
Ditulis oleh: Al-Habib Hamid Jakfar Al-Qadri
Pernahkah kita berfikir dan bertanya pada diri kita: “Siapakah saya?” Pertanyaan seperti inilah yang seharusnya timbul dalam setiap benak manusia, sebelum dia mengenal alam di sekitarnya. Ketika Allah menurunkan wahyu pertama kepada Rasulullah, Allah menjelaskan siapa dan dari mana manusia?
Surah al-‘Alaq (Iqra’) adalah wahyu pertama yang diterima Rasulullah. Isinya menerangkan asal muasal kejadian manusia. Itulah salah satu metode Ilahi dalam mendidik para hamba-Nya, agar lebih mengenal diri dan tuhannya. Setiap benda wujud di muka bumi ini, tentu tidak pernah tercipta dengan sia-sia. Allah menciptakan alam semesta, tentu kesemuanya mempunyai tujuan yang jelas.
Salah satu kehendak Allah ialah menciptakan makhluk untuk kemaslahatan makhluk yang lain, contohnya adalah terciptanya ikan kecil sebagai konsumsi bagi ikan yang lebih besar. Hewan pun juga demikian, yang lebih besar senantiasa memangsa yang lebih kecil. Begitulah kenyataan seterusnya ciptaan Allah dimuka bumi ini. Dan kalau kita perhatikan, semua makhluk yang ada didunia ini diciptakan demi kemaslahatan manusia.
Hidup, Alam, Manusia dan Ahlul Bait
Tidakkah kita pernah berfikir tentang tumbuh-tumbuhan dan pepohonan? Padahal semuanya tercipta untuk dinikmati oleh manusia. Pernahkah Anda menyaksikan tumbuh-tumbuhan memanfaatkan manusia? Lihat hewan-hewan seperti ayam, ikan, kambing, sapi dan lainnya, diciptakan oleh Allah untuk dinikmati oleh manusia. Bahkan Allah membolehkan manusia menyakiti hewan-hewan dengan tujuan di sembelih. Bukankah hewan itu juga punya rasa sakit? Dan semuanya juga merupakan makhluk ciptaan Allah?
Pada dasarnya kita dan hewan tidak ada bedanya, sebab manusia adalah makhluk dan hewan juga makhluk. Namun kenapa Allah menghalalkan manusia menikmati hewan-hewan, bahkan meski harus dengan cara menyakitinya? Itulah bukti kasih sayang Allah kepada manusia. Karena dalam diri manusia terdapat amanat yang agung. Bukan hanya hewan dan tumbuh-tumbuhan yang Allah ciptakan untuk kemaslahatan manusia, namun seluruh isi jagat raya ini tercipta untuk manusia. Matahari, rembulan, langit dan bumi tercipta untuk dimanfaatkan oleh umat umat manusia.
Lantas manusia sendiri diciptakan untuk tujuan apa? Itulah pertanyaan yang seharusnya tidak boleh lepas dari benak kita. Disinilah hikmah Allah dibalik penciptaan alam semesta dan tujuan kehidupan ini. Kalau tugas makhluk lain ialah demi menopang kemaslahatan hidup manusia, maka apakah tugas manusia itu sendiri? Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, melainkan hanya untuk beribadah kepadaku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]:56)
Dengan demikian, tugas utama manusia ialah totalitas pengabdian kepada Allah. Seorang yang tidak mau tunduk pada hukum-hukum Allah, berarti dia telah melalaikan tugas utama dari keterciptaan dirinya! Dan untuk melestarikan semua itu, Allah mengutus dari bangsa manusia itu sendiri para utusan, yang senantiasa menyerukan manusia untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Merekalah para nabi dan para rasul Allah.
Sedangkan pemimpin dan pemungkas para nabi itu adalah Rasulullah, yang tentu Allah istimewakan dengan beberapa hal yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain. Di antara keistimewaan Rasulullah ialah kesucian keluarga dan anak cucunya, sehingga menghormati dan memuliakan cucu Rasulullah termasuk ibadah yang diwajibkan oleh Allah kepada manusia. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:
أَحِبُّوا اللَّهَ لِمَا يَغْذُوكُمْ مِنْ نِعَمِهِ، وَأَحِبُّونِي بِحُبِّ اللَّهِ، وَأَحِبُّوا أَهْلَ بَيْتِي بِحُبِّي
“Cintailah Allah yang telah memberikan kenikmatan pada kalian, cintailah diriku karena Allah, serta cintailah keluargaku karena kecintaan kalian kepadaku.” (HR. Imam Tirmidzi, Imam Hakim, Imam Baihaqi)
Lihatlah keterhubungan antara kecintaan pada Allah dengan kecintaan kepada Ahlu Bait yang tidak terpisahkan. Mencintai Ahlu Bait berarti juga mencitai Rasulullah, dan mencintai Rasulullah berarti mencintai Allah, yang itu merupakan salah satu tugas utama terciptanya manusia di muka bumi.
