
DUNIA, dengan segenap hiasan dan kenikmatan di dalamnya, tak lebih dari sekadar sarana yang disediakan Allah untuk meraih kebaikan. Dari sisi esensi, dunia tidak bisa dinilai sebagai keburukan, sarana atau sumber keburukan. Sebab dunia, dalam segenap aspeknya, adalah “media” yang di dalamnya terkandung bukti-bukti ilmiah akan keberadaan Allah dan keesaan-Nya, di samping juga memuat peta jalan yang bisa menyampaikan seorang hamba kepada Allah. Kendati secara lahir dunia itu juga mengandung unsur-unsur penyebab fitnah, namun bagaimanapun ia tak lebih dari sekadar “media” belaka.
Sesiapa melihat pada dunia dengan pikiran terbuka dan mata hati yang tajam, maka ia tak bakalan tersandera oleh fitnah dunia, dan akan tahu bahwa dunia memang mengandung kenikmatan sekaligus ujian. Ia akan mampu membuka kunci-kunci rahasia dunia guna mengambil kandungan-kandungan yang bermanfaat dari dalamnya. Adapun orang yang melihat pada dunia dengan pikiran dangkal, dengan mata kepalanya saja, tidak sekaligus dengan mata hatinya, maka ia akan tertipu oleh penampakan keindahannya saja, terjebak oleh sampul dan bungkus, terjauhkan dari isi dan esensi.
Jadi, keburukan tidak menempel pada hakikat dunia itu sendiri, namun terletak pada buruknya pemanfaatan terhadap dunia. Sedangkan buruknya pemanfaatan terhadap dunia bersumber dari buruknya pandangan terhadap dunia, dengan hanya melihat pada keindahan lahiriahnya belaka, dan tidak awas terhadap tipu daya dan ujian yang melekat padanya.
Barangkali Anda akan bertanya: jika hakikat dunia tidak buruk, lalu kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا
“Ketahuilah sesungguhnya dunia itu terlaknat, terlaknat apa saja yang ada didalamnya”?
Maka jawabannya adalah: bahwa sabda Baginda Nabi itu sebagaimana Anda berkata kepada orang jahat: “Betapa buruk pisau yang ada di tanganmu itu!” Secara lahir, tampak kecaman diarahkan pada pisau, namun pada hakikatnya ungkapan tadi mengarah pada orang jahat yang memegang pisau itu, yang biasa mengarahkannya pada penggunaan yang tidak baik.
Begitu juga halnya dengan hadist di atas. Secara lahir tampaknya memang mengecam dunia, namun pada hakikatnya mengarah pada buruknya manusia dalam memanfaatkan dunia. Hadist memilih ungkapan seperti itu dalam rangka me-warning bahaya dunia, sebab dunia bisa digunakan oleh manusia untuk maksud apapun yang mereka kendaki, baik maupun buruknya.
Dalil terkuat dari pemahaman ini adalah kelanjutan hadist di atas, yakni sabda Baginda Nabi yang berupa:
إِلا ذكرُ الله وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ
“kecuali dzikir kepada Allah dan apa yang berkaitan dengannya, orang yang berilmu atau orang yang belajar ilmu.”
Sudah maklum bahwa zikir kepada Allah bukan termasuk bagian dari dunia, begitu pula orang alim dan orang yang belajar ilmu. Namun manusia, dengan senantiasa berzikir kepada Allah dan dengan bekal ilmu yang memadai, dalam memanfaatkan dunia akan terbimbing ke arah yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah.
~ Al-Buthi, Syarh al-Hikam, 4/11-12
Achyat Ahmad