Jikalau al-Habib Umar bin Hafidz dan murid-muridnya getol dalam membangun dialog dan membina ukhuwah, maka secara keseluruhan, para ulama Hadramaut pun memiliki pandangan yang sama. Sebab, apa yang dilakukan oleh al-Habib Umar tidak lepas dari apa yang dilakukan oleh para pendahulunya.

Jika kita kembali pada sejarah, maka kita akan menemukan usaha dan pengorbanan para Ahlul Bait di dalam menjaga perdamaian dan persatuan umat. Sejak masa Sayidina Ali bin Abi Thalib ketika menghadapi para pemberontak dan kaum Khawarij. Bahkan, ketika beliau ditanya tentang kaum Khawarij yang mengkafirkan serta memusuhi beberapa sahabat termasuk Sayidina Ali sendiri, “Apakah mereka termasuk orang kafir?”

Beliau menjawab, “Mereka lari dari kekufuran.”

“Apakah mereka termasuk orang munafik?”

“Sesungguhnya orang munafik itu tidak berzikir kepada Allah kecuali sedikit, sedangkan mereka (orang-orang Khawarij) banyak berzikir.” jawabnya.

“Lantas siapa mereka?”

Beliau menjawab, “Mereka adalah kaum yang terkena fitnah (paham yang salah) sehingga (hati dan pikiran) mereka jadi buta dan tuli.”

Sayidina Ali tidak memerangi Khawarij kecuali setelah dilakukan usaha-usaha perdamaian. Sebelumnya, beliau mengutus Ibnu Abbas untuk menyadarkan mereka.[1]

Setelah itu putra beliau, Imam Hasan yang meninggalkan khilafah demi perdamaian dan tidak terjadinya pertumpahan darah. Habib Umar dalam ceramahnya di bogor tentang masalah khilafah menjelaskan;

Dalam al-Mustadrak juga ada riwayat yang dinyatakan sahih oleh adz-Dzahabi: Setelah Sayidina Hasan mundur dari khalifah, ada orang bilang kepada beliau, “Orang-orang menyatakan bahwa Anda menginginkan khilafah?”

Sayidina Hasan menoleh kepada orang itu, lalu berkata: “Aku meninggalkan jabatan khilafah pada saat orang-orang kuat berada di tanganku. Mereka mengikuti perintahku, siap memerangi orang yang aku perangi, dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. Semua itu (Aku tinggalkan khilafah) karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan pertumpahan darah sesama Muslimin. Lalu, apakah aku akan berupaya mendapatkan khilafah dengan keputusasaan orang-orang Hijaz. Pergilah, aku tidak menginginkan khilafah.”[2]

Adapun sikap Imam Husain yang memilih untuk syahid juga merupakan pelajaran yang berharga untuk menciptakan perdamaian setelahnya. Pengorbanan beliau dipahami oleh para penerus beliau yang memilih untuk menekankan tazkiyah (pembersihan diri) daripada mendapatkan kekuasaan duniawi yang berujung pada perpecahan dan pertumpahan darah di kalangan kaum Muslimin.

Dimulai oleh Imam Ali Zainal Abidin, selanjutnya putra beliau Imam Muhammad al-Baqir dan putranya Imam Jakfar as-Shadiq. Semuanya memilih untuk menciptakan sebuah madrasah baru yang dapat menyatukan umat, memelihara perdamaian dan membangun peradaban.

Maka lahirlah di kalangan umat Islam para ulama dan mujtahid yang juga lebih mengedepankan perdamaian dan persatuan, para pendiri mazhab adalah murid-murid mereka atau murid dari murid mereka.

Langkah Imam Ali al-Uraidhi yang hijrah dari kota Madinah ke sebuah tempat terpencil di kawasan Hijaz (Uraidh), adalah bentuk usaha beliau dalam memelihara persatuan dan kedamaian umat.

Imam al-Muhajir dan Keturunannya

Selanjutnya, datang Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir pada Abad ke 4 Hijriah. Beliau hij­rah dari Basrah menuju Hadramaut. Sebelumnya beliau sempat singgah di Hijaz.