Berbicara tentang keutamaan dan hikmah istimewa Ahlu Bait, kami anggap itu tidak perlu lagi. Karena semuanya sudah jelas dan terang benderang seperti matahari di siang hari, sehingga hanya orang butalah yang tidak bisa melihat matahari. Orang yang tidak menerima keistimewaan Ahlu Bait, sama sekali tidak berpengaruh pada mereka sisi istimewa tersebut. Cukuplah Allah jelaskan dalam al-Quran tentang mereka; cukuplah Rasulullah dan para sahabatnya yang membuktikan keistimewaan pribadi mereka. Orang yang hasud pada Ahlu Bait, berarti telah berani menentang Allah dan Rasulullah, dengan tidak mau melaksanakan tugas utamanya.
Tugas Ahlu Bait
Kalau salah satu tugas umat adalah mencintai dan menghormati Ahli Bait, maka tugas Ahlu Bait itu sendiri untuk apa? Itulah yang sehurusnya diketahui oleh kalangan Ahlu Bait. Tugas utama Ahlu Bait tidak lepas dari tugas utama meraka sebagai manusia, hanya saja Ahlu Bait mempunyai tugas yang lebih besar dibandingkan tugas umat manusia pada umumnya. Ahlu Bait merupakan penerus estafet Nubuwah dan Risalah, sebab setelah Rasulullah wafat otomatis merekalah yang meneruskan perjuangannya. Dari itulah Rasulullah bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّيْ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا: كِتَابُ اللهِ وَعِتْرَتِيْ / وَأَهْلُ بَيْتِيْ
“Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang salah satunya lebih besar: Kitabullah (al-Quran) dan keluarga keturunanku. Keduanya tidak akan pernah terpisah hingga masa kembali ke Haud kelak (kiamat).” (HR. Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Nasai, Imam Ibnu Majah, Imam Hakim).
Dan itulah maksud dari kata-kata Sayidina Abubakar ash-Shiddiq: “Perhatikanlah Nabi Muhammad dengan memperlakukan (baik) keluarganya.” (HR. Imam Bukhari)
Dengan demikian, Ahlu Bait seharusnya menjadi contoh dan teladan bagi umat Nabi Muhammad. Mereka harus mau berkorban untuk umat datuknya, dan harus rela susah menghadapi umat manusia. Rasulullah sendiri di utus sebagai rahmat bagi alam semesta (Rahmatan Lil-Alamîn), sehingga dengan dasar itu beliau senantiasa berperilaku sebagai penyantun, penyayang, pemaaf dan selalu berbuat yang terbaik untuk umatnya.
Suatu saat Rasulullah pulang dari satu peperangan. Sesampai di Madinah al-Munawarah, Rasulullah shalat di masjid dan langsung pergi ke rumah anak tercintanya, Sayidah Fatimah. Rasulullah tampak letih, wajahnya penuh dengan debu, keringatnya yang menetes seakan-seakan buliran mutiara.
Melihat keadaan sang ayah yang begitu menyedihkan, Sayidah Fatimah meneteskan air mata karena iba. Rasulullah pun bertanya: “Kenapa engkau menangis, wahai Fatimah? Janganlah bersedih, karena sesungguhnya agama ayahmu akan selalu mendatangi tiap rumah, baik rumah itu dari bangunan kayu (miskin) atau yang dari bangunan batu (kaya).”
Rasulullah pun juga tidak pernah marah, asal bukan berkenaan dengan menghina agama Allah. Bisa dibilang tidak sedikit rintihan Rasulullah untuk umatnya, setiap munajah yang dipanjatkan hanya untuk kebaikan dan keselamatan umatnya. Betapa banyak pengorbanan Rasulullah demi umatnya, yang kesemua itu harusnya diteruskan oleh seluruh cucu-cucu Nabi Muhammad.
Suatu saat Sayidina Hasan dan Sayidina Husain sakit, sehingga Sayidina Ali dan Sayidah Fatimah mengucap nadzar, jika keduanya sembuh mereka akan berpuasa. Setelah keduanya benar-benar sembuh, pasutri itu berpuasa selama tiga hari untuk memenuhi nadzarnya. Di hari pertama, Sayidina Ali dan istrinya Sayidah Fatimah bersiap-siap untuk berbuka puasa, keduanya hanya memiliki dua potong roti. Tiba-tiba seorang miskin datang mengemis, akhirnya dua potong roti itu mereka berikan pada si miskin dan keduanya hanya berbuka puasa dengan air putih.
