
Idul Adha selalu identik dengan ibadah kurban. Kata Idul Adha sendiri berasal dari kata ‘id dan adha. ‘Îd berakar pada kata (‘âda-ya’ûdu) yang artinya menengok, menjenguk, atau kembali; sedangkan kata Adha bermakna kurban. Disebut juga ‘id, karena perayaan hari raya pasti berulang setiap tahun.
Pada perayaan hari Idul Adha, umat Islam kerap menjadikan momentum ini untuk melaksanakan ibadah kurban. Islam sendiri menjadikan ibadah kurban sebagai bagian dari syariat keagamaan. Akan dijumpai sejumlah ayat yang menyerukan umat Islam untuk berkurban, di antaranya ayat:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
“Dan bagi tiap-tiap umat, telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah diangugerahi (rizqi) kepada mereka. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).”(QS. Al Hajj [22]: 34)
Terlepas dari dalil seruan dan anjuran untuk berkurban, ibadah kurban sendiri merupakan aktivitas yang sublim dan sakral. Keberadaannya tidak semata hadir ketika suatu teks ajaran keagamaan diturunkan, melainkan lahir dari rajutan sejarah yang berintikan perjuangan dan pengorbanan. Artinya, ibadah kurban tidak melulu bernuansa terma religius, tetapi juga renungan sosio-humanis dan pendidikan multikultural bagi umat.
Peristiwa besar dan agung dari kerelaan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail tentunya mengandung banyak hikmah dan pelajaran yang sangat berharga bagi seluruh umat manusia untuk dipahami dan diteladani.
Pertama, cinta hendaknya dicurahkan hanya kepada Allah, sebab rahmat Tuhan yang tidak terhitung nilai dan jumlahnya senantiasa mengucur dalam setiap jengkal kehidupan manusia. Maka di satu sisi, berkurban menjadi bentuk curahan cinta kita kepada Tuhan.
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ * فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Sesungguhnya Kami (Allah) telah memberikan karunia yang sangat banyak kepadamu, maka tunaikanlah shalat untuk Tuhanmu dan sembelihlah kurban.” (QS. Al-Kautsar [108]: 1-2)
Kedua, sejatinya ibadah kurban ialah perintah untuk mengorbankan sifat egois, sikap mementingkan diri sendiri, rakus dan serakah, yang dibarengi dengan kecintaan kepada Allah, dan diwujudkan dalam bentuk solidaritas sosial. Teladan paling mulia tentang kecintaan kepada Allah sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim, dengan kesediaan menyembelih putra kesayangannya.
Ketiga, perintah berkurban adalah perintah bagi mereka yang mampu memiliki kelebihan rejeki, dan membagikan dagingnya untuk kaum miskin dan dhuafa yang membutuhkan. Hal ini adalah bentuk komunikasi sosial untuk saling membantu, berbagi kenikmatan dalam perayaan idul adha. Alhasil, terbangun ikatan solidaritas sosial dan semangat tolong-menolong antar anggota masyarakat. Sikap tersebut dapat mengurangi kesenjangan sosial, serta menjaga suasana kehidupan harmonis di antara sesama warga.
Keempat, hewan kurban akan menjadi saksi amal ibadah di hari kiamat nanti. Hewan yang dikurbankan akan datang mewujud amal kebaikan, yang pada gilirannya akan menyelamatkan nasib tuannya di hari akhir nanti.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرنْ هِرَاقَةِ دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَننْ يَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
“Tidak ada amalan yang dikerjakan manusia ketika hari (raya) kurban yang lebih dicintai oleh Allah daripada mengalirkan darah. Sesungguhnya pada hari kiamat nanti, hewan kurban akan datang dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya dan bulu-bulunya. Dan sesungguhnya darah tersebut akan sampai kepada Allah sebelum jatuh ke tanah, maka perbaguslah jiwa kalian dengannya.” (HR. Imam Ibnu Majah)
Kelima, orang berkurban akan dibalas dengan kebaikan dan pahala yang berlimpah. Bahkan, balasan pahala tersebut tidak terhitung jumlahnya. Analogi yang diberikan, bahwa setiap bulu dari hewan yang dikurbankan mengandung satu pahala dan kebaikan bagi orang yang berkurban.
قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَل وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْأَضَاحِيُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ قَالُوا فَمَا لَنَا فِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ قَالُوا فَالصُّوفُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ مِنْ الصُّوفِ حَسَنَةٌ
“Berkata para shahabat kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, hewan kurban apa ini?’ Beliau menjawab: ‘Ini adalah tradisi (sunah) bapak kalian, Nabi Ibrahim.’ Shahabat bertanya: ‘Lalu pada hewan tersebut, apa yang kami dapatkan, wahai Rasulullah?’ Dijawabnya: ‘Pada setiap bulu hewan itu ada satu kebaikan.’ Mereka berkata lagi: “Lalu bagaimana dengan bulu domba (shûf)?’ Rasulullah bersabda: ‘Pada setiap shûf ada satu kebaikan pula.’” (HR. Imam Ibnu Majah)
Rasulullah pernah bersabda kepada putrinya, Sayidah Fatimah al-Batul di hari Idul Adha: “Bangunlah dan lihatlah hewan kurbanmu. Ketika hewan kurban mulai disembelih, bangkitlah dan hadiri waktu penyembelihan hewan kurban di sana, karena engkau akan mendapatkan berlipat ganda timbangan amal baikmu hingga 70 kali lipat, beserta tanduknya dan kuku kakinya—juga diletakkan di timbangan amal kebaikanmu—dan diampuni dosa-dosamu sejak awal tetesan darah hewan kurban itu.” (HR. Imam al-Hakim)
Dan lain waktu, ada beberapa orang shahabat yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah keistimewaan tersebut hanya untuk keluargamu saja? Karena merekalah yang pantas mendapat hak istimewa dari tiap kebaikan.” Nabi Muhammad bersabda: “Untuk keluargaku secara khusus, dan untuk seluruh umat secara umum. Setiap muslim yang menunaikan kurbannya dan diterima oleh Allah, dia akan di ampuni sedari awal tetesan pertama darah yang mengalir dari hewan kurban itu. Selain juga hewan sembelihannya akan diletakkan di timbangan kebaikan dirinya kelak di hari kiamat, bahkan digandakan hingga 70 kali lipat, agar unggul dan lebih berat amal kebaikannya.” (HR. Imam al-Hakim)