
MATERI: MA’ALIMUL-IRSYADIYAH LI SHINA’ATI THALIBIL-ILMI
KARYA: DR. MUHAMMAD AWWAMAH
Alhamdulillah wash-Shalâtu was-Sallâmu ‘Alâ Sayidina Muhammad wa ‘Alâ Alihî wa Shahbihî wa Man Wâlah
Keharusan menuntut ilmu atau mendapatkan ilmu dari para guru. Jadi ilmu tidak hanya didapatkan dari pinggir jalan, tapi mesti ada guru yang ia belajar kepadanya. Makanya dikatakan:
إِنَّ أَخْذَ الْعِلْمِ عَنِ الشُّيُوْخِ هُوَ مِفْتَاحُ عِلْمِ الصَّحِيْحِ
“Belajar atau mengambil ilmu dari para guru itu merupakan pintu atau kunci daripada ilmu yang benar.”
Dapat dipastikan bahwa setiap ajaran yang menyimpang, yang dibawa oleh penemunya, itu rata-rata tidak memiliki guru. Atau dia menyimpang dari gurunya, tidak sesuai dengan jalan gurunya. Makanya ilmu yang benar itu adalah ilmu yang didapatkan dari seorang guru, gurunya dari guru, sampai bersambung kepada Baginda Nabi Muhammad. Kata al-Imam Jakfar ash-Shadiq:
ضَلَّ مَنْ لَيْسَ لَهُ شَيْخٌ يُرْشِدُهُ
“Akan sesat orang yang tidak memiliki guru yang dapat membimbingnya, menunjukkan kepada jalan yang benar.”
Makanya di dalam dakwah sekalipun, itu mesti memiliki guru yang bersambung. Nanti mendapatkan ijazah dan seterusnya, makanya dikatakan di dalam al-Quran:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا * وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan,dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” (QS. Al-Ahzab [33]:45-46)
Ini izin dari Allah, para shahabat izin dari Nabi, kemudian para tabiin izin dari sahabat, dan seterusnya. Seperti yang akan diterangkan nanti di sini. Dan (ilmu yang bersanad) itu menjadi pertanda keberuntungan atau kesuksesan seorang pelajar.
Di sini ada beberapa paragraf yang mesti dipahami, “Tidak ada kebaikan di dalam ilmu seseorang, di mana dia tidak mempelajari ilmunya, di mana dia tidak mendapatkan ilmunya dari ulama al-mutqinin(kredibel), ulama yang memang mutqin.”
Mutqin ini ahli, profesional, itu bisa disebut dengan al-itqân. Artinya dia memang menguasai apa yang ia ajarkan. Kan repot kalau seorang guru yang diambil ilmunya, tapi dia tidak menguasai apa yang dia ajarkan. Ini bahaya, ibarat orang mau belajar nyetir dari orang yang kurang bisa nyetir juga. Kira-kira apa yang akan terjadi? Kadang kala ada orang yang coba-coba (yatajarra’), menempatkan dirinya menjadi Syaikh, menjadi guru di dalam bidang tertentu, padahal dirinya tidak itqan, tidak menguasai terhadap ilmu yang ia ajarkan, dengan kepentingan apapun, ada kepentingan ini itu. Tapi dia memberanikan diri untuk untuk ngajar(itqan), maka ini juga kacau.
Nah, di zaman kita sekarang ini banyak orang-orang pura-pura berani(yatashaddar), tampil seolah-olah menjadi seorang ulama padahal bukan ulama. Akhirnya kacau dunia persilatan, akhirnya kacau dunia dakwah, dunia keberagamaan, repot benar-benar. Itulah pentingnya itqan, kata Nabi Muhammad:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مِن عَبْدِهِ إِذَا عَمِلَ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ
“Allah itu suka kepada hamba-Nya bilamana dia mengerjakan sesuatu dikerjakan dengan semaksimal mungkin, dikerjakan dengan sebaik mungkin.” (HR. Imam Baihaqi)
Nah ini perlunya belajar serius, jangan nanggung, jangan setengah matang. Ya kalau telur setengah matang masih enak di makan, tapi kalau daging setengah matang di makan, Allah yahfadz. Maka menjadi seseorang berilmu itu mesti itqân.
