
MATERI: RISÂLATUL-MU’ÂWANAHWAL-MUDZÂHARAH WAL-MUÂZARAH
KARYA: AL-IMAM ABDULLAH BIN ALWI AL-HADDAD
Alhamdulillâhwas-Shalâtu was-Salâmu‘Alâ SayidinâRasulillâh MuhammadbinAbdillâhwa‘Alâ Alihîwa Shahbihîwa Man Wâlah.
Bagi para Arifin, ibadah malam (Qiyâmullail) itu memiliki kedudukan yang tinggi, memiliki suatu hal yang spesial dalam hidup mereka. Dan memiliki cita rasa yang lembut, artinya kenikmatan yang mereka rasakan, yang mereka dapati didalam hati mereka, berupa nikmat dan lezatnya kedekatan dengan Allah. Dan lezatnya keintiman dengan Allah, serta indahnya bermunajah. Munajah itu berkomunikasi, bertutur kata, ngobrol sama Allah, berbicara denga Allah.
Jadi mereka merasakan bagaimana nikmatnya bermunajah kepada Allah. Itu yang mereka rasakan didalam Qiyâmullail. Sehingga Qiyâmullail memiliki posisi tersendiri, memiliki keistimewaan tersendiri. Jadi mereka merasakan Qiyâmullail adalah suatu hal yang sangat indah, sangat Agung, hingga di antara mereka ada yang mengatakan:
إِذَا كَانَ أهْلُ الْجَنَّةِ فِيْ مِثْلِ مَا نَحْنُ فِيْهِ، إِنَّهُ لَفِيْ عَيْشٍ طَيِّبٍ
“Bila mana penduduk surga merasakan apa yang aku rasakan saat ini, berada seperti yang aku ada saat ini, maka mereka itu berada didalam kehidupan yang indah.”
Berarti memang mereka merasa nikmat. Artinya mereka belum pernah menemukan sebuah kenikmatan, baik itu makanan, pakaian, kendaraan, tempat tidur, ataupun yang lainnya, melebihi daripada kenikmatan tatkala mereka melakukan Qiyâmullail, ketika mereka merasakan keintiman dan dekat dengan Allah. Itu orang-orang yang ahli Qiyâmullail. Makanya kita temukan di dalam al-Quran, anjuran-anjuran untuk melakukan Qiyâmullail, seperti yang difirmankan Allah:
قُمِ اللّيْلَ إِلَّا قَلِيْلَا
“Sedikit orang yang melakukan Qiyâmullail.” (QS. Al-Muzzammil [73]:02)
وَبِٱلْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.” (QS. Adz-Dzariyat [51]:18)
Orang-orang yang dipuji oleh Allah:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra [17]:79)
Itu (perintah) kepada Nabi Muhammad, dan seterusnya.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلْمُزَّمِّلُ قُمِ ٱلَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا
“Wahai orang yang berserimut, bangunlah meskipun sebentar!” (QS. Al-Muzzammil [73]:01-02)
Itu firman Allah kepada baginda Nabi Muhammad.
Sehingga mereka mengatakan (kaum Arifin): “Kalau memang surga itu nikmatnya seperti ini, berarti memang itulah nikmat surga.”
Sebab yang mereka dengar tentang surga itu adalah hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang kasat mata, sesuatu yang bisa diindra: seperti bidadari, makanan yang lezat, buah-buahan, istana. Itu kan semua sesuatu yang bisa diindra, dan mereka telah merasakan itu semua. Namun apa yang mereka rasakan, berupa makanan yang nikmat, yang lezat, berada di posisi yang tinggi, mendapat pelayanan VVIP, misalnya di dunia ini. Ternyata itu enggak ada seberapa dibandingkan dengan nikmatnya Qiyâmullail, nikmat benar mereka. Banyak di antara mereka itu yang menghabiskan hidupnya didalam Qiyâmullail.
