Saya tidak bisa membayangkan seperti apa campur-aduknya perasaan para Sahabat Anshar ketika menyambut kedatangan Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang muncul dari Tsaniyah al-Wada‘: jalan setapak yang membelah bukit itu.

Dalam film drama sejarah epik bertajuk ar-Risālah / The Message (1976), Musthafa al-‘Aqqad, seorang produser film dan sutradara asal Suriah, menggambarkan ramainya gerbang kota Yatsrib di hari itu, yang tak seperti hari-hari biasanya.

Orang-orang, dengan perasaan waswas penuh harap, menunggu kehadiran Baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam di bawah terik. Penantian itu mereka lakukan sejak hari-hari sebelumnya. Tapi beliau tak kunjung muncul dari kejauhan.

Sebagian dari mereka sampai ada yang berdiri di atap rumah mereka – yang terbuat dari batu. Sebagian yang lain memilih berlindung di balik pohon, menghindari terik yang menyengat. Tiba-tiba, dari kaki bukit, bayangan putih tampak berpendar samar-samar, ditelan fatamorgana.

Bagaimanapun, itu adalah visualisasi yang benar-benar menguras emosi. Tapi pada akhirnya kita tahu bahwa histeria penduduk Madinah ditumpahkan di bukit itu, melalui bait-bait indah yang mengabadi:

Telah muncul Purnama di atas kita

Dari Tsaniyyah al-Wada‘

Wajib atas kita tuk mensyukuri

Selagi penyeru menyeru kepada Ilahi.

Itulah titik yang menandai dimulainya transformasi paling revolusioner di muka bumi. Barangkali karena itu Sayyidina ‘Umar bin al-Khaththab mematok peristiwa itu sebagai penanda dimulainya kalender Islam: Hijriah.

Transformasi itu mula-mula mengubah Yatsrib menjadi “Madinah”. Ia berubah dari kawasan yang semula begitu akrab dengan wabah, kumuh dan angker, menjadi kota yang begitu damai dan nyaman; dari kota yang semula medan pertikaian, menjadi kota dengan ikatan persaudaraan yang begitu kokoh.

Pada gilirannya, Madinah menjelma menjadi alegori: ia adalah langit di mana cita-cita digantungkan. Dalam sepanjang sejarahnya, umat senantiasa menjadikan Madinah sebagai goal dan blueprint dari peradaban yang tengah diimpikan dan diupayakan. Maka bukan kebetulan jika “Madaniyyah” yang berarti “peradaban” itu diderivasi dari kata “Madinah”.

Para penulis kontemporer biasa berpretensi tentang kemajuan Islam dengan apa yang mereka sebut sebagai “Abad Pertengahan”, pada zaman ketika wilayah kekuasaan dinasti Abbasiyah begitu luas, begitu kuat secara politik, begitu melimpah secara ekonomi, dan begitu unggul secara ilmu pengetahuan dan science.

Tapi al-Imam al-Ghazali, ulama paling jenius dan salah satu yang terhebat pada “Abad Pertengahan” itu, justru menyebut era beliau sebagai era kemunduran. Era yang sudah sangat merosot, jauh dari masa keemasan Islam yang ditandai dengan label “Salaf”.

Itulah sebabnya kenapa kesempurnaan paradigma, pemikiran, dan laku keagamaan yang tertuang dalam lembaran-lembaran Ihya’ ‘Ulumiddin, senantiasa mengacu pada zaman salaf. Kondisi Ashhabush-Shuffah yang serba minus dari berbagai hal, dipandang jauh lebih ideal daripada zaman ar-Rasyid yang serba berkelimpahan.

Itu artinya al-Ghazali memandang Madinah sebagai peradaban jiwa. Madinah menjadi model ideal peradaban bukan karena keberlimpahan ekonomi, kelengkapan infrastruktur, dan kecanggihan teknologi, namun karena kekuatan iman, kebersihan jiwa, kebersahajaan laku, dan kesederhanaan penampilan.

Tapi secara kenyataan, sebenarnya Madinah tidaklah terjangkau. Barangkali karena ia terlalu tinggi dan terlalu prestisius untuk level kita, yang tak lebih dari sekedar remahan rengginang ini. Madinah terlalu sakral untuk dunia kita yang profan.

Itu sebabnya ketika Syaikh Ali Jum‘ah ditanya, dalam talkshow di sebuah stasiun televisi: “Kira-kira apa yang akan Anda lakukan jika seandainya Anda ikut berkesempatan menyambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah, di Tsaniyyah al-Wada‘, bersama para sahabat Anshar?” Beliau tertunduk agak lama, lalu menarik nafas panjang.

Setelah itu beliau berujar: “Barangkali saya akan berada di kejauhan, menyingkir dari kerumunan. Mungkin saya akan bersembunyi di balik pohon, atau di balik semak-semak, mengamati dari jauh saja. Karena mereka yang menyambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang pilihan. Tak pantas bagi kita menyusup ke sana”.

Tentu, apa yang dikatakan Syaikh ‘Ali Jum‘ah benar adanya. Pernyataan itu muncul dari keinsyafan mendalam. Dan, jika orang sekelas beliau saja merasa tidak pantas untuk ikut menyambut kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu di mana posisi kita?

Tapi kendati bagaimanapun, iman menuntun kita untuk mencintai Madinah, dan merindukannya, sebagai kelaziman bagi iman dan cinta kita kepada Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Ya Allah, jadikanlah kecintaan kami kepada Madinah sebagaimana kecintaan kami kepada Makkah, atau lebih”, kata Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam doa beliau.

So, kita senantiasa mencintai Madinah, dan selalu merindukannya, dengan segala ketidakpantasan kita.

~ Moh. Achyat Ahmad, Madinah al-Munawwarah

sumber :https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=10225151987568724&id=1290847125&mibextid=oFDknk&rdid=mlsGzeulg8hA7mTZ