Hijrahnya Imam al-Muhajir ini juga merupakan upaya menjaga persatuan dan kedamaian umat. Tatkala beliau melihat berbagai kekacauan dan tumbuhnya berbagai aliran yang lebih mengedepankan hawa nafsu daripada mencari kedamaian dan kebenaran, maka tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan umat khususnya Ahlul Bait, kecuali dengan hijrah. Maka, beliaupun hijrah bersama beberapa Ahlul Bait yang lain ke Hadramaut.

Di Basrah beliau memiliki kedudukan yang tinggi. Beliau adalah Naqîb Asyârif (ketua para Sayyid). Kekayaan harta yang beliau miliki melimpah ruah. Sedangkan di Hadramaut beliau hanya memiliki sedikit pengikut dan ekonomi yang tidak mendukung. Hadramaut waktu itu dikuasai oleh sekte Ibadhiyah, salah satu sempalan dari aliran Khawarij yang membenci dan memusuhi Ahlul Bait. Di samping itu keadaan alam Hadramaut memang kering dan tandus.

Namun begitu, beliau tetap tinggal di sana, dengan berdakwah dan membina persatuan umat. Berbagai upaya dilakukan oleh beliau, demi terciptanya persatuan dan perdamaian. Mulai dengan membangun dialog, mendamaikan dua kelompok yang bertikai hingga pengorbanan harta benda demi tercapainya langkah-langkah tersebut. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Habib Abu Bakar al-Adni bin Ali al-Masyhur, dalam salah satu kasidahnya:

وَلَمْ يُخَالِفْ اَحَدٌرَأْيًا بدا … وَمَنْ يُخَالِفْ بِالحِوَارِ اَرْشَدَا

وَعَالَجَ الاُمُوْرَ بِالتَّعَقُّـــلِ … وَبَذْلِ مَالٍ وَالسُّلُوْكِ الاَمْثَلِ

Akhirnya tidak ada seorangpun yang menentang beliau, dan jika ada yang berbeda beliaupun menunjukkan dengan cara dialog.

Beliau menyelesaikan permasalahan dengan akal (bukan dengan senjata atau hawa nafsu), dengan mengorbankan harta benda dan etika yang baik.[3]

Masih menurut al-Masyhur, secara global usaha al-Muhajir ini berkisar pada empat hal:

Pertama,menyatukan perpecahan umat dengan mengedepankan prinsip-prinsip yang disepakati. (Mabda’ Qawâsim Musytarakah).

Kedua,menggunakan prinsip moderat yang syar’i dan sikap cerdas yang proporsional.

Ketiga,menguatkan prinsip damai dalam kehidupan nyata.

Keempat,memantapkan prisip kebutuhan pribadi dengan usaha sendiri yang mandiri.[4]

Maka setelah wafatnya al-Muhajir, semua kelompok dan mazhab yang ada di Hadramaut mengikuti dan menerima manhaj imam yang mulia ini.

Begitu pula para ulama Hadramaut pasca al-Muhajir. Ilmu pengetahuan yang disertai dengan tazkiyah (penyucian jiwa) serta dakwah adalah pondasi dasar dari madrasah atau sentral pengetahuan agama di wilayah tersebut.

Adalah al-Imam al-Faqih al-Muqaddam, yang menjadi tokoh sentral dalam manhaj ulama Hadramaut (baca: madrasah Hadra­ma­ut). Beliau menguatkan apa yang telah dilakukan oleh para pendahulunya. Ada dua hal yang menjadi simbol langkah al-Faqih di dalam memelihara perdamaian.

Yang pertama, mematahkan pedang dan menggantinya dengan tongkat. Di masa al-Faqih, masyarakat Hadramaut terbiasa membawa senjata. Hal ini berlaku bagi semuanya, baik itu ulama, kaum terpelajar, maupun orang-orang awam. Tradisi negatif ini merupakan akibat dari kehidupan di sana yang cenderung liar dan keras. Sehingga, pertikaian di kalangan masyarakat Hadramaut kerap kali terjadi, dan peperangan antar suku juga sangat sulit dihindari. Dari situlah al-Faqih dan muridnya yang bernama Syaikh Isa al-Amudi sepakat untuk tidak memanggul senjata dan memilih untuk membangun ilmu pengetahuan yang disertai tazkiyah.