As-Sayid Muhammad bin Ahmad Jamalullail (w. 845 H), Muqaddam Turbah Mashaf. Itu beliau dikatakan, seakan-akan fajar menunggu selesainya shalat beliau. Jadi beliau itu enggak pernah ketinggalan melakukan shalat malam.
Al-Habib Hasan bin Shaleh al-Bahar (w. 1273 H), seorang ulama yang juga seorang agung di sisi Allah, memiliki keistikamahan. Beliau shalat dua rakaat, Tahajud itu cuma dua rakaat. Tetapi pada rakaat yang pertama beliau membaca seperempat al-Quran, dan rakaat yang kedua membaca 1.000 daripada Qul-Huwallâhu Ahad (Surah al-Ikhlas), atau sekian ribu daripada Surah al-Ikhlas. Itu yang beliau lakukan.
Kadang beliau dalam membaca al-Quran itu sambil menangis. Pernah suatu saat, diam-diam beliau kawin lagi, biar enggak ketahuan orang. Beliau tinggal itu di “DziSubaih”, dekat wilayah Syibam atau Hauthah. Beliau kawin di Sewun, dan enggak ada yang tahu. Baru ketahuan orang-orang itu kan, mungkin yang tahu cuman keluarga istrinya doang. Tetangga-tetangga istrinya semua enggak ada yang tahu.
Jadi pas giliran beliau ada di situ, baru orang pada tahu bahwa beliau kawin di situ. Karena di malam hari beliau menangis ketika bermunajah kepada Allah, enggak bisa mengendalikan dirinya ketika munajah kepada Allah. Dari nikmatnya bersama dengan Allah. Baru orang tahu, “Aduh ini Habib (kawin lagi)!”
Pernah beliau itu sakit, yang pada akhirnya meninggal. Beliau sakit enggak bisa bangun, demam parah. Tapi ketika sudah masuk pertengahan malam, beliau Panggil anaknya: “mana air?” katanya
“Mau ngapain?”
“Mau wudhu!”
“Enggak usah. Ngapain wudhu, kan sudah Shalat Isya tadi!”
“Enggak. Saya mau Qiyâmullail!”
Enggak bisa bangun, tetap aja beliau bangun. Wudhu, kemudian shalat seperti layaknya orang yang tidak terjadi apa-apa. Shalat baca seperempat dari al-Quran dan Qul-Huwallâhu Ahad(Surah al-Ikhlas) sekian ribu kali. Abis itu baru setelah selesai, sakit lagi, demam lagi. Terus begitu tiap malam, karena terasa nikmat di saat melakukan Qiyâmullail.
Nah, cuman kan enggak gampang, apalagi sudah makan banyak, ya kan. Padahal enggak apa-apa sebenarnya. Orang itu kalau memang sama Allah, al-Habib Abu Bakar al-Masyhur (w. 1443 H) menganalogikan, nanti kalau mau pergi ke mana-mana, misalnya mau pergi ke luar negeri. Misalnya jalan-jalan ke Singapura, capek siang harinya, malam tidur. Tapi dia harus bangun jam 3, karena pesawatnya berangkat subuh, misalnya. Bangun enggak jam 3? Pasti bangun! Enggak usah dikasih jam Beker, enggak usah ada yang bangunin. Seger itu. Meskipun tidur sebentar. Kenapa? Karena himmah, ada kenikmatan disitu. Menganggap bahwa di situ ada liburan, di situ ada kesenangan. “Oh mau ke Singapura nih, mau jalan-jalan, iya kan.”
Begitu pula orang yang hatinya dengan Allah, himmah-nya hanya Allah. Maka mereka akan bangun, itu tengah malam. “Ya Allah, pengen bermunajah dengan Allah. Tahajud, ibadah dan seterusnya!”
Dan ini enggak mengherankan. Kok ada? Ya ada, memang begitu. Cuman bagi orang yang mendapatkan cita rasa. Makanya di antara mereka mengatakan:
أهْلُ اللَّيْلِ فِيْ لَيْلِهِمْ كَأَهْلِ اللَّهْوِ فِيْ لَهْوِهِمْ
“Mereka Ahlul-Lail, orang yang terbiasa hidup di malam hari dengan ibadah, kenikmatannya seperti orang yang berhura-hura dengan pestanya (dengan acaranya).”
