
Cinta dan kerinduan adalah panggilan jiwa – yang metafisika. Ia hampir tak ada kaitannya dengan fisik dan alam eksakta. Maka magnet cinta dan kerinduan seringkali tak bisa dikalkulasi secara pasti: di luar nalar.
Tapi pada akhirnya manusia adalah lebih tentang aspek-aspek metafisika yang ada di dalam dirinya. Barangkali karena itu François René Chateaubriand, seorang filsuf dan sejarawan Perancis, menyebut manusia sebagai “hewan metafisika”.
Penyair kenamaan dari zaman Dinasti Umawi, Qais bin al-Mulawwih, yang lebih kita kenal sebagai “Penggila Laila” (Majnunu Laila), sebenarnya telah melukiskan hakikat ini dengan sangat presisi. Dalam sajaknya yang terkenal, penyair dari pedalaman Arab ini berpuisi:
Aku berjalan melewati rumah: rumah Laila
Aku kecupi sisi-sisi temboknya
Bukan tembok itu yang membuatku tergila-gila
Tapi cinta pada penghuni di dalamnya.
Saya tidak tahu persis apa saja komponen rumah Laila, bagaimana strukturnya, dan seperti apa desain eksteriornya. Tapi kita tahu persis bahwa bukan anasir dan fisik rumah itu yang menjadi magnet kegilaan Qais, melainkan ‘ruh’ yang menghidupkan rumah itu.
Ini mengingatkan kita pada perkataan Sayyidina ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, selepas beliau mengecup Hajar Aswad, batu hitam dari surga yang terletak di salah satu sudut Kakbah: “Andai bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecupmu, tentu aku tidak mengecupmu!”
Bagi Sayyidina ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, barangkali mengecup sebongkah batu memang sulit dinalar. Tapi beliau sangat paham bahwa ini tidak sekadar tentang fisik sebongkah batu. Ini lebih tentang hati, jiwa, kecintaan, kerinduan, dan keimanan – yang metafisika. Jadi memang tak perlu kita timbang dengan neraca fisik.
Tentu, Baitullah di Makkah juga berdiri persis pada titik itu. Baitullah adalah magnet kerinduan terbesar yang pernah ada. Secara fisik, lokasi Baitullah barangkali tidak ideal sebagai destinasi wisata: “lembah yang kering dan tandus” (واد غير ذي زرع), kata al-Quran. Tapi jutaan orang datang memang bukan karena fisik, melainkan karena jiwa.
Orang-orang mengelilingi Baitullah itu sembari membalut tubuh mereka dengan kain putih, tanpa dijahit, tanpa desain apapun, dan tanpa aksesoris. Outfit yang tampak jauh dari kesan fashionable. Malah lebih mirip kain kafan. “Desain pakaian itu dimaksudkan agar mengingatkan pemakainya pada kematian”, kata al-Imam al-Ghazali dalam Ihya’-nya.
Jadi, melampiaskan kerinduan di sekeliling Baitullah tak lain adalah momentum ketika materi, fisik, dan profanitas benar-benar ditekan dan dinihilkan, untuk memberi ruang seleluasa mungkin pada jiwa, sehingga dahaga dan kerinduan akan yang transenden bisa tersalurkan, dengan voltase sekuat mungkin.
Itulah sebabnya mengapa kerinduan akan Baitullah adalah kerinduan yang tak berpangkal, tanpa ujung, dan tanpa jeda. Dalam “Akhbaru-Makkah”, al-Azraqi mewartakan(memberitahukan) bahwa ketika Nabi Adam ‘alaihis-salam selesai menunaikan haji, ia bertemu malaikat. Mereka bilang: “Semoga hajimu mabrur, Adam. Kami telah berhaji di Bait ini sebelum kamu, sejak dua ribu tahun yang lalu”.
Ibnu Hajar al-Haitami dalam “Fatawa al-Fiqhiyyah” menegaskan, bahwa “setiap nabi pasti telah berhaji di Baitullah, berbeda dengan pendapat ulama yang mengecualikan Nabi Hud dan Nabi Shalih ‘alaihimas-salam.
Syahdan, kerinduan suci akan Baitullah harus senantiasa terpatri dalam diri: kerinduan berbalut pengagungan, yang mesti terus dirawat dan dijaga, agar terus tumbuh bersemi. Itulah sebabnya, kendati Makkah adalah lokasi termulia di muka bumi, sebagian ulama menolak berlama-lama tinggal. Mereka khawatir merasa bosan, hingga kerinduan terhadapnya memudar.
Sebagian ulama, sebagaimana dikutip al-Imam al-Ghazali dalam “Ihya’ ‘Ulumiddin”, berujar: “Anda tinggal di suatu negeri sedang hati Anda rindu akan Makkah, dan senantiasa terpaut dengan Bait ini, itu lebih baik bagi Anda daripada Anda bermukim di Makkah sedang hati Anda berada di negeri lain”. Ulama yang lain berujar: “Betapa banyak orang yang bermukim di Khurasan, sedang hati mereka lebih dekat pada Baitullah ini daripada orang yang sedang bertawaf di sekelilingnya”.
Maka, kerinduan akan Baitullah telah melintasi berbagai dimensi waktu dan jarak tempuh; menembus setiap sekat dan batas, lalu menancap di lubuk hati kita.
~ Achyat Ahmad, Makkah al-Mukarramah, 1 Ramadhan 1445 H.

sumber foto : https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=10225132215754441&id=1290847125&mibextid=oFDknk&rdid=oxlYXewTyj31y1LF