
MATERI: MA’ALIMUL-IRSYADIYAH LI SHINA’ATI THALIBIL-ILMI
KARYA: DR. MUHAMMAD AWWAMAH
Alhamdulillâh wash-Shalâtu was-Salâmu ‘Alâ Sayidinâ Rasûlillâh Muhammad ibni Abdillâh wa ‘Alâ ‘Alihî wa Shahbihî wa Man Wâlah…
Qâla Hafidzahullâhu Ta’âlâ wa Nafa’anâ Bihî wabi ‘Ulûmihî. Amîn…
Jadi orang kalau melewati tikungan itu disebut dengan ma’lam, seseorang ingin mengetahui atau sampai kepada sebuah tujuan, maka dikasih tanda-tanda untuk sampai ke tempat tersebut. Nah itu disebut dengan al–Ma’lam; ath–Thâriq, jalan.
Jadi dikatakan konsentrasi fokus hanya untuk ilmu dan menghilangkan atau menjauhkan diri demi ilmu dari segala penghalang, ini tafarrugh namanya. Fokus di dalam ilmu dan menyingkirkan segala ‘Awâiq, hal-hal yang dapat menghalangi seseorang dari ilmu, apapun itu bentuknya. Jadi seseorang itu sekali lagi sering saya katakan, bahwa orang itu kalau ingin sukses harus fokus, pemikiran bilamana yatasyaddad (bercabang macam-macam) itu enggak bakal berhasil. Kalaupun berhasil kebetulan, dan orang yang kebetulan itu enggak maksimal.
Makanya mesti tafarrugh, benar-benar tidak memikirkan yang lain, kecuali hanya untuk ilmu, fokus di dalam hal tersebut, konsentrasi di dalam tugas itu. Di sini dikatakan, bahwa menghilangkan segala sesuatu dari segala penghalang dan hal-hal yang dapat mengaitkan dan membelokkan seseorang dari ilmu, itu merupakan asas di dalam kesuksesan seseorang di dalam menuntut ilmu. Tidak ada manfaat semangat seseorang untuk mendapatkan ilmu, untuk menulis faedah, untuk mendapatkan faedah, bilamana dia tidak fokus terhadap ilmu, tidak fokus—kita artikan seperti itu.
Ini yang akan saya sampaikan, kata Syaikh Muhammad Awwamah, yang pertama ini akan dijelaskan apa saja yang semestinya dilakukan oleh seseorang ketika dia menuntut ilmu. Dan beliau menyebutkan bukan hanya sekedar teori, akan tetapi juga dijelaskan dengan contoh-contoh nyata orang-orang yang berhasil di dalam menuntut ilmu. Makanya beliau mengatakan, “mencegah diri termasuk dari hal-hal yang bersifat primer.” Hal yang sangat dibutuhkan sekalipun, hal yang sangat diperlukan, dia tahan demi untuk mendapatkan ilmu.
Di dalam mencari ilmu dan bisa mendapatkan dengan sebanyak mungkin ilmu, penghalangnya itu banyak sekali. Di mana Penulis tidak sanggup dan tidak mungkin untuk meringkasnya atau menyebutkan semuanya. “Apa yang saya tulis ini hanyalah sekedar apa yang terlintas di dalam hati saya, sedangkan sesuatu yang terlintas di dalam hati akan hal ini, tentu adalah hal-hal yang pernah dialami dalam hidupnya, atau yang ia dengar dari orang lain.” Dan Tidak diragukan lagi di situ pasti ada cerita-cerita dan kejadian-kejadian yang tidak dia dengar, tapi masih termasuk bagian daripada ‘Awaiq (penghalang) di dalam menuntut ilmu.
