak ia mungkin bercahaya, enggak ada itu mengkilap.
Tahu batu? Batu cincin? Itu asalnya gimana batu cincin? Layaknya batu biasa. Tapi bagaimana berproses, sehingga menjadi sebuah permata yang berharga? Prosesnya panjang! Di keluarin dulu, habis itu dipukul dengan palu, dipukul, dipukul. Habis dipukul, digergaji. Jadi prosesnya panjang. Sudah digergaji, berbentuk, digosok. Digosoknya lama sekali, digosok begini, digosok begitu. Baru mengkilap, terlihat bagus. “Oh ini rupanya batu yang mahal.” tadinya sama dengan batu-batu yang lain.
Begitu pula manusia, di saat dalam hidupnya tidak melalui fase-fase dan proses mujâhadah, dan itu sunatullâh. Jadi enggak ada ceritanya orang sukses tanpa melalui perjuangan, enggak ada! Termasuk anak Raja misalnya, yang mereka sukses nantinya bisa mengemban dan menjadi penerus dari orang tuanya dalam memimpin negara, mengelola hartanya yang banyak. Pasti kalau mereka berhasil, akan melalui sebuah proses yang panjang.
Harun ar-Rasyid (w. 766 H), suatu saat menitipkan anaknya, ke satu tempat. Harun ar-Rasyid, Khalifah Abbasiyah yang paling terkenal. Suatu saat anaknya dititip untuk belajar di satu tempat, kepada seorang Syaikh. Beliau datang menjenguk anaknya, yang namanya orang tua kadang kala kangen, pengen ketemu sama anaknya. Pas ketemu anaknya, dia masuk di situ, ternyata syaikh itu sedang wudhu dan anaknya sedang menuangkan air. Ini anaknya Raja, anaknya presiden, sedang menuangkan air untuk syaikh-nya wudhu. Kata Harun ar-Rasyid, beliau bilang: “Wahai Syaikh, kenapa cuma disuruh tuangkan air? Suruh dia juga menggosokkan anggota wudhu-mu. Jangan hanya dia menuangkan air, atau hanya ngambilin air, suruh dia lebih dari itu!”
Kenapa? Agar dia mengalami sebuah proses, proses pembakaran. Ini kayu “Gaharu”, enggak ada bau kalau dibiarin. Kalau dibakar, baru akan kecium baunya. Begitu pula segala sesuatu. Seseorang yang melalui proses, dia mengorbankan waktunya, dia mengorbankan kesenangannya, dia korbankan keinginan-keinginannya, kekanak-kanakannya, sebagai seorang anak-anak kan lebih cenderung untuk main-main. Tapi dia lewatin itu semua, dia bersabar, maka dia akan menjadi seorang yang sukses di masa depan. Itu sunatullâh.
Tahu sunatullâh? Sunatullâh ini hukum alam, maksudnya air tidak mungkin naik ke atas. Itu hukum alam namanya. Yang namanya air, turunnya, ngalirnya pasti ke bawah. Dan itu harus terjadi.
Jangankan kita, Nabi Muhammad, sang kekasih Allah yang diistimewakan, beliau yang berkata:
كُنْتُ نَبِيًّا وَأَدَمُ مُنْجَدِذَةٌ فِيْ طِيْنَتِهِ
Aku seorang Nabi dari dulu. Aku seorang Nabi dari sebelum terciptanya Nabi Adam. Nabi Adam masih berupa tanah, aku sudah menjadi seorang Nabi.
