
KH. M. Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871 M (bertepatan dengan 24 Dzul Qa’dah 1287 H) di Desa Gedang, sekitar dua kilometer dari sebelah Timur Jombang, Jawa Timur. Muhammad Hasyim adalah nama yang diberikan oleh ayahnya, Kiai Asy’ari, pendiri Pesantren Keras, 8 KM dari Jombang.
Kakek Hasyim Asy’ari bernama Kiai Usman, adalah pendiri Pesantren Gedang di Jombang yang didirikan pada 1850-an. Sedangkan buyutnya, Kiai Sihah adalah pendiri Pesantren Tambak Beras di Jombang.
Sejak masih sangat muda, Hasyim Asy’ari yang diberi gelar Hadratusy-Syekh (Tuan Guru Besar) oleh para kiai dikenal sangat pandai, penuh ketekunan dan rajin belajar. Pada usia enam tahun ia mulai belajar agama di bawah bimbingan ayahnya sendiri, Kiai Asy’ari, di Desa Keras, dekat Jombang, tempat ayahnya pindah dari Demak pada 1876 M.
Pendidikan di berbagai pesantren ditempuh Hasyim Asy’ari mulai usia 15 tahun. Dia berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain di Jawa Timur dan Madura. Pada 1891 M, ia belajar di pesantren terkenal milik Kiai Ya’kub, Siwalan Panji Sidoarjo, Jawa Timur.
Pada tahun 1892 M diberangkatkan oleh Kiai Ya’kub ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar. Selama tujuh tahun di Makkah, Hasyim Asy’ari berguru di antaranya kepada Syaikh Mahfudz al-Tarmisi, seorang pakar hadis; dan kepada Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau.
Penggagas Metode Musyawarah
Beberapa bulan setelah kembali ke tanah Jawa pada 1899 dari pengembaraannya di kota suci Makkah, KH. Hasyim Asy’ari mengajar di pesantren milik kakeknya, Pesantren Gedang. Pada 26 Rabiul Awal di tahun yang sama, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng, di daerah dekat Kelurahan Cukir, Jombang.
Pesantren Tebuireng pada mulanya hanya ditujukan bagi para santri yang hampir mencapai tahap sempurna. Oleh karena itu, untuk menghadapi santri-santri senior ini, inisiasi yang dimunculkan oleh KH. Hasyim Asy’ari adalah memodernisasi metode pembelajaran pesantren, yang sebelumnya hanya menggunakan metode sorogan dan bandongan. Terhadap santri-santri yang sudah senior itu, dia menerapkan metode musyawarah.
Tema pelajaran ini kemudian dibahas dan didiskusikan oleh para santri, di bawah bimbingan kiai langsung. Para santri saling bertukar pendapat berdasarkan pengetahuan kitab kuning yang dimilikinya, sedangkan kiai hanya menjadi semacam moderator. Dengan metode ini diharapkan para santri dapat menumbuh kembangkan pemikiran-pemikirannya secara kritis, analitis, dan logis-argumentatif.
Metode musyawarah yang dipraktikkan oleh KH. Hasyim Asyari itu sekarang menjadi warisan berharganya bagi peradaban pendidikan di Indonesia. Kebijakan “Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka” (MBKM) yang saat ini diterapkan, tidak lepas implementasinya dari penggunaan metode musyawarah ini, atau yang dikenal saat ini dengan metode “diskusi kelompok.”
Sistem Madrasah dalam Pesantren
KH. Hasyim Asy’ari dengan berbagai pengalamannya, baik ketika bersentuhan dengan kelompok pembaru maupun yang merupakan hasil tempaannya ketika di Makkah, kiranya tidak menutup diri terhadap gagasan pembaruan. Terutama yang menyangkut modernisasi lembaga pendidikan pesantren, walaupun tetap menolak gagasan anti-mazhab.
Dengan sikap seperti ini, KH. Hasyim Asy’ari pada 1916 menerima gagasan KH. Ma’sum Ali, menantu pertamanya, untuk mengenalkan sistem madrasah (klasikal) pada pesantrennya. Madrasah ini kemudian diberi nama “Madrasah Salafiyah” yang khusus memberikan pelajaran al-Quran.
Pada tahun 1919 KH Hasyim Asy’ari juga menerima saran KH. Moh. Ilyas, keponakannya, untuk menambahkan pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Bumi, kepada para santrinya. Mata pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah dimasukkan dalam kurikulum madrasah sejak 1926.
Modernisasi Pesantren Tebuireng berikutnya dilakukan atas inisiasi putera pertamanya, yaitu KH. Wahid Hasyim, dengan mendirikan “Madrasah Nidzomiyah” pada 1934 M. Madrasah ini merupakan madrasah yang memberikan mata pelajaran umum 70% dari keseluruhan kurikulumnya. Kemudian model madrasah dalam pesantren tersebut diadopsi oleh berbagai lembaga pendidikan berbasis keormasan dengan kemasan berbeda.
Intinya, untuk konteks Indonesia, sistem pesantren yang terintegrasi dengan lembaga formal memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Animo masyarakat saat ini lebih suka menyekolahkan putera-puterinya ke lembaga formal yang terintegrasi dengan pesantren. Fakta ini menjadi kontribusi lain dari KH. Hasyim Asy’ari bagi peradaban pendidikan Indonesia yang patut diapresiasi.