Pemutus itu, sesuatu yang memutuskan seseorang dari ilmu itu banyak sekali, apalagi di zaman kita sekarang. Ini di zaman Syaikh Muhammad Awwamah, yang hidupnya dengan ilmu, bangun tidur isinya ilmu, sampai tidur lagi itu otaknya ilmu. Apalagi zaman kita sekarang, ada handphone itu ‘Awâiq yang paling gede di zaman kita sekarang. Kata Syaikh Ali Jumah:
فِتْنَةُ هَذَا الزَّمَانِ الْجَوَّالَةُ
“Fitnah di zaman kita ini adalah sosial media.”
Fitnah itu paling enggak menyia-nyiakan waktu kita. Jadi ini saya sebutkan beberapa kriteria, apa saja yang dapat mencegah seseorang untuk menjadi penuntut ilmu sejati? Yaitu hendaknya dia memperhatikan diri, mengawasi diri dan waktunya dengan kehati-hatian yang tinggi, tidak terlalu dibebaskan, nafsu ini enggak begitu dibebaskan. Setiap sesuatu yang ia anggap dapat mengganggu terhadap kewajiban yang telah ia tetapkan, maka itu dianggap sebagai penghalang, sebagai pemutus yang menyibukkan, maka harus ditinggalkan.
Sesuatu yang dia anggap mempengaruhi terhadap pelaksanaan di dalam kewajiban yang telah ia tentukan, apa yang dia memiliki kewajiban? Mendapatkan ilmu, memanfaatkan waktu, itu kan kewajiban prioritas yang telah kita Tanamkan dalam jiwa kita sendiri. Setiap sesuatu yang mengganggu akan hal ini, kita anggap itu adalah sebagai penghalang dan pemutus. Jangan sampai ini memutus kita, dan dia wajib untuk memutusnya.
Jadi kalau ada hal-hal yang melemahkan semangat, hal-hal yang membuat kita malas untuk menuntut ilmu, atau membuat kita sibuk daripada menuntut ilmu, putus jangan mau. Putus segera, jangan menoleh ke hal-hal tersebut, segera cut dan menjauh darinya.
Saya kenal satu Ustadz itu, Masyaallah alumni Hadramaut, bahkan pernah suatu saat dia itu mimpi sama Habib Umar dipanggil di suruh ke Hadramut. Mimpi pertama kali dia anggap itu kembang tidur, atau mungkin dia kangen. Akhirnya dia mimpi lagi sampai dua kali. Nah, dia ngomong sama Habib Umar (di mimpinya): “Bib, saya ini gimana katanya?”
Setelah ngomong gitu ke Habib Umar, kata Habib Umar: “Benar, nanti balik.”
Ini anaknya Kiai besar, punya pesantren besar, ribuan santrinya. Balik dia ke Hadramaut. Sekarang dia bikin sekolah SD IT, sekelas SD tapi berhasil sukses dan luar biasa, sampai ngantri, orang mau masuk itu sampai ratusan dia harus waiting list ya, harus daftar tunggu untuk masuk sekolah-sekolahnya. Dia sampai hari ini enggak mau ngerjain hal-hal yang sia-sia, dia itu enggak punya handphone. Jadi kalau saya ada perlu, saya harus hubungin istrinya. Jadi istrinya yang pegang handphone, dia sendiri enggak mau pegang handphone. Sampai kadang kita kesal, “Ente ngapain enggak pegang handphone, kan kita ada kesibukan, ada komunikasi, ada ini itu.” Enggak peduli dia.
Bayangin coba, orang sekelas dia. Jadi dia bikin sekolah SD, habis itu dia punya santri kira-kira 2.000 milik orang tuanya, ini milik kakeknya, dan ini punya keluarganya. Dia bilang: “Ini saya memelihara produk-produk gagal.”
Istilahnya enggak produktif. Pesantren yang jumlahnya 2.000 santri, dari segala hal pelajaran juga enggak maksimal, ini enggak maksimal, dia usulin ke keluarganya. “Gimana kalau kita pulangin aja mereka? Kita pulangin, santri kita sisain 500 saja. Saya yang nanggung biayanya.” kata dia.