Namun bagaimana proses bumi ini? Karena beliau hidup di bumi. Bukan hidup di langit, bukan hidup di surga. Tapi hidup di bumi. Harus melalui proses. Lahir yatim. Lahir dalam keadaan yatim. Habis itu hidup terlunta-lunta, yang mengasuhnya orang miskin, pamannya, Abu Thalib. Sehingga kadang kala Nabi untuk sesuap makan itu, biar beliau dapat suatu untuk mengganjal perut, harus mencari upah berupa menggembala kambing. Beliau yang mengatakan (masih kecil saat itu) katanya:
مَا مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا وَ يَرْعَى الْغَنَمَ
“Tidak ada seorang Nabi, melainkan pasti mereka mengembala kambing. Dan aku mengembala kambing, hanya demi sejumlah kecil uang receh.” (HR. Imam Ibnu Majah)
Maksudnya, buat dapat uang receh. Sampai kadang beliau nginep. Ceritanya ketika beliau sedang mengembalakan kambing, tahu-tahu terdengar di bawah orang-orang lagi berpesta. Masyarakat Quraisy lagi berpesta. Temannya yang menemani Nabi saat itu bilang: “Muhammad, kita harus turun nih.”
Mereka kalau berpesta itu nyembelih unta, mabuk-mabukan, minum-minuman khamer, kemudian nari-nari, bahkan kadang kala menari dalam keadaan telanjang di depan Kakbah. Itu orang gila namanya, jahiliyah, masyarakatnya masyarakat gila. Enggak beraturan, enggak punya rasa malu, enggak punya perasaan.
Nabi diajak oleh temannya: “Muhammad, ayo dong. Entar kita ketinggalan!”
Akhirnya beliau turun. Itu artinya, biasanya beliau nginep di tempat itu. Sampai nginep-nginep di pinggir-pinggir gunung. Itu sosok seorang Nabi, yang diistimewakan oleh Allah, bahkan paling istimewa di muka bumi ini. Tapi harus melalui proses, harus melalui jalannya, jadi enggak ada yang tahu-tahu gitu. Makanya dikatakan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib (w. 40 H):
لَوْ كَانَ الْعِلْمُ بِالتَّمَنّيْ لَماَ يُوْجِدَ فِيْ الْبَرِيَّةِ جَاهِلَا
Seandainya ilmu itu cukup dengan harapan—pengen pintar tahu-tahu jadi pintar gitu, kayak mesan Go Food. Pengen ini tinggal klik itu, tahu-tahu datang! Kagak, ilmu enggak begitu—kalau seandainya bisa diraih dengan cara itu, maka enggak ada yang bodoh di muka bumi ini. Pasti orang pengen pintar semuanya.
Tapi kehendak Allah, hikmah dari Allah, bahwa ilmu itu merupakan suatu hal yang mahal, sesuatu yang langka, meraihnya tidak gampang, harus melalui proses, harus melalui perjuangan, harus melalui pengorbanan. Termasuk meninggalkan teman-temannya, meninggalkan hal-hal yang tidak ada gunanya. Makanya, Bazi’uzzaman Said an-Nursi (w. 1379 H) pernah mengatakan:
إِنَّ الْعِلْمَ لَا يُرَى فِيْ الْمَنَامِ وَلَا يُوْرِثُ مِنَ الآبَاءِ وَالْأَعْمَامِ وَلَا بِالسِّهَامِ، وَلَكِنَّ الْعِلْمَ يُدْرَكُ بِتَرْكِ الْمَنَامِ
Ilmu itu tidak bisa dilihat dalam mimpi, enggak ada ceritanya. Kalau kita pernah mendengar ada ulama tahu-tahu mimpi, pas bangun-bangun jadi orang alim. Kalaupun ada, itu sejuta satu, bukan 1001. Itu pun kalau ada, tapi harus melalui proses.
Seperti Syaikh Ali bin Abdullah Baras (w. 1094 H), murid dari al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas (w. 1072 H). Tahu itu, proses beliau mendapatkan futûh? Lebih parah lagi! Beliau lagi ngajar bawa kitab, dilarang sama gurunya: “Jangan, jangan, jangan. Ngapain kamu bawa kitab. Pergi sana, gembala kambing!”
Berangkat, gembala kambing. Udah deh besok belajarnya. Akhirnya besok datang lagi, datang mau belajar, beliau di tegur: “Ngapain duduk di sini? Cari kayu sana!”
