
Jakarta pernah memiliki tiga ulama Habaib yang masyhur sebagai Waliyullah Jakarta. Tiga Serangkai (triumvirat) Waliyullah yang punya peran besar dalam persebaran Islam Aswaja sekaligus kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kota Jakarta memiliki tiga tokoh besar sekaligus pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia dari kalangan Habaib (Alawiyin). Tiga tokoh besar yang punya peran tak tergantikan bagi eksistensi Islam Aswaja sekaligus bagi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Beliau bertiga adalah al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang), al-Habib Ali bin Husein Al-Atthas (Habib Ali Bungur) dan al-Habib Salim bin Jindan (Habib Salim Jindan). Beliau bertiga adalah “founding parents” bagi mayoritas Habaib yang ada di Jakarta.
Hampir mayoritas ulama—yang benar-benar ulama dan bukan ulama politis—di Jakarta, bisa dipastikan punya sanad ilmu pada beliau bertiga. Atau, dalam istilah lain, sangat sulit menemukan ulama di Jakarta yang tidak berguru pada beliau bertiga (kecuali ulama politis, tentu saja).
Berikut manakib sederhana tiga serangkai habaib kharismatik yang juga waliyullah dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang dibanggakan masyarakat Jakarta.
Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi
Atau Habib Ali Kwitang (1870-1968), adalah Waliyullah utama Jakarta pada abad ke-20. Beliau pendiri Majelis Taklim Kwitang—majelis Ahlussunah wal Jamaah yang kelak jadi cikal-bakal semua organisasi Islam Aswaja yang ada di Kota Jakarta.
Habib Ali Kwitang sangat dekat dengan NU dan Soekarno. Bahkan, sudah masyhur jika Habib Ali adalah guru dari Bung Karno. Sang Proklamator itu pernah nyantri selama 4 bulan pada Habib Ali. Sebelum bertemu Habib Ali, Bung Karno cenderung tak suka Tahlilan dan Maulidan. Berkat didikan Habib Ali Kwitang, Bung Karno senang Tahlilan, Maulidan bahkan kerap memakai sarung.
Habib Ali Kwitang juga sangat perhatian dengan Jamiyah NU. Pernah suatu saat, ketika sedang musyawarah, beliau mendapati nampan gelas bergambarkan logo NU. Beliau pun langsung marah.
“Jangan kalian berani-berani membuat jatuh perkumpulan ini (NU) dengan meletakannya di bawah,” kata Habib Ali menasihati dengan penuh kasih sayang, layaknya orang tua pada anak.
Nasihat ini disaksikan dari dekat oleh para Habaib dan ulama besar lain kala itu, seperti Habib Ali bin Husein Al-Athas (Habib Ali Bungur), Habib Muhammad bin Ali Al-Athas, hingga KH. Falak Bogor, dan para kiai sepuh lain yang duduk di dekat beliau.
Bahkan, sangat masyhur bahwa Habib Ali pernah memproklamirkan diri sebagai Nahdliyin secara resmi. Peristiwa itu diabadikan banyak media kala itu. Salah satunya, koran berbahasa Belanda Het Nieuws van den Dag yang terbit 20 Maret 1933.
Al-Habib Ali bin Husein Al Atthas
Atau Habib Ali Bungur (1889-1976), adalah rantai utama jaringan ulama Aswaja di Jakarta. Beliau sosok penting yang punya jasa besar dalam menanamkan tradisi Islam Ahlussunah wal Jamaah di Jakarta. Buah dakwah dan jejak langkah beliau, terekam hingga kini.
Habib Ali Bungur memilih jalur pengajian kitab. Beliau mengajarkan banyak kitab induk seperti hadits, tafsir, ushul fiqih, dan kitab-kitab fiqih yang dianggap sebagai “kitab besar” saat itu. Tak heran jika mayoritas Habaib di Indonesia memberikan julukan “lautan ilmu” pada beliau.
Sudah sangat masyhur jika semasa hidupnya, Habib Ali Bungur adalah Habaib yang sangat mendorong terbentuknya Negara Indonesia nan bersatu, utuh serta berdaulat. Beliau selalu berpihak pada fuqara wal-masakin (orang-orang kecil).
Beliau tak segan menegur dan mengingatkan para pejabat yang sowan pada beliau agar selalu mencintai rakyat kecil. Beliau masyhur sebagai Habaib pembela kaum marginal. Itu alasan beliau berdakwah di kampung pinggiran seperti Cikini yang pada tahun 1920-an, merupakan kampung miskin.
Al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan
Atau Habib Salim Jindan (1906-1969), masyhur sebagai ulama pejuang kemerdekaan. Habaib berjuluk Singa Podium ini, masyhur sebagai Habaib nasionalis. Atau Habaib yang memiliki nasionalisme amat sangat besar.
Bukti nasionalisme Habaib Salim Jindan dapat dilihat dari berbagai kitab karyanya yang selalu menambahkan kata “Al-Indunisiy” di akhir nama. Nama beliau selalu tertulis dengan kalimat Allamah Al-Muhaddits As-Sayyid Salim bin Ahmad bin Jindan Al-Alawiy Al-Husainiy Al-Indunisiy.
Selain mendakwahkan tradisi Aswaja, Habaib yang juga penulis banyak kitab ini ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui tenaga, doa dan fatwa. Habib Salim Jindan adalah Habaib yang memegang teguh prinsip hubbul wathan minal iman (cinta tanah air bagian dari iman).
Nabs, hampir semua Ulama dan Habaib Jakarta, yang berguru pada beliau bertiga, cenderung memiliki tradisi Aswaja yang amat kental, dan kedekatan emosi yang sangat kuat pada Bangsa Indonesia.
Hampir semua ulama dan Habaib Jakarta, yang punya guru dan gurunya pernah berguru pada beliau bertiga, pasti bermetode dakwah khas Aswaja: bil hikmah wal mauidzah hasanah (dengan santun dan bijak).
Hampir semua ulama dan Habaib di Jakarta, yang punya guru dan guru dari gurunya itu pernah berguru pada beliau bertiga, pasti lebih fokus pada pemeliharaan dan pengembangan tradisi ilmu daripada ikut-ikutan berpolitik nggak jelas.
Saat ini, perjuangan dari tiga serangkai (Triumvirat) Habaib sekaligus Waliyullah Jakarta tersebut, masih terus dilanjutkan cucu-cicit beliau bertiga. Yakni, mendakwahkan Islam Aswaja dan terus mencintai bangsa Indonesia.
Tulisan Ahmad Wahyu Rizkiawan, di laman: jurnaba.co (tanggal post: 15/06/2021)