“Saya sanggup membiayai 500 orang, tapi dengan syarat fokus bersungguh-sungguh. Sehingga nanti akan melahirkan kader-kader yang luar biasa.” Ya keluarganya enggak ada yang setuju, pondok sudah berdiri puluhan tahun.
Tapi yang menjadi pelajaran disini, ada orang di zaman sekarang, demi untuk fokus di dalam segala pekerjaan dan tugas-tugas yang dia anggap itu adalah prioritas dan kewajiban baginya, sampai meninggalkan hal-hal yang dianggap di zaman kita sekarang ini minadh–dharûriyat, termasuk hal yang primer. Orang sekarang lebih baik kehilangan istri daripada kehilangan handphone, di zaman kita sekarang sampai segitunya. Jadi kemana-mana enggak lepas dari handphone-nya. Dia sama istrinya kumpul berapa berapa jam dalam sehari semalam, sama anak-anaknya berapa jam? Tapi handphone-nya? 24 jam nggak lepas! Kadang tidur pun ditaruh di sampingnya. Lâilâha Illallâh.
Itu ‘Awaiq yang terbesar. Ada orang bilang, “Nanti ketinggalan zaman (kalo ga pake hp).” Enggak bakalan ketinggalan zaman, enggak ada yang kayak itu. Itu anak bayi zaman sekarang, umur 2 tahun sudah pintar lihat YouTube. Iya enggak? Jadi memang Allah ciptakan seperti itu. Orang yang generasinya sudah ngelewatin generasi saat ini, sudah bukan generasi Z, udah generasi yang lain dari ini. Bisa gaptek, enggak ngerti itu urusan teknologi. Karena memang bukan masanya, bukan fasenya. Dan Allah menciptakan manusia sesuai dengan fasenya, enggak bakalan ketinggalan zaman. Jangan khawatir takut ini, takut itu, enggak usah!
Maka dikatakan di sini, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang mengganggu di dalam jalan kesuksesannya. Dan sampai ke dalam Puncak keinginannya. Udah pokoknya setiap sesuatu yang dapat mengganggu di dalam melaksanakan kewajiban, yang tadinya biasa baca al-Quran, yang tadinya biasa menghafal, yang tadinya biasa. Gara-gara ini, apa saja bentuknya, pertemanan, teman-teman. Perlu diperhatikan, nabi mengatakan:
الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ
“Seseorang itu tergantung agama temannya.” (HR. Imam Abu Daud)
الصَّاحِبُ سَاحِب
Tau maknanya “Sahib”? Maknanya itu “menarik”. Makanya salah satu dari pentingnya berteman dan berkumpul dengan orang-orang saleh, itu karena dapat mempengaruhi orang-orang yang duduk dengannya. Shahabat Nabi itu mendapatkan predikat dan derajat yang tinggi, meskipun paling bodohnya shahabat, paling tidak bertakwanya shahabat, tidak bisa diungguli oleh seorang Wali Qutub yang paling besar sekalipun. Kenapa? Terkatrol dengan cahaya Nubuwah, karena mendapatkan kesempatan berkumpul dengan Baginda Nabi Muhammad. Makanya disebut dengan “shahabat”.
Kata Syaikh Ratib an-Nabulisi, seorang Dai terkenal di Suriah, terkenal sekarang paling banyak di YouTube. Ngisi acara-acara di televisi, di mana saja, terkenal luar biasa. Ceramah-ceramahnya dibukukan, ada tafsir, ada sirah, ada macam-macam. Itu an-Nabulisi, beliau mengatakan: “Saya ini menjadi pendidik lebih daripada 60 tahun.”
Umurnya sekarang hampir 80 tahun, “Saya perhatikan, pembentukan karakter seseorang itu bukan dari orang tua dan guru sekaligus, itu tidak lebih daripada 40%, bahkan 35%. Sisanya, berarti 65%, itu dari teman-temannya.”