Di siksa sedemikian rupa, karena tahu gurunya ini orang serius, orang benar-benar, pengen mendapatkan ridha Allah, pengen mendapatkan ilmu. Akhirnya melalui proses yang seperti itu, baru kemudian setelah dirasa sudah cukup, enggak serta-merta langsung alim. Disuruh baca kitab dulu, disuruh baca kitab Bidâyatul–Hidâyah, ternyata karena keseriusan dan kesungguhannya di futûh oleh Allah. Baca kitab Bidâyatul–Hidâyah, beliau paham banyak hal. Belajar gampang, akhirnya segala ilmu, segala kitab, ilmu hadis, ilmu tasawuf terutama, semuanya beliau kuasai.
Sampai beliau punya kitab namanya Syarhul–Hikam, yang dikarang oleh Imam Ibnu as-Sakandari (w. 709 H). Beliau punya karangan yang besar itu. Alim jadinya. Itu Syaikh Ali bin Abdullah Baras. Jadi prosesnya juga panjang, bukan gampang, tidak serta-merta.
***
Nah di sini di katakan, jika tabiat itu mencuri atau menular. Jadi orang yang pemalas, orang yang tadinya enggak suka main, duduk dengan orang-orang yang main, yaudah jadi suka main. Duduk dengan orang-orang yang suka lalai, jadi orang yang lalai juga. Dan seterusnya.
Sedangkan pengaruh dari pergaulan itu dapat menyia-nyiakan umur tanpa faedah. Dan semestinya bagi penuntut ilmu tidak bergaul, kecuali dengan orang-orang yang memberinya faedah, atau orang yang dia mengambil faedah darinya. Jadi kita kalau enggak belajar, ya mengajar. Jadi kalau ada orang yang belajar sama kita, yaudah enggak apa-apa. Kita bersabar dengannya, ajarin yang bisa kita bisa. Sebaliknya, atau kita belajar dengan orang itu. Alhamdulillâh, dengan cara yang seperti itu banyak faedah.
Pernah saya katakan, bahwa pengaruh guru dan orang tua, didikan guru dan didikan orang tua, itu tidak lebih daripada 35% bisa mempengaruhi seseorang. Selebihnya dari mana? Dari lingkungan dan pergaulan. Jadi, orang tuanya hebat, orang tuanya getol mendidik anaknya, orang tuanya pengen anaknya jadi orang yang sukses dan hebat, misalnya. Udah sampai bersabar, ini itu dikerjain semuanya, itu belum tentu masuk pada anaknya, baik didalam keilmuan dan termasuk dalam karakter. Gurunya juga sudah pontang-panting biar dia paham, biar dia tahu ini itu. Itu akumulasi dari kedua orang tadi (orang tua dan guru).
Nah, sisanya 65% itu dari teman. Maka beruntung orang yang memiliki teman, yang temannya itu mendidiknya, membawa kepada kebaikan. Dan salah satu daripada pertolongan (taufîq) dari Allah, kita memiliki teman yang teman itu mengajak kita untuk sukses, yang teman itu membuat kita semangat belajar, yang teman itu memberi pemahaman yang benar bagi kita. Beruntung orang yang demikian.
Banyak contohnya yang seperti itu, hampir rata-rata teman-teman kita yang belajar—baik di Indonesia waktu belajar, ataupun sewaktu di Hadramaut—rata-rata mereka yang sukses itu circle-nya kalau bahasa sekarang, lingkungan dan pergaulannya itu di kalangan orang-orang yang suka belajar. Jadi itu pergaulannya. Ada anak ini yang Takhassus Hadis, ini Takhassus Fiqih. Yaudah kemana-mana bawa kitab, yang dibicarakan tentang ilmu, tentang perkembangan ilmu. Sehingga terangsang seseorang itu, akhirnya terpacu baginya untuk belajar lebih banyak. Maka jadi orang yang sukses.