Adapun ilmu syar’i, ilmu syariat yang mulia ini, sama dengan ilmu-ilmu sains, teknologi dan yang lainnya. Maka tidak bisa dipercaya, bagi seorang dokter yang tidak belajar kepada para dokter yang mahir, enggak bisa dipercaya. Dapatnya dari internet misalnya, dia autodidak, browsing sana sini, tahu-tahu udah diagnosa orang. “Oh ini penyakitnya ini, ini penyakitnya itu,” ngasih resep sembarangan, bisa mati orang keracunan.
Dokter bedah tidak bisa dipercaya, bilamana dia tidak belajar membedah dari para ahli bedah yang profesional, dari spesialis-spesialis bedah. Tahu-tahu ada orang datang, “Oh kamu harus dioperasi.” Dia dapat cara operasi dari internet. Akhirnya operasi seenaknya, enggak bisa dibalikin lagi badan orang.
Begitu juga seorang insinyur teknik, insinyur sipil yang membangun bangunan, insinyur-insinyur itu teknik sipil yang membangun begitu besar bangunan gedung-gedung yang bisa menampung ratusan keluarga, apartemen-apartemen itu berapa ratus keluarga itu yang ditampung dalam satu apartemen? Berapa apartemen itu dalam satu gedung? Tahu-tahu nih orang dia cuma lihat-lihat baca buku, “Oke biar saya yang bangun ini semuanya!” Kacau bisa remuk itu bangunan, bisa hancur di tengah jalan.
Makanya bilamana orang tidak belajar secara khusus, secara serius baik dalam teori ataupun praktik—mesti ada praktik turun lapangan. Itu dokter bedah dia enggak langsung ujuk-ujuk jadi dokter, dia ikut dulu dokter lain, jadi asisten dokter ngelihat bagaimana cara membedahnya, dilihatnya, diperintah ini, perintah itu, berkali-kali sampai dia mahir, baru dia bisa menjadi seorang dokter bedah. Makanya ada istilah magang nanti, ada namanya PKL/KKN, belajar di lapangan. Itu tujuannya biar tahu caranya, biar mempraktikkan secara langsung.
Begitulah semua disiplin kedokteran, arsitektur, bidang perdagangan, perekonomian, semuanya mesti belajar dan memiliki seorang guru yang mengajarkannya. Enggak bisa hanya sekedar autodidak. Kalau untuk sekedar menjadi pembicara di seminar-seminar, ceramah-ceramah, bisa tinggal ngafal ya kan? Seperti orang yang enggak ngerti bahasa Arab pengen ceramah bahasa Arab ngafal aja. Kadang keluar ayat al-Quran, yaudah yang penting dia ikut, kayak burung beo, enggak ngerti apa yang diucapkan.
Begitu pula ilmu yang memang “asli”, termasuk juga didalamnya. Kalau itu dalam hal ilmu secara umum, maka agama Allah lebih mulia dan lebih mahal dari itu. Mestinya lebih khusus dipelajarinya. Tidak boleh bagi setiap orang seenaknya cawi-cawi berbicara dalam agama Allah, baik dalam akidah, dalam ibadah, termasuk dalam muamalah, tafsir al-Quran atau menafsiri sunah Nabi, seenaknya menganggap dha’if, menganggap shahih. Seenaknya sendiri. Padahal dia tidak punya guru, dia tidak punya kemampuan yang memadai untuk itu.