Jadi guru di sini sampai berbusa, ya ngomongnya beini begitu. Ya pas ngobrol sama temannya, hilang itu ilmu semua. Itu pentingnya mencari teman yang baik, itu alaiq paling besar. Makanya kata Ibnu Athaillah as-Sakandari:
لَا تَصْحَبْ مَنْ لَا يُنْهِضُكَ حَالُهُ، وَلَا يَدُلُّكَ عَلَى اللهِ مَقَالُهُ
“Jangan engkau temenin orang, kecuali orang yang membangkitkan dirimu, kecintaanmu, semangatmu kepada Allah.”
Kalau teman-teman ngajak, apalagi yang ngajak mukhalafah, apalagi teman yang ngajak untuk bermaksiat, wah ngajak ke neraka itu. Kita ini sudah di ujung tanduk untuk meraih kesuksesan, gigit jari nanti ketika ngelihat teman-temannya yang lain sudah sukses. Masyaallah, jadi orang saleh, ahli ibadah, jadi Dai, jadi penghibur mata Nabi Muhammad. Ini padahal sudah pernah hidup bareng, makan bareng, tidur bareng, rebutan roti bareng, kok tahu-tahu ini enggak berhasil. Ya Allah, padahal udah di ujung tanduk. Makanya jangan sampai ada yang seperti itu. Ini ‘awâiq. Makanya setiap sesuatu yang mengganggu dari ke fokus kita, tinggalkan. Apapun itu bentuknya.
Pernah diungkapkan dengan ungkapan yang paling benar, tentang keharusan untuk fokus di dalam menuntut ilmu, dan meninggalkan segala sesuatu yang dapat mengganggu, adalah ucapan yang diucapkan oleh Al-Imam Abu Yusuf al-Qadhi. Abu Yusuf ini murid daripada Imam Abu Hanifah.
Jadi tonggak dalam mazhab Hanafi itu ada dua, ada Imam Abu Yusuf yang pernah menjadi Qadhi di zamannya, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Ini dua orang ini yang menyampaikan mazhab Abu Hanifah setelahnya, bahkan menjadi guru daripada Imam Syafi’i. Abu Yusuf mengatakan: “Ilmu itu adalah sesuatu, yang tidak akan memberi sebagian untukmu Hingga engkau memberi untuknya keseluruhanmu.”
Engkau pasrahkan dirimu untuk ini, fokus hidupmu hanya untuk ini, kita makan untuk ilmu, kita tidur untuk ilmu, kita apalagi belajar tentu untuk ilmu. Maka dikatakan: “Dan kamu kalau sudah memberikan dirimu seutuhnya, engkau pasrahkan kepada ilmu, maka bisa jadi ia akan ngasih kepadamu sedikit.”
Apalagi ini, kamu ngasih seutuhnya kepada ilmu itu, ilmu akan ngasih dikit. Enggak mungkin ngasih semuanya, enggak mungkin, sedikit aja. Bisa jadi akan dikasih sebagian, engkau bisa mendapatkannya, atau bisa meskipun engkau begitu dia tidak memberimu. Misalkan engkau sudah fokus nih benar-benar, belum pasti kau bisa mendapatkan ilmu, apalagi yang enggak ngasih sama sekali. Ini yang sudah fokus ngasih semuanya, bisa dikasih bisa enggak. Kalaupun dikasih sedikit, karena dari mahalnya ilmu.
Kalau dulu itu ilmu itu benar-benar mahal. Kalau ada orang alim, maka nilainya tidak tertanding, yang datang itu pejabat, para sultan datang. Minta nasihat, keluar dari rumahnya nangis, mahal dulu ilmu itu. Ilmu itu benar-benar menjadi hal yang sangat luar biasa. Ada anaknya Hisyam bin Abdul Malik atau Abdul Malik bin Marwan—antara mereka berdua itu. “Lihat tuh ada orang yang lagi shalat,” katanya. “Ayo pergi kamu ke orang itu”
Dia bilang kepada anaknya, yang merupakan putra mahkota saat itu. Di Makkah saat itu ada orang sedang shalat. Imam al-Atha’, seorang tabiin, mantan budak daripada Sayidah Maimunah, istri Rasulullah. Akhirnya didatengin, “Ayah, kenapa sih Kok sampai segitunya?” kata anaknya. “Karena dia orang berilmu.”