Bila mana ada orang yang memaksa atau ingin berteman dengan kita, dan orang itu termasuk orang yang menyia-nyiakan umurnya. Belajarnya males, kagak semangat. Maka apa? Kita enggak ambil faedah dari dia, dan dia pun enggak ngambil faedah keilmuan dari kita; pun juga tidak membantu kita dalam menuntut ilmu. Maka hendaknya pelan-pelan untuk memutus hubungan dengannya. Artinya bukan memutus silaturahim, bermusuhan atau apa. Enggak! Tapi memutus pertemanan, yang intens. Kalau sekedar kenal, enggak jadi masalah.
Tapi kalo dari awal udah begitu, “Wah ini kayaknya buang-buang waktu.” Tiap hari datang, datangnya ngajak main gaplek, tiap hari ngajak main game, buang-buang waktu. “Eh ayo, kita ke rumah.” Atau bilang, “Bawain playstation ya.”
Kadang manusia itu karena sesuai dengan nafsunya, cenderung senang. “Wah ini orang benar-benar perhatian sama saya.” “Ini teman baik ini.” Padahal dia teman yang disusupin setan, biar kita enggak belajar, biar kita asyik, hanya ngurusin itu itu aja. Akhirnya kita pas gede, udah waktunya terjun di masyarakat, ternyata enggak bisa apa-apaan, enggak tahu caranya bergaul, enggak tahu caranya adab-adab, enggak ngerti. Suruh ceramah, enggak bisa. Akhirnya jual ludah. Tahu jual ludah? Ngebohongin orang, nipu orang!
Dari awal putus saja, sebelum benar-benar erat dan sulit untuk melepaskan diri darinya. Sebab sesuatu itu bila mana sudah mantap, sulit untuk dihilangkan. Akan sulit menghilangkannya. Dan di antara istilah para fuqaha, para ahli fikih mengatakan: “Menolak atau mencegah itu lebih baik daripada menghilangkannya.”
Orang sebelum sakit dia jaga diri, mumpung belum sakit. Karena kalau sudah sakit, ngobatinya sulit. Orang sebelum kena kolesterol jaga diri, jangan sampai membuat dirinya kena kolesterol. Sebelum dirinya kena diabetes, misalnya. Jangan makan yang terlalu manis-manis, jangan karbo-nya terlalu diikutin, sebelum kena. Kalau sudah kena, repot. Harus pantang ini, pantang itu. Itu pun kadang enggak menyembuhkan. Makan obat ini, obat itu. Repot.
Dikatakan, sebelum kita berteman terlalu akrab, sulit untuk dipisahkan. Dari awal sudah enggak mendukung nih. Karena kalau sudah kumpul terus, sulit untuk dipisahkan. Bila mana dia butuh untuk berteman dengan orang yang harus ditemani, karena hidup ini enggak mungkin hidup sendiri. Mau gimana pun juga manusia ini enggak bisa hidup sendiri, pasti butuh teman, butuh orang lain yang membantu, yang mendukung.
Tapi kalau harus terpaksa dan harus mencari teman, maka carilah teman yang saleh, yang religius, yang kuat keagamaannya, “taat” maksudnya. Kalau zaman sekarang diistilahkan Alim. “Wah ini orang alim.” Jadi alim itu bukan punya ilmu, enggak. Sehingga nanti ada istilah, “Sok alim.”
Maksudnya di sini, orang yang religius beragama dengan baik, yang bertakwa, yang wara’ dan cerdas. “Cerdas” itu maksudnya mengerti tentang cara hidup yang benar. Itu orang cerdas. Ada orang itu enggak cerdas, yang dipikirkan kesenangannya aja, yang dipikirkan nafsunya aja, gimana melampiaskan syahwatnya. Itu itu doang. Itu namanya bodoh orang yang seperti itu. Makanya dikatakan,
الْكَيْسُ مَنْ دَنَا نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
Orang yang intelektual, orang yang cerdas itu orang yang menghisab dirinya, introspeksi terus. Untuk apa? Untuk perbaikan kedepan, tidak pernah puas dengan dirinya. Ada orang itu puas dengan dirinya, “Udah saya cukup ini, ilmu sudah cukup, ibadah kayaknya udah mantap.” Nah ini orang enggak benar ini.
