
Dalam Islam “ilmu pengetahuan” menempati posisi yang begitu penting. Bahkan ayat al-Quran pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad berupa Surah al-‘Alaq (1-5) mempresentasikan tentang ilmu:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥
“Bacalah dengan [menyebut] nama Tuhanmu yang menciptakan! Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Maha Mulia, yang mengajar [manusia] dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya,” (QS. Al-‘Alaq [96]:01-05)
Rangkaian ayat tersebut di atas menegaskan, bawah ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan adalah perkara yang sangat urgen untuk dicapai seluruh umat Islam. Bahkan, untuk dapat menjalankan perintah ibadah seperti shalat lima waktu, diperlukan ilmu dalam tata cara hingga makna pelaksanaanya.
Menuntut ilmu hukumnya adalah wajib tanpa memandang umur, latar belakang, dan sebagainya. Mencari ilmu dalam hal ini tidak terpusat pada bangku pendidikan, namun belajar dari masyarakat dan sekitar kita. Rasulullah dalam satu hadisnya,melalui Shahabat Anas bin Malik pernah bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِم
“Menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib atas setiap kaum muslim.” (HR. Imam Bukhari)
Dijelaskan pula Rasulullah tidak menginginkan jika seluruh sahabatnya ikut berperang. Harus ada beberapa personil kaum muslim yang dianjurkan tinggal bersama Rasulullah untuk belajar ilmu, sebagaimana firman Allah dalam Surah at-Taubah berikut ini:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا
“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah),untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?” (QS. At-Taubah [9]:122)
Dengan harapan ilmu yang diperoleh akan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Seperti apakah ilmu yang bermanfaat itu? Imam al-Ghazali dalam Bidâyatul–Hidâyah menjelaskan ciri-ciri dan karakteristik ilmu yang bermanfaat.
“Ilmu yang bermanfaat ialah yang akan menambah rasa takutmu kepada Allah, menambah kepekaanmu dengan aib-aib dirimu, menambah rasa makrifah dengan beribadah kepada Tuhanmu, mengurangi kecintaanmu terhadap dunia, menambah kerinduanmu kepada akhirat, membuka pandanganmu atas perbuatan burukmu, sehingga engkau dapat menjaga diri dari perkara tersebut, serta membebaskan dirimu dari tipu daya setan.” (lihat: Bidâyatul–Hidâyah, hal: 10)
Kita juga diingatkan agar tidak hanya menuntut ilmu dan mengajak orang untuk mengamalkannya. Namun mengamalkan ilmu itu sendiri untuk diri kita itu lebih penting.Atau dalam istilah gaul dikatakan ‘Omdo’, alias omong doang. Ada juga istilah ‘NATO’, yang berarti No Action Talk Only.
Allah menyatakan bahwa kebencian Allah amat besar terhadap orang-orang yang demikian. Hal ini difirmankan dalam al-Quran Surah ash-Shaf (61) ayat 2-3:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (٢) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (٣
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah, jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf [61]:02-03)
Di samping belajar dengan giat, menghormati dan memuliakan guru menjadi perkara yang begitu penting dalam menuntut ilmu. Guru adalah orang yang mencurahkan waktu hingga pikirannya, demi mendidik kita supaya menjadi tahu perihal ilmu. Imam Burhanuddin az-Zarnuji dalam Ta’lîmul–Muta’allim fî Tharîqit–Ta’allum, menjelaskan sebagai berikut:
اِعْلَمْ بِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لاَ يَنَالُ الْعِلْمَ وَلاَ يَنْتَفِعُ بِهِ اِلَّا بِتَعْظِيْمِ الْعِلْمِ وَأَهْلِهِ وَتَعْظِيْمِ الْأُسْتَاذِ وَتَوْقِيْرِهِ. قِيْلَ مَا وَصَلَ مَنْ وَصَلَ اِلَّا بِالْحُرْمَةِ، وَمَا سَقَطَ مَنْ سَقَطَ اِلاَّ بِتَرْكِ الْحُرْمَةِ
“Ketahuilah, bahwa seorang pelajar tidak akan bisa mendapatkan ilmu dan manfaat ilmu, kecuali dengan menghormati ilmu dan orang yang berilmu, memuliakan guru dan menghormatinya. Dikatakan, tidaklah disebut sukses meski dia telah sukses, kecuali dengan cara ‘menghormati’;dan tidaklah disebut gagal meski dia telah gagal, kecuali disebabkan ‘tidak hormat’.(baca: Ta’lîmul-Muta’allim fîTharîqit-Ta’allum, hal: 25)
Sayidina Ali bin Abi Thalib, yang mendapatkan gelar pintu ilmu pengetahuan (bâbul–‘ilm) bahkan mencontohkan perilaku yang begitu menghormati guru. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulûmiddîn menceritakan, Sayidina Ali bin Abi Thalib Ra. pernah berkata sebagai berikut:
أَنَاعَبْدُ مَنْ عَلَّمَنِيْ وَلَوْ حَرْفًا وَاحِدًا
“Aku adalah hamba (budak) bagi siapapun yang mengajarkan ilmu kepadaku, walau hanya satu huruf.”
Atas dasar itulah, setidaknya terdapat empat unsur utama dalam pendidikan yang perlu diperhatikan, yaitu: a) pentingnya ilmu, b) menuntut ilmu, c) pengamalan ilmu, d)hormat kepada guru. Serta tiga unsur pokok paling penting dalam konsep belajar ialah: a) motivasi, b) pengalaman, c) pemahaman. Melalui proses belajar yang baik, peserta didik akan mendapatkan pengajaran yang telah diprogramkansecara maksimal.
Pembelajaran dapat berjalan dengan baik, apabila telah terpenuhi unsur-unsur urgen pembelajaran yang terdiri dari peserta didik, tenaga pendidik, motivasi/stimulus, bahan belajar, alat bantu belajar, serta suasana dan kondisi belajar yang dapat mendukung kelancaran pembelajaran.
Karena Islam memandang pendidikan itu sangat penting adanya. Sebab dengan menjalani sebuah proses itulah seorang bisa mendapat ilmu pengetahuan, yang dapat menunjang taraf hidup dan posisinya dihadapan Allah serta manusia lainnya. []