Nah zaman kita sekarang ini, karena keterbukaannya informasi, semua orang bisa ngomong, artis ngomong agama, kacau. Udah begitu orang lebih percaya, karena dari awam-nya masyarakat kita. Dan banyak kasus-kasus yang sekarang ini terjadi, padahal dikatakan:
مَنْ تَكَلَّمَ بِغَيْرِ فَنِّهِ أَتَى بِالْعَجَائِبِ
“Siapa yang ngomong bukan dalam bidangnya, maka aneh-aneh yang akan didapati.”
Itu di zaman kita sekarang, subhânallah, karena orang ngomong seenaknya. Nah di sini tuntunan-tuntutan bagi para penuntut ilmu, untuk benar-benar untuk bisa mengatasi zaman yang seperti ini. Biar tidak semakin amburadul keadaan umat Nabi Muhammad. Bicara aqidah seenaknya, belajar dua-tiga hari kepada orang yang salah, mudah disalah-salahkan. Ini syirik, ini bid’ah, ini wah. Kayak dia doang yang Islam, padahal belajar agama baru kemarin. Atau sok-sokan jadi ahli ilmu fikih, mentang-mentang viral, mentang-mentang banyak yang nanya, memanggilnya Ustadz atau Ustadzah, akhirnya berfatwa seenaknya.
Dan ini terjadi, setelah ditelusuri karena dia tidak belajar serius, tidak menuntut ilmu kepada seseorang guru, sehingga yang kita khawatirkan nanti: “ilmu” adalah satu hal, kemudian menjadi “tokoh” adalah hal yang lain. Menjadi tokoh agama misalnya, ini akan berbahaya. Sehingga orang akan fokus pada gimana caranya viral, gimana caranya dapat pengikut yang banyak, dia enggak peduli kontennya isi yang akan dia sampaikan apakah itu sesuai atau tidak. Dan ini ke depan akan dihadapi oleh para penuntut ilmu, yang mesti kita hadapin dengan kecerdasan, dengan cara-cara yang benar.
Dan ilmu-ilmu yang lain, kecuali bilamana dia belajar dari seorang ulama dan dia menguasai itqan, benar-benar bagus di dalam penguasaan di dalam ilmu itu. Makanya kita di sini belajar ilmu alat terlebih dahulu, sebab salah satu yang dapat mengantarkan kita untuk bisa memahami tafsir al-Quran, hadis-hadis nabi itu berawal ketika kita mengetahui Qawâ’id Arabiyah. Makanya tidak berhenti sampai kapan pun kita belajar, sehingga bisa menjadi maksimal di dalam apa yang kita ketahui. Melalui tangan para ulama yang memiliki sifat yang bijak, dan orangnya santun. Di mana para ulama itu juga, mereka mendapatkan dari para guru-guru, di mana mereka mendapatkan warisan ilmu dan hikmah dari guru-gurunya tersebut, dan begitu seterusnya.
Adapun fase pertama di dalam Islam dari para penuntut ilmu, adalah para shahabat yang mendapatkan ilmu dari Nabi Muhammad secara langsung, itu para sahabat. Atau dari perantara seorang shahabat juga, seperti shahabat Junior yang belajar kepada shahabat senior. “Shahabat” adalah orang yang berjumpa dengan Nabi dalam keadaan iman, Abdullah bin Abbas misalnya, dan beberapa shahabat yang waktu masa kecilnya menututi masa hidup Nabi Muhammad. Tentu dia enggak bisa belajar kepada nabi secara langsung, karena keterbatasan umur.
Saat dia berjumpa dengan Nabi masih umur 10 tahun misalnya, sehingga tidak maksimal ngambilnya. Dari mana mereka ngambil? Dari para pembesar-pembesar shahabat, dari Sayidina Ali bin Abi Thalib, dari Zaid bin Haritsah, dari Zaid bin Tsabit, tokoh-tokoh shahabat yang terkenal sebagai seorang ulama. Muadz bin Jabal, dan lain sebagainya. Itu disebut dengan Mursal ash-Shahâbi.