Yang kedua, beliau memilih bergabung dalam komunitas sufi Ahlusunah Waljamaah. Dengan menerima khirqah shûfiyah dari Syaikh Abu Madyan al-Magribi. Hal ini membuat guru beliau yang bernama Syaikh Ali Bamarwan kurang menyukai. Sebab al-Faqih adalah sosok yang cerdas dan kuat. Syaikh Barmawan berkata, “Aku mengharapkan dirimu tumbuh seperti Ibnu Furak”.[5] Imam Ibnu Furak adalah seorang ulama ushûl dan teolog hebat, murid langsung dari Imam Abu Hasan al-Asyari, pendiri teori Mazhab Asy’ariyah.

Setelah itu, Hadramaut melahirkan ulama dan dai-dai yang luar biasa. Di mulailah langkah penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia, termasuk kawasan Nusantara, Indonesia dan sekitarnya. Dan tersebarnya Islam di kawasan Asia dan Afrika dengan cara yang santun tanpa pemaksaan dan tidak disertai pertumpahan darah merupakan buah dari upaya mereka dalam memelihara perdamaian di tengah-tengah umat manusia.[6]

Komentar Ulama Hadramaut Seputar Persatuan

Ada begitu banyak usaha dan pernyataan seputar masalah persatuan dan pembangunan ukhuwah Islamiah, yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu. Di sini penulis hanya akan menyebutkan sedikit dari pernyataan dan gagasan mereka yang terdapat di dalam karya-karya besar mereka.

Pertama, Al-Habib Abu Bakar bin Abdurrahman bin Syahab. Beliau adalah seorang ulama besar Hadramaut yang lahir di Tarim pada tahun 1262 H. dan wafat di Hyderabad pada tahun 1341 H. Beliau pernah menyusun bait-bait syair yang beliau tujukan kepada organisasi Nadwatul Ulama yang ada di India:

اِنَّ افْتِرَاقَ المُسْلِمِيْنَ اَذَاقَهُمْ … ضَيْمَ الهَضِيْمَةِ بَعْدَ عِظَمِ الشَّانِ

وَهَنَتْ عَزَائِمُنَا وَاَصْبَحَ هَازِئًا … بِخُمُوْلِنَا الوَثَنِيُّ وَالنَّصْرَانِيْ

فَعَلاَمَ فِرْقَتُنَا الَّتِيْ اَلْقَتْ بِنَا … فِيْ هَوَةِ الاِهْمَالِ وَالخِذْلاَنِ

وَلِمَ التَّنَافُرُ وَالتَّبَاغُضُ بَيْنَنَا … وَالْحِقْدُ وَهِيَ مَدَارِكُ النُّقْصَانِ

هَا كُلُّ طَائِفَةٍ مِنَ الاِسْلاَمِ مُذْ … عِنَةٌ بِوَحْدَةِ فَاطِرِ الاَكْوَانِ

وَبِأَنَّ سَيِّدَنَا الحَبِيْبَ مُحَمَّداً … عَبْدُ الاِلَهِ رَسُوْلُهُ العَدْنَانِي

وَاِمَامُ كُلٍّ مِنْهُمْ فِيْ دِيْنِهِ … اَخْدًا وَرَدًّا مُحْكَمُ القُرْآنِ

فَإِلَهُنَا وَنَبِيُّنَا وَكِتَابُنَا … لَمْ يَتَّصِفْ بِالْخُلْفِ فِيْهَا اِثْنَانِ

وَالْكَعْبَةُ البَيْتُ الحَرَامُ  يَؤُمُّهَا … قَاصِيْ الحَجِيْجِ وَالدَّانِي

وَصَلاَةُكُلٍّ شَطْرَهَا وَزَكَاتُهُ … حَتْمٌ وَصَوْمُ الفَرْضِ مِنْ رَمَضَانِ

أَفَبَعْدَ هَذَا الاِتِّفَاقِ يُصِيْبُنَا … نَزْعٌ لِيُفْتِنَنَا مِنَ الشَّيْطَانِ

Sesungguhnya perpecahan kaum Musli­min membuat mereka teraniaya dan merasakan kezaliman padahal sebelum­nya mereka agung.

