Ada sebagian orang beranggapan bahwa Islam muncul pertama kali di Jazirah Arab karena penduduknya berwatak jahat atau keras kepala. Wilayah Arab dianggap sebagai wilayah yang terjadi tingkat kenistaan dan kejahatan paling parah di muka bumi pada masa itu. Anggapan seperti ini tidak tepat karena kejahatan pada era jahiliyah tidak hanya terjadi di Jazirah Arab, tetapi juga di berbagai belahan dunia dengan bentuk yang berbeda-beda. Lalu kalau begitu apa hikmahnya Nabi Muhammad ﷺ diutus di Jazirah Arab? Jawaban tentang rahasia di balik hikmah dipilihnya Jazirah Arab sebagai tempat kelahiran dan pertumbuhan Islam telah dijelaskan secara lugas dan ber nas oleh Syekh Ramadhan Al Buthi dalam bukunya Fiqh Sirah.

Perlu dipahami bahwa sebelum Islam datang, masa itu dunia dikuasai oleh dua negara adidaya: Persia dan Romawi, kemudian menyusul India dan Yunani. Persia adalah ladang subur berbagai khayalan keagamaan dan falsafah yang saling kontradiktif. Di antaranya falsafah Zoroaster yang dianut oleh Kaum Penguasa yang mengutamakan perkawinan seseorang dengan ibunya, anak perempuannya, atau Saudaranya. Di sisi lain, di Persia terdapat juga ajaran Mazdakia yang menghalalkan wanita, membolehkan manusia dimiliki secara berserikat seperti perserikatan mereka dalam masalah air, api dan rumput.

Sementara itu, Romawi telah dikuasai sepenuhnya oleh semangat kolonialisme. Negeri ini mengandalkan kekuatan militer dan ambisi kolonialnya dalam mewujudkan keinginan hawa nafsunya yang serakah. Negeri ini tidak kalah bejatnya dari Persia. Kehidupan nista, kebejatan moral dan pemerasan ekonomi telah menyebar ke berbagai negeri. Kemerosotan ini juga berlaku pula untuk Yunani dan India. Sebab terjadinya kemerosotan tersebut adalah karena peradaban dan kebudayaan mereka didasarkan pada nilai-nilai materialistik semata, tanpa ada nilai moral yang menuntunnya.

Adapun jazirah Arab, mereka tidak memiliki kemewahan dan peradaban seperti Persia yang memungkinkan mereka kreatif menciptakan kemerosotan-kemerosotan, filsafat keserbabolehan, dan kebejatan moral yang dikemas dalam bentuk agama. Mereka juga tidak memiliki kekuatan seperti Romawi yang dengan kekuatan militernya melakukan ekspansi ke negara-negara tetangga. Karakteristik mereka seperti bahan baku yang belum diolah.

Meskipun ada juga sebagian bangsa Arab yang masih menjaga keluhuran hanifiyyah yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim, hanya saja hal itu pada umumnya telah punah. Kesalahan dan kekonyolan yang dilakukan oleh orang Arab disebabkan kebodohan dan keluguan mereka, bukan karena bimbingan peradaban. Mereka membunuh anak dengan dalih kemuliaan dan kesucian, memusnahkan harta kekayaan karena alasan kedermawanan, dan membangkitkan peperangan di antara mereka dengan alasan harga diri dan kepahlawanan. Kondisi inilah yang diungkapkan dalam Alquran sebelum Nabi diutus mereka berada dalam kesesatan;

…وإن كنتم من قبله لمن الضالين

“… Dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Baqarah [02]:198)

Hikmah diutuskannya Rasulullah Saw di tengah-tengah Bangsa Arab yang masih kosong dari pengaruh sentuhan peradaban adalah sama dengan hikmah dijadikannya seorang Nabi memiliki sifat Ummi, tidak bisa menulis dan membaca. Sifat bangsa Arab saat diutus Nabi memiliki sifat Ummi telah termaktub secara jelas dalam Alquran:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ.

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah [62]:2)

Hikmah Rasulullah ﷺ dijadikan bersifat ummi yang tidak bisa menulis dan membaca adalah agar manusia tidak ragu dengan kenabiannya karena beranggapan Alquran merupakan kreasi dari Rasulullah. Demikian juga termasuk dalam hikmah ilahiyah, menjadikan bi’ah (lingkungan) tempat diutusnya Rasulullah ﷺ dijadikan sebagai bi’ah ummiyyah bila dibandingkan dengan umat-umat lain di sekitarnya.

 Seandainya Rasulullah ﷺ diutus di suatu daerah yang telah mengakar peradaban tertentu, bisa jadi mereka yang tidak senang dengan Islam akan menuduh bahwa peradaban Islam merupakan penyempurnaan dari peradaban yang memang telah ada sebelumnya di Jazirah Arab, kemudian dipoles dan dimodifikasi untuk menjadi peradaban yang dipandang lebih layak untuk dunia seluruhnya. Dengan dijadikannya jazirah Arab sebagai bi’ah ummiyyah, celah untuk menyebarkan isu serampangan seperti ini menjadi tertutup. Dengan itu, manusia akan lebih mudah menerima dan meyakini bahwa ajaran yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ murni datangnya dari Allah, karena beliau ﷺ adalah seorang yang ummi dan lingkungannya juga bi’ah yang ummiyyah.

Dirangkum dari kitab “Fiqhus-Sirah”, karya As-Syahid Syaikh Ramadhan Al-Buthi, tulisan Muhammad Iqbal Jalil.