Dan yang cerdas di antara mereka ketika dibutuhkan, mereka akan bertindak sesuai dengan pengetahuan dan dasar-dasar yang mereka miliki, mengembangkan misalnya. Di zaman shahabat tuh enggak ada istilah ilmu fikih, ilmu tasawuf, ilmu tauhid, enggak ada. Yang ada istilah Qurrâ’, makanya para ulama dulu disebut dengan Qurrâ’, karena mereka yang menghafal al-Quran sekaligus memahami al-Quran dengan baik, makanya disebut dengan Qurrâ’. Jadi kalau dalam hadis Nabi misalnya, orang yang pertama kali dimasukkan ke dalam api neraka di antaranya adalah Qari’.Nah, maksudnya para ulamanya di situ.
Dan sesuai perkembangan waktu, akhirnya muncul penemuan-penemuan baru untuk mengembangkan, untuk mendisiplinkan. Maka lahirlah nanti ilmu fikih, lahirlah nanti yang disebut ilmu hadis. Terus berkembang dan tidak akan pernah berhenti, sesuai dengan kebutuhan. Nah, itu yang disebut dengan “Tasharruf”.Tapi bukan berarti mereka bikin-bikin, tidak! Mereka mengembangkan apa yang sudah ada, makanya Nabi pernah mengatakan:
رُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنَ السَّامِعِ
“Betapa banyak orang yang mendapatkan ilmu melalui perantara.” (HR. Imam Turmudzi)
Jadi shahabat ilmu dapat dari Nabi, tabiin dapat dari shahabat, kan begitu. Tabiin dia enggak langsung menerima dari Nabi, tapi melalui shahabat—yang sami’ langsung. Tapi kadang “Aw’a”, kata Nabi banyak orang yang lebih faham daripada pendengar secara langsung. Makanya nanti ada istilah antara ahli hadis dengan ahli fiqih; ahli hadis itu menampung banyak informasi seputar hadis-hadis Nabi Muhammad sebanyak mungkin, dan yang mengelola hadis itu adalah fuqaha’. Sehingga pernah ada beberapa kejadian, ahli fikih berfatwa dengan sebuah fatwa, dan membuat ahli hadis heran bertanya kepadanya, “Kamu dari mana dapatkan pendapat ini?”
“Dari hadis yang saya dapatkan darimu, hadis yang saya belajar kepadamu itu pengertiannya begini-begini.”
Makanya nanti dikatakan bahwa para ahli hadis ini adalah apoteker, seperti apoteker ahli obat-obatan. Tapi yang meracik dan menentukan—ini untuk apa, itu untuk apa—adalah fuqaha’, mereka seperti dokter. Jadi ahli hadis itu adalah shaidaliy disebutnya, sedangkan fuqaha’ itu sama dengan thabib. Sehingga kadang kala orang yang sekarang ini berslogan “kembali kepada kitab dan sunah” sedangkan dia enggak punya perangkat untuk berijtihad, perangkat untuk memahami hadis dengan benar, maka akan terjadi hal negatif seperti itu.
Jadi banyak kejadian-kejadian yang para shahabat itu berijtihad dengan dasar yang mereka miliki, kemudian kembali kepada Nabi dan Nabi mengakui. Makanya nanti disebut dengan iqrar nabi, Nabi tidak berbicara dan tidak berkata, tapi itu merupakan ijtihad para shahabat kadang kala yang dibenarkan oleh Nabi, sehingga itu masuk dalam kategori hadis. Kan begitu dalam definisi:
مَا أُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ قَوْلًا وَفِعْلًا وَتَقْرِيْرًا
Atau Nabi membenarkan atau membenahi, kalau memang salah dibenarkan oleh Nabi Muhammad. Jadi begitu cara atau metode para sahabat belajar kepada Nabi, banyak contoh-contoh itu. Dulu itu kalau shalat telat—makmûm masbûq—mereka shalat duluan. Jadi kurang dua rakaat, ketinggalan dua rakaat, mereka shalat dua rakaat baru sisanya ikut Nabi Muhammad, sehingga dipercepat shalatnya. Paham maksudnya? Sampai akhirnya ada Mu’adz bin Jabal datang, “Kayaknya kurang bagus (shalat sambil ngejar).”