Kekuatan kita menjadi hina, dan disebab­kan kelemahan kita, kita menjadi bahan cemoohan para penyembah berhala dan orang-orang Nasrani.

Apa yang menyebabkan kita berpecah belah? Di mana perpecahan itu telah melemparkan kita pada keterombang-ambingan, kesia-sian dan kehinaan.

Kenapa mesti saling menjauh, saling membenci, dan dendam di antara kita? Padahal semua itu penyebab utama kekurangan.

Inilah! Setiap kelompok dalam Islam ini mengakui akan keesaan sang Pencipta alam semesta.

Dan mengakui pula bahwa Sayidina Muhammad adalah utusan Allah.

Dan, imam mereka, baik dalam menerima maupun menolak, adalah al-Quran.

Tuhan kita, Nabi kita dan Kitab kita tidak ada perbedaan di antara siapapun.

Kakbah di Masjidil Haram didatangi jemaah haji, baik yang jauh ataupun yang dekat.

Semuanya salat menghadap ke sana (Kakbah). Begitupula kewajiban zakat dan melakukan puasa di bulan Ramadan.

Apakah setelah semua persamaan ini kita masih ditimpa pertikaian karena hanya fitnah yang disulut oleh setan!?

Kedua, al-Habib Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri, lahir di Tarim pada tahun 1331 H dan wafat di Makkah pada 4 Ramadan 1422 H. Beliau adalah orang yang sangat alim dalam berbagai disiplin ilmu, mengadakan berbagai kegiatan ilmiah baik di Hadramaut, di Asia Tenggara maupun di Hijaz. Mengarang berbagai buku di berbagai disiplin ilmu.

Dalam kaitannya dengan persatuan, beliau mengarang sebuah buku yang berjudul al-Wahdah al-Islamiyah. Beliau menerangkan berbagai permasalahan seputar kesamaan dalam prinsip-prinsip agama, di mana hal itu menunjukkan bahwa pada dasarnya tabiat agama Islam itu menyatukan bukan memecah belah. Ikhtilaf yang terjadi hanya masalah furû’ yang memang tidak bisa dihindari. Hal itu tidak menghalangi kaum Muslimin untuk bersatu. Dalam kitab itu beliau juga menerangkan ayat-ayat al-Quran dan Hadis-Hadis Nabi yang menyatakan bahwa kaum muslimin semuanya tidak kekal di neraka.

Selanjutnya, beliau juga mengingatkan bahwa bagaimana pun juga, seseorang tidak akan kembali atau keluar dari mazhab dan keyakinan. Seperti apapun usaha seseorang untuk mengalihkan mazhab dan kelompok lain ke dalam kelompoknya sendiri, maka usaha itu adalah usaha yang sangat nihil.

Meski ada beberapa orang yang memang obyektif dan mau menerima realita kebenaran dengan hujah dan argumen yang kuat, namun pada umumnya manusia hanya akan tumbuh menurut lingkungan dan dari mana dia terdidik. Sehingga, daripada menyulut api permusuhan karena perbedaan tersebut, maka lebih baik mencari persamaan-persamaan dan kesepakatan.

Ketiga, al-Mufakkir al-Islami al-Habib Abu Bakar al-Adni bin Ali al-Masyhur, seorang intelek Muslim kontemporer. Beliau memiliki berbagai gagasan cemerlang terutama yang berkaitan dengan persatuan. Dalam karya-karyanya yang mencapai lebih dari 200 buku, sangat tampak dengan jelas misi beliau dalam menyatukan umat.

Dalam bukunya yang berjudul al-Muwâjahah as-Safîrah beliau berpendapat bahwa, penyelesaian masalah pertikaian yang terjadi di kalangan umat Islam akhir-akhir ini, baik yang berkaitan dengan akidah, sosial politik, atau apa saja, tidak bisa diupayakan hanya dengan mencari mana yang benar dan mana yang batil.