Orang joget-joget, ngedugem. Itu kenikmatan. Mereka yang nikmat itu, lagi kayak nge-fly. Tahu nge-fly? Kayak enggak ada orang di dunia, cuman pengin dia doang. Udah nikmat banget. Nah, orang ahlu Qiyâmullail nikmatnya lebih dari itu semua, ketika mereka bermunajat kepada Allah. Itu orang-orang yang beriman.
Dan dikatakan: “Sejak 40 tahun yang lalu, tidak ada sesuatu yang membuat aku sumpek, kecuali terbitnya fajar.” Datang subuh, baru sumpek.
Kayak Imam Haddad (w. 1132 H) itu bercerita: “Saya ini ada sekitar tiga kali enggak Shalat Idul Fitri…”
Kenapa? Karena sumpek. Menjelang akhir Ramadhan, Imam Hadad itu masuk ke Khulwah (tempat menyepi), enggak keluar lagi, sampai orang selesai Shalat Id. Karena sumpek ditinggal oleh bulan suci Ramadhan.
Bukan malah pengen cepat lebaran, baru dua hari puasa langsung dicatat, “Lebaran kurang 28 hari!”
Karena menemukan kenikmatannya di situ, 40 tahun yang bikin dia sumpek adalah apa? Subuh, “Ya Allah, sudah subuh.”
Bukan subuh, lalu “tet” (bunyi bel).
“Ih, baru juga tidur, udah dibangunin…” Bukan begitu!
“Kayaknya belum berasa nih tidur, belum puas tidur, kok udah mau subuh nih?” Bukan!
Bukan sumpek subuh karena pengen tidur lagi, enggak. Sumpek subuh, karena kesempatan untuk berduaan dengan Allah sudah mulai hilang. Nah, ini orang-orang yang Arifîn Billâh.
Hal ini tidak bisa didapatkan, kenikmatan ini tidak bisa didapatkan, kecuali setelah dia meneguk pahitnya dan menanggung beratnya Qiyâmullail. Ga enak, dilatih dulu. Jadi orang pertama kalinya itu Kulfah, tahu Kulfah? Usaha. Usaha. Usaha. Sampai setelah usaha, akhirnya itu ‘Âdah, menjadi kebiasaan. Kalau sudah kebiasa, biasa, biasa, akhirnya menjadi Lazzah. Kayaknya kalau Lazzah ini, kalau enggak ngerjain sumpek malah, berat malah. Itu Lazzah. Orang-orang beriman kagak shalat dua atau tiga hari itu sumpek, atau enggak sumpek? Di khawatirkan itu!
Ini waktunya Qiyâmullail, malah enggak Qiyâmullail. Sumpek kalau udah Lazzah, tapi tetap berusaha. Dikatakan oleh Utbah bin Ghulam (w. 87 H):
كَابَدْتُ اللَّيْلَ عِشْرِيْنَ سَنَةً وَتَنَعَّمْتُ عِشْرِيْنَ سَنَةً
“Aku harus berusaha selama 20 tahun berjuang (agar mencicipi nikmat Qiyâmullail).”
Bukan setahun atau dua tahun. Di pondok ngerjain Qiyâmullail selama 10 bulan. Eh giliran pulang, Shalat Subuh jam 08.00. Sampai bingung orang tuanya: “Ini mondok, apa ngapain? Ini mondok, apa balas dendam?”
Jadi segala sesuatu memerlukan mujahadah. Maka mudah-mudahan Allah berkahi kita semua, Allah jadikan kita ahli Qiyâmullail, Allah beri kita taufik untuk mendapatkan kemuliaan itu.
Wa Ilâ Hadratin-Nabi Muhammad Shallallâhu Alaihi wa Sallam…