Akhirnya Mu’adz langsung ikut Nabi, padahal Nabi udah lewat dua rakaat dia ikut aja. Kemudian setelah Nabi salam, baru ditambahin dua rakaat oleh Mu’adz, seperti yang kita praktikkan saat ini. Kata Nabi, “Apa yang dilakukan oleh Mu’adz ini yang benar.”
Katanya yang dibikin oleh Mu’adz ini adalah benar. Jadi tasharruf dari Mu’adz sendiri.
Banyak di antaranya seperti Bilal bin Rabah misalnya, itu pernah suatu saat Nabi bertanya kepada Bilal, “Ya Bilal dengan apa engkau mendahuluiku masuk kedalam surga? Aku mendengar suara terompahmu-sendalmu di surga. Apa yang kamu lakukan, amal apa?”
“Enggak ya Rasulullah, cuman saya ini tidak pernah berwudhu melainkan setelahnya pasti saya salat dua rakaat.”
أَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتُهُ
Katanya, “itu adalah amal yang paling saya harapkan.” Jadi Bilal bikin-bikin itu, bukan sunah dari Nabi, tapi akhirnya dibenarkan oleh Nabi dan menjadi sunah. Banyak contoh-contoh yang sedemikian, itu disebut dengan taqrir.
Kalau salah, ya dibenarin dan dibenahin oleh Nabi. Ada seorang shahabat pergi ke Persia, dan dia disana mendapati rakyat Persia itu kalau menghormati raja-rajanya nunduk-nunduk sampai sujud gitu. Akhirnya, “Wah ini cakep nih, bagus ini cara penghormatan, pengagungan yang layak kayaknya nih.”
Pulang dia ke Madinah niru-niru, ketemu Nabi sujud-sujud. Akhirnya dibenahin oleh Nabi, bukan begitu cara menghormat. Kata beliau: “Seandainya ada seseorang boleh sujud kepada sesama makhluk, saya perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya. Tapi tidak ada orang boleh sujud kepada sesama makhluk, termasuk kepada diriku tentunya.”
Begitu Rasulullah membenahi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para shahabat. Nah begitu ilmu, akhirnya terbangun sebuah pemahaman, yang nanti akan dijelaskan, menjadi madrasah tersendiri. Madrasahnya Imam Syafi’i, dari segi dan dari sisi pemahaman saja, misalnya di Indonesia ini. Nanti akan dijelaskan, mereka memiliki madrasah-madrasah sendiri, seperti keluarga. “Oh ini keluarga ini, itu keluarga lain.”
Meskipun nanti tempatnya berbeda-beda, sama-sama tinggal di Indonesia, tapi ada Madrasah Hijaziyah—madrasah yang belajar di Hijaz, guru-gurunya orang Hijaz. Ada Madrasah al-Mishriyah misalnya, guru-gurunya belajar di Mesir. Atau ada Madrasah Hadramiyah dan lain sebagainya.
Tapi semuanya memiliki sanad dan dasar kokoh, yang memang bersambung dari guru ke seorang guru sampai kepada Baginda Nabi Muhammad. Nah ini pentingnya berguru didalam belajar ilmu. Mudah-mudahan Allah berkahi kita semua, bisa belajar dengan baik, dengan semangat dan sungguh-sungguh.
Wa Ilâ Hadratin-Nabi Muhammadin, Alfâtihah…
full video: https://www.youtube.com/watch?v=WdLyRr3KQ7s
Kajian lainnya bisa disaksikan di laman youtube: PONDOK PESANTREN AL-GHANNA https://www.youtube.com/@pondokpesantrenal-ghanna