Di antara prinsip aqidah Muktazilah adalah beranggapan bahwa Allah ta’ala wajib mempertimbangkan maslahah (shalah) atau mempertimbangkan yang lebih maslahah (ashlah) kepada hamba-Nya. Shalah adalah lawan dari fasad. Muktazilah berpendapat jika terdapat dua pilihan antara shalah dan fasad, Allah wajib melakukan yang shalah. Sedangkan ashlah adalah lawan dari shalah. Jika bertentangan antara dua perkara dimana salah satu keduanya lebih maslahah, Allah wajib melakukan yang lebih maslahah.

Hanya saja, terdapat perbedaan antara Muktazilah Baghdad dengan Muktazilah Bashrah. Muktazilah Baghdad berpendapat kewajiban memperhatikan shalah dan ashlah untuk hamba berlaku untuk persoalan agama dan dunia. Sedangkan Muktazilah Bashrah berpendapat bahwa dua hal tersebut berlaku untuk persoalan agama saja. Kemudian mereka juga berbeda dalam memaknai apa yang dimaksud dengan ashlah. Muktazilah Baghdad mengartikan ashlah sebagai sesuatu yang lebih sesuai dengan hikmah penciptaan dan pengaturan alam semesta. Sedangkan Muktazilah Bashrah memaknainya dengan sesuatu yang lebih bermanfaat.

Ahlussunah Waljamaah menolak pandangan Muktazilah tersebut yang mewajibkan Allah mempertimbangkan shalah dan ashlah. Dalam pandangan Ahlussunah Waljamaah, Allah berhak melakukan apa saja sesuai kehendak-Nya. Syaikh Ibrahim Al-Laqani dalam Jauharah Tauhid-nya membantah klaim yang Muktazilah yang menyatakan bahwa Allah wajib mempertimbangkan shalah. Ketika klaim ini dibantah, maka secara pasti klaim wajib mempertimbangkan ashlah juga terbantahkan, karena ashlah adalah sesuatu yang lebih khusus dari shalah. Kalau yang umum dinafikan, maka secara lazim yang khusus juga dinafikan.

Al-Laqani berkata;

وَقَوْلُهُمْ: «إِنَّ الصَّلاَحَ وَاجِبٌ . عَلَيْهِ» زُورٌ مَـا عَلَيْـهِ وَاجِـبُ

Persoalan ini merupakan salah satu penyebab kenapa Abu Hasan Al-Asy’ari meninggalkan pemikiran Muktazilah yang diajarkan oleh Gurunya Al-Jubai. Ketika pada suatu kesempatan Abu Hasan Al-Asy’ari menggugat keabsahan prinsip ini, Al-Jubai tidak mampu menjawab dan mempertahankan prinsipnya.

Abu Hasan Al-Asy’ari bertanya: “Apa pandanganmu jika misalnya adalah tiga orang saudara, dimana salah satu dari mereka meninggal di usia dewasa dan hidupnya dilalui dalam ketaatan. Yang kedua hidup sampai usia dewasa dan bermaksiat. Dan yang ketiga meninggal saat masih kecil (belum baligh).”

Al-Jubai menjawab: “Yang pertama diberikan ganjaran masuk surga. Yang kedua disiksa dengan masuk neraka. Sedangkan yang ketiga tidak diberi pahala dan tidak disiksa.”

Maksud Al-Jubai, salah satu dari tiga saudara yang meninggal ketika masih kecil tidak masuk surga dan tidak masuk neraka. Dalam pandangan Muktazilah ada tempat netral yang bukan surga dan neraka, yang mereka namai dengan manzilah baina manzilatain. Ahlussunah Waljamaah tidak menerima pandangan ini.

Abu Hasan Al-Asy’ari kemudian bertanya lagi: “Seandainya sosok yang ketiga berkata, [Wahai Tuhanku! kenapa Engkau wafatkan Aku saat masih kecil dan tidak Engkau biarkan Aku hidup sampai dewasa sehingga Aku dapat melakukan ketaatan kepadaMu, kemudian Aku masuk surga?], Apa yang akan Tuhan jawab jika sosok yang ketiga berkata seperti ini?

Al-Jubai berkata: “Tuhan akan menjawab, [Aku Maha Mengetahui bahwa Kamu jika hidup sampai usia dewasa, Kamu akan bermaksiat yang membuat Kamu masuk neraka. Maka yang ASHLAH (lebih maslahah) bagi Kamu adalah kamu meninggal saat masih kecil]”

Abu Hasan Al-Asy’ari kemudian menimpali: “Seandainya sosok yang kedua bertanya kepada Tuhan, [Wahai Tuhanku, Kenapa Engkau tidak wafatkan Aku saat Aku masih kecil, sehingga Aku tidak masuk neraka?], Apa yang akan dijawab oleh Tuhan jika sosok yang kedua bertanya seperti ini?”

Al-Jubai tercengang, diam tersipu malu, tak bisa menjawab apa-apa. Ia gagal mempertahankan prinsip pokok akidah Muktazilah yang dibawanya.

Abu Hasan Al-Asy’ari kemudian meninggalkan Mazhab Al-Jubai. Beliau bersama pengikutnya kemudian konsens menolak syubhat pemikiran Muktazilah. Beliau memperkuat aqidah yang sesuai dengan sunnah, dimana sikap ini juga diikuti oleh jamaah. Oleh karena itu, kelompok ini dinamakan dengan Ahlussunah Waljamaah.

Ditulis dari kitab Tuhfatul Murid karya Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, Syarah Nazam Jauharah Tauhid, karya Ibrahim Al-Laqani. Oleh: Muhammad Iqbal Jalil