Imam al-Ghazali menjadi ulama besar, karena ayahnya sangat cinta kepada ahli ilmu, sangat mengagungkan orang-orang shaleh. Kalau ada orang ahli ilmu atau ulama datang, dia Khidmah, dia beradab. Akhirnya Allah kasih keberkahan dari itu, dua anaknya Muhammad al-Ghazali dan Ahmad al-Ghazali menjadi mercusuar dalam ilmu. Kenapa? Karena begitu cara ayahnya memperlakukan ilmu dan ahlu ilmu. Nah, di saat seseorang menjadikan ilmu seperti itu, maka keberkahan ilmu akan dilihat nanti, akan terpancarkan darinya.
Kemudian dikomentari komentar ini oleh Al Imam al-Khatib, beliau mengatakan mengutip kalamnya Ahmad Nasr bin Ahmad al-Iyadhi: “Tidaklah seseorang mendapatkan ilmu ini, kecuali dia tutup tokonya, dia hancurkan kebunnya, dia rusak kebunnya, dia tinggalkan saudara-saudaranya, dan meninggal orang terdekatnya dia enggak hadir jenazahnya.”
Baru dapat ilmu benar-benar, orang yang seperti ini, jadi fokus benar-benar. Dia punya kerjaan ini, enggak peduli.
Dulu saya kenal seorang dari Aceh, suatu saat dia datang lagi ke Aceh. Anak muda, Gesit, pintar, cerdas, bisa bahasa Arab. Masyaallah, masih muda umurnya waktu itu masih sekitar 19 tahun atau 20 tahun. Dia bilang banyak hal dia cerita, terus dia bilang begini: “Saya pengin kawin, cuman orang tua saya enggak setuju. Gimana ini? Terus perempuan yang saya sukain ini orang yang hafal al-Quran, sudah hafal al-Quran. Cuman rupanya orang tua saya enggak setuju, ayah saya keras.”
Ayahnya orang berpendidikan, dosen di salah satu Universitas. “Saya udah begini, udah begitu.” Terus begitu dia mendesak, saya kasihan waktu itu. Sesudah pulang dari Jakarta dia masih komunikasi terus, “Udah begini saja, saya kirim surat, ente print ini.”
Saya kirim lewat email waktu itu, saya rayu orang tuanya agar dikasih, orang pengin kawin umurnya 19 tahun. Terus saya tanya: “Ente ini nanti gimana kalau kawin?”
“Saya bisa ngidupin diri saya sendiri. Dari bisnis online bisa.”
Wah, Masyaallah. Itu dulu. Akhirnya okelah saya kirim surat ke orang tuanya, Subhanallah, orang tuanya mau menerima surat itu. Orang tuanya menerima, akhirnya kawin. Karena ini pintar anaknya, dapat beasiswa ke luar negeri, istrinya dibawa ke luar negeri. Saya tanya: “Ente gimana nanti di luar negeri?”
“Enggak Habib, saya akan melanjutkan.” Kelihatan orangnya, semangat kepada ilmu, cuman dia masih tetap kepikiran dengan usaha dan bisnisnya. Akhirnya berangkat dia ke luar negeri, sampai hari ini masih di luar negeri. Tapi seharusnya dia itu menjadi orang yang hebat, seharusnya dia itu kuliah paling bisa diselesaikan dalam jangka waktu dan tempo yang singkat. Ini sampai sekarang enggak selesai-selesai kuliahnya. Ya Allah, sayang. Kenapa? Karena dia masih hatinya mendua, satunya ke bisnis, satunya ke istrinya mungkin, satunya menuntut ilmu. Lâilaha Illallâh.