Di hari kedua mereka kedatangan anak yatim yang juga meminta makanan, keduanya pun iba melihat umat Rasulullah yang seperti itu. Pada akhirnya dua potong roti yang disediakan untuk berbuka dikasihkan pada anak yatim tadi. Di hari ketiga mereka juga mengalami hal yang hampir sama, kedatangan bekas tawanan perang. Akhirnya selama tiga hari mereka hanya berbuka puasa dengan air putih, demi umat Nabi Muhammad. Lihatlah Sayidina Hasan dan Sayidina Husain, keduanya rela berkorban lapar demi kebaikan umat Islam, umat dari kakek keduanya.
Setelah itu dilanjutkan oleh cucunya, Sayidina Ali Zainal Abidin, yang setiap hari membawa makanan untuk penduduk Madinah yang membutuhkan bantuan, tanpa pernah diketahui oleh siapapun. Di masanya kala itu, penduduk Madinah sering mendapati rizki yang tidak diketahui pemberinya. Setelah Sayidina Ali Zainal Abidin wafat, semua pemberian misterius itu terputus. Saat jenazahnya di mandikan, di pundaknya terdapat lebam warna hitam, bekas dari seringnya membawa pemberian untuk penduduk Madinah. Pernah juga dia di hina dan di ludahi orang, namun tetap bersabar bahkan menjilati ludah orang itu, seraya berkata: “Ludah orang mukmin adalah obat.”
Begitu pula dengan Sayidina Muhammad al-Baqir, Sayidina Jakfar ash-Shadiq dan semua keturunannya dari keluarga Bani Alawi di Hadramaut ataupun di tempat-tempat lain di belahan dunia ini. Tidak sedikit cerita-cerita dan khabar-khabar dari mereka yang terus bersabar atas segala cobaan, dan rela berkorban untuk umat Islam. Para Ahlu Bait mestinya terus bersabar dalam melanjutkan tugas Rasulullah. Mereka harus bergaul dengan umat Islam melalui cinta dan kasih sayang. Umat Islam yang mencintai Ahlu Bait dan sebaliknya Ahlu Bait yang mencintai umat Islam, harusnya saling mendoakan satu sama lain. Terus istikamah membimbing umat ke jalan datuknya, yaitu Rasulullah Muhammad.
Di saat ada Ahlu Bait tidak mau melaksanakan tugas-tugas yang menjadi kewajibannya, maka disitulah awal dari kehancuran dunia. Dari itulah mengapa al-Habib Alwi bin Syahab pernah berkata: “Setiap jasad pasti memiliki hati, jikalau hatinya rusak maka jasad akan rusak. Dan hati dari umat manusia adalah Ahlu Bait, apabila Ahlu Bait rusak maka umat pun akan rusak.”
Itulah makna eksplisit dari hadis “Bahtera Nabi Nuh”, serta penjelasan hadis-hadis lain yang sejenis interpretasinya.
Ahlu Bait dan Umat Islam
Antara umat Islam dan keluarga Rasulullah, satu sama lain harusnya saling mencintai dan menghormati. Umat Islam wajib mencintai Ahlu Bait dan Ahlu Bait pun wajib mencintai mereka, karena umat Islam adalah umat dari datuknya. Umat Islam dan Ahlu Bait ibarat satu tubuh yang saling merasakan sakit, bila ada salah satu anggotanya yang sakit.
Begitulah perjalanan umat Islam dan Ahlu Bait dari masa ke masa sampai detik ini. Dalam catatan sejarah manapun, Islam tidak akan tersebar di Benua Afrika dan Asia Tenggara, tanpa ada campur kasih sayang dan pengorbanan Ahlu Bait. Karena memang seperti itulah tugas utama Ahlu Bait. Maka dengan adanya mereka itulah bumi menjadi tenteram dan sejahtera.
Ahlu Bait dan umat Islam juga ibarat rumah tangga, yang disitu ada suami, istri dan anak-anak. Satu dan lainnya saling mengisi dan saling mencintai, dalam satu keluarga sungguh sangat sulit untuk dipisahkan. Semua anggota keluarga harus melaksanakan tugasnya masing-masing. Kalau masing-masing dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik, maka kehidupan dunia ini akan tenteram, sebagaimana layaknya sebuah rumah tangga yang tenteram dan bahagia.
Namun sebaliknya, jikalau masing-masing memprioritaskan hak sendiri dan sama-sama tidak mau memenuhi kewajibannya masing-masing, maka dunia ini akan hancur persis seperti isi rumah tangga yang berantakan. Ahlu Bait yang tidak mau menebarkan kasih sayang untuk umat Islam, berarti dia telah merusak jalan (manhaj) datuknya, Nabi Muhammad.
Maka bersabarlah dan lembutlah kepada umat Rasulullah, wahai saudaraku para Ahlu Bait.
*Pengantar dalam makalah “Ahlu Bait serta Tanggung Jawabnya” (Forum Kajian Ilmiah al-Ghanna Institute).