Tetapi juga memikirkan jangka panjang, setelah kematian pun dia pikirkan. Jangankan masa depan, masa tua, masa dewasa; masa dia mati pun dia pikirkan. “Saya kalau mati ini gimana, bahagia atau tidak? Tentram atau tidak?”
Udah dipikirkan sampai ke sana, berarti ini orang cerdas. Ini perlu ditemenin, orang yang semacam ini. Banyakan baiknya, kejelekannya dikit, bagus cara bergaulnya, sedikit menipu atau hal-hal yang jelek. Bila lupa mengingatkan, kalau ingat dibantu, kalau lagi susah dibantu, kalau butuh ditolong, kalau lagi sumpek lagi bosan disabar-sabarin, dikasih semangat.
Bukan malah ikutan, “Aduh sumpek sekolah, sumpek ini.”
Disabar-sabarin, sabar. “Bukan begitu, insyaallah begini yang bener.”
Bukan malah sebaliknya, ada teman, “Duh ana sumpek.”
“Yaudah pulang aja, pulang. Kabur aja.”
Yang demikian ini bukan nyari solusi, tapi namanya nyari penyakit.
***
Para ulama ahli tasawuf dan akhlak ulama, artinya ahli tasawuf, ahli suluk. Itu memiliki pembahasan yang panjang lebar tentang masalah berteman ini. Mereka sangat memperhatikan dan dianggap penting sekali bagi ahli tasawuf. Makanya mereka dalam thariqah itu nanti ada istilah “Ikhwân”, teman-teman. Siapa teman-temannya, bagaimana cara mencari teman yang saleh dan memberi nasihat.
Di antara nasihat dan wasiat mereka dalam masalah ini, yang paling agung adalah yang diucapkan oleh Imam al-Hakim—maksudnya imam yang sangat bijaksana—namanya Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari. Beliau mengatakan,
لَا تَصْحَبْ مَنْ لَا يُنْهِضُكَ حَالُهُ، وَلَا يَدُلُّكَ عَلَى اللهِ مَقَالُهُ
“Janganlah engkau berteman dengan orang yang tingkah lakunya tidak membuat engkau bangkit, engkau hidup, engkau ingat kepada Allah, engkau semakin taat. Dan ucapannya tidak membawa engkau kepada Allah.”
Jangan temenin kecuali orang yang seperti itu. Jadi keadaannya mengajak kita untuk bangkit, untuk semangat, untuk produktif. Tahu produktif? Orang itu biasanya menghitung ilmu yang didapatkan hari ini dapet berapa?
Sebetulnya menuntut ilmu itu kalau serius, enggak perlu lama-lama. Dan kalau sudah kebuka, ilmu yang lain gampang. Ibarat kita berjuang di tengah hutan, babat ini, masuk ini, masuk itu. Tapi kalau sudah ketemu jalannya, “Oh ini ada jalan.” udah jadi gampang. Di depan udah lapang, udah rindang, udah bagus. Nah tinggal keseriusan kita, kesungguhan kita. Seraya mengharap kepada Allah. Ini dalam urusan teman yang umum.
Adapun bagi penuntut ilmu atau santri dalam memilih teman, jangan berteman kecuali dengan orang yang membantunya mencapai dan bisa mendapatkan ilmu sebanyak mungkin. Baru itu teman. Kalau yang malah membuatnya enggak semangat, malah membuatnya kendor, jangan ditemenin. Cari yang lain aja, karena orang baik masih banyak di muka bumi ini.
Mudah-mudahan kita semua termasuk orang-orang yang baik, orang yang sungguh-sungguh, menjadi penuntut ilmu sejati, yang ingin mendapatkan ridha dari Allah dan menyenangkan hati Nabi Muhammad.
Wallahu A’lam bish-Shawab…
MATERI: MA’ALIMUL-IRSYADIYAH LI SHINA’ATI THALIBIL-ILMI
KARYA: DR. MUHAMMAD AWWAMAH
full video : https://www.youtube.com/watch?v=_L_GBDaBRls