Beliau mengajak untuk merenungi sejarah dan pribadi Nabi Muhammad, baik sebelum hijrah atau setelah hijrah. Dalam buku itu beliau menjelaskan arti teladan yang seharusnya.

Setelah itu beliau menyatakan bahwa jalan keluar yang paling jitu adalah mengangkat masalah-masalah persamaan atau yang disepakati bersama (Qawâsim Musytarakah). Yang dimaksud dengan Qawâsim Musytara­kah di sini adalah: pertemuan poin-poin yang disepakati oleh sesama Muslim, apapun pandangan dan mazhabnya.

Keberadaan mazhab memang diwariskan Islam, dapat menyokong keberadaan ijtihad secara proporsional. Sedangkan Qawâsim Musytarakah adalah: dasar-dasar praktek Islami yang diikuti oleh seluruh umat Islam, termasuk para pengikut mazhab.

Qawâsim Musytarakah tidak mengajak untuk mengalahkan mazhab lain dan tidak mengajak orang lain untuk bergabung ke dalam kelompok dan mazhabnya. Di sana terkandung hak-hak muamalah dan cara berinteraksi secara syar’i dengan sesama umat Islam dalam lingkup islâm, imân dan ihsân. Sekaligus mengadakan pendekatan didalam memandang masalah-masalah pokok dan mendasar.

Sebaliknya apa yang beliau istilahkan dengan fikih azâ’im menyebabkan lahirnya manhaj tahrîsy (kegaduhan) di dalam ruang lingkup agama Islam. Itulah yang dimaksud dalam firman Allah:

وَلاَ تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Dan janganlah kalian bertikai, sehingga membuat kalian gagal serta menghilangkan kekuatan kalian, maka bersabarlah karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS Al-Anfal [8]: 46).

Maka, bahasa pertikaian dan pertentangan tidak diragukan lagi, bahwa bahasa itulah yang menyebabkan kegagalan dan terbukanya peluang bagi setan untuk membuat barisan umat Islam tercerai berai. Dan, kenyataannya hal itu memang telah terjadi.[7]

Dan masih banyak ulama Hadramaut kontemporer yang senantiasa mengajak pada perdamaian dan persatuan, seperti al-Habib Husain bin Muhammad al-Haddar. Sebelumnya ada al-Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, yang juga getol berjuang menciptakan persatuan di kalangan umat Islam. Hingga menganggap perlu datang ke Asia Tenggara, tatkala para keturunan Arab yang ada di Indonesia bertikai karena persoalan-persoalan yang berhubungan dengan agama. Bahkan berani menasehati Raja Abdul Aziz bin Saud, untuk menghentikan pertikaian politik antara Hijaz dan Yaman.

Disadur dari buku: “Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat: Telaah Atas Pemikiran al-Habib Umar bin Hafizh dalam Membina Ukhuwah dan Membangun Dialog”, karya al-Habib Hamid al-Qadri (Mizan Publishing).


[1] al-Habib Husain bin Muhammad al-Haddar, ad-Dawâ’ asy-Syâfî li-’Ilâji Zhâhiratit-Takfîr, hlm: 80.

[2]  Sayidina Hasan menyatakan, “Tokoh-tokoh Arab berada di tanganku. Mereka memerangi siapa saja yang aku perangi dan berdamai dengan siapa saja yang berdamai denganku…” Sanad riwayatnya sahih melalui mata rantai para rawi yang dipercaya oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

[3] Al-Habib Abu Bakar al-Masyhur, Manhajus-Salâmah al-Wâ’iy, hlm: 70.

[4] Ibid, 40.

[5] Lihat Manâqibul-Faqîh, seperti al-Masyra Rawi, Syarah Ainiah, dll.

[6] Hal ini bisa dirujuk ke buku-buku sejarah tersebarnya Islam di Nusantara, baik yang berbahasa Arab atau yang berbahasa Indonesia, seperti al-Madkhal karya al-Habib Alwi bin Thahir, Hadhirul-Âlam al-Islami karya Amir Saqib Arsalan.

[7] al-Muwâjahah as-Safîrah, hlm: 9-29.