Padahal potensinya sangat luar biasa, memiliki kejeniusan di luar rata-rata, hafal al-Quran orangnya. Masyaallah. Kenapa? Karena enggak fokus. Makanya di sini dikatakan, “Orang enggak bakalan dapat ilmu, kecuali dia memang benar-benar fokus.” Dia tutup keinginan-keinginan yang lain, dia fokus di situ. Dia ingin menjadikan dirinya sebagai orang yang berhasil. Fahimtum?
Kata al-Imam Qadhi ‘Iyadh—mushannif—saya enggak tahu siapa beliau ini, namun ucapan dia bahwa seorang itu bisa mendapatkan ilmu sampai dalam batasan dia tidak menyaksikan jenazah orang terdekatnya, dia memberi isyarah kepada apa yang diceritakan oleh orang yang mendapatkan taufik, tentang Imam Abu Yusuf. Kata Abu Yusuf, “Saya punya anak meninggal, saya enggak men-tajhiz jenazahnya.”
Pemulasaran jenazahnya, dia enggak menghadirinya, enggak mandiin, enggak ikut ngafanin, dan enggak ikut ngubur anaknya. “Dan saya tinggalkan, saya biarkan yang mengerjakan itu keluarga saya dan tetangga-tetangga saya. Karena saya khawatir ketinggalan faedah daripada sedikit ilmunya Imam Abu Hanifah.”
Takut kelewatan coba, ini memikirkan kelewatan. Malah izin sampai berhari-hari girang, “Wah, mumpung liburan nih, mumpung dapat izin dah, seminggu aja deh.” Pengin dapat ilmu, tapi bolos suka.
Ini beliau anaknya meninggal, namun karena takut ketinggalan ilmu—ketinggalan pelajaran, kalau bahasa kita sekarang—enggak peduli dia. Bukan malah cari kesempatan untuk enggak hadir pelajaran, ya Allah.
Itu semalam saya dengar al-Habib Umar lagi di ziarah Nabiyullah Hud, ada orang Palestina hadir yang bilang, “Alhamdulillah ya habib. Saya ini selalu hadir di mana engkau bikin majelis. Semua di masjid-masjid manapun yang engkau bikin majelis, saya hadir meskipun kadang internetnya lemot, kadang terputus, tapi saya hadir.”
Artinya, dia enggak mau ketinggalan, dan orang ini masyhadnya luar biasa kepada Habib Umar. Dia bilang—orang Palestina: “Saya baca Maulid adh-Dhiya’ al-Lâmi’, yang hadir cuman tujuh orang. Tapi demi Allah—kata dia sampai bersumpah—Wallâhi, saya menyaksikan dari cuman tujuh orang ini seakan-akan Ahlut-Tarim semuanya hadir di dalam majelis saya.”
Memiliki masyhad yang sangat luar biasa, di Palestina ribut bom di sana sini, “Saya cuman mengandalkan Ratibul-Atthas. Alhamdulillah saya istikamah baca Ratibul-Atthas.”
Padahal santri di sini pengennya, kalau bisa enggak baca wirid itu. Ini orang di Palestina, kata dia, “Saya tenang dengan itu semua, enggak takut, enggak apa. Dan alhamdulillah diselamatkan oleh Allah.”
Datang ke Tarim, sampai hari ini masih di Tarim itu. Padahal Palestina lagi perang. Nah, ini contoh bagaimana orang yang tidak mau ketinggalan pelajaran, kalau mau ilmu ya harus begitu.
Ada yang mirip kisah ini, al-Imam Hafiz al-Munziri, pengarang kitab at-Targhîb wat-Tahdzîb. Imam al-Munziri itu seorang imam yang luar biasa. Ketika tinggal di dekat Darul Hadis Al-Kamilia yang ada di Kairo, putranya Muhammad wafat yang saat itu berumur 30 tahun. Putranya yang berumur 30 tahun sudah meninggal dunia, dan sang anak ini mencapai keilmuan luar biasa, sampai dikagumin banyak orang, sampai disebut namanya. Artinya orang ini sudah mencapai alim, padahal 30 tahun umurnya.
Ayahnya ya menyalatin dia di dalam sekolah itu, di Madrasah Darul Hadis itu, dan dia mengantarkan sampai di pintu gerbang Madrasah. Kalau ibarat di sini, diantar itu jenazahnya, habis di shalatin diantar, dan kedua belah matanya meneteskan air mata. Pamitan dia bilang: “Saya titip engkau, wahai anakku kepada Allah.”
Habis itu dia tinggal, enggak keluar dari pondok itu. Kalau bahasa kita tetap dia belajar di situ coba. Ada kisah lain ini, Syaikh Muhammad Raghib ath-Thabbakh, seorang ahli hadis dan ahli sejarah. Kalau dulu kita di antaranya yang menonjol kitab adalah kitab Sirah Nurul-Yaqin, yang kita baca itu mukhtashar-nya yang ada di sekolah-sekolah atau di kampung-kampung. Syaikh Muhammad Raghib ath-Thabbakh seorang ahli Sirah Nabawiyah, seorang yang luar biasa minash–shâlihîn.
Tatkala anaknya yang tua meninggal namanya Muhammad, di mana sang anak ini yang mengerjakan tugas-tugas yang mengurus percetakannya, ada percetakan dia punya percetakan. Di hari kedua, Syaikh itu datang lagi. Di saat meninggal nih anaknya dikubur di hari itu, besoknya dia sudah ngajar kayak biasa. Hadir lagi kayak enggak ada terjadi sesuatu. Kemudian semua murid-muridnya heran, kok bisa begitu? Hingga mereka saling berbisik, bisikan di telinga santri misalnya, saling berbisik antar mereka. Kemudian beliau menjelaskan, “Kok kalian heran? Kenapa saya hadir, jangan heran!”
Kata mereka: “Syaikh, antum kan anaknya baru meninggal kemarin, kenapa hari ini masih hadir?”
Ini ada dua kemungkinan muridnya, emang muridnya karena malas girang, mumpung guru lagi sakit nih, bisa gak hadir. Ini gurunya berduka, kan semalam meninggal anaknya, semalam baru dikubur, hari ini udah aktif lagi. Beliau berkata: “Saya telah kehilangan anak saya. Apakah saya harus kehilangan keberkahan Ilmu juga? Kalau saya enggak hadir, berarti dua saya rugi, rugi anak saya kehilangan, rugi keberkahan ilmu hilang!”
Wah coba, sampai segitunya. Orang-orangnya kayak gitu wajar, murid-muridnya hebat-hebat, masyaAllah. Kalo sekarang itu di Aleppo, ada Syaikh Musthafa az-Zarqa, ada Syaikh Musthafa al-Bugha, itu semua dari Halb. Termasuk Syaikh Muhammad Awwamah. Ini orang-orang yang luar biasa dalam keilmuan.
Syaikh Mushthafa az-Zarqa itu dulu belajar di Prancis, karena masih berada dalam jajahan Prancis, pengatar ilmunya pakai bahasa Prancis. Hingga pada akhirnya meletus Perang Dunia I, kemudian kembali dari Prancis. Habis itu belajar ke Madrasah Syar’iyah kayak pesantren gitu, atas dorongan daripada kakeknya. Ternyata benar, beliau jadi orang yang luar biasa, ahli dalam Ushul Fikih Mazhab Hanafi.
Nah, di antara gurunya adalah Syaikh Muhammad Raghib ath-Thabbakh ini yang terkenal, beliau ini melahirkan orang-orang hebat, orang-orang seperti Syaikh Najib itu yang berasal dari Aleppo atau Halb sekarang. Wajar karena memiliki semangat yang luar biasa itu, ngalir di darah daging para murid-muridnya, maka murid-muridnya jadi orang yang hebat.
Maka mudah-mudahan Allah bukan hanya memperdengarkan semangat ini dalam hati kita, tapi dapat kita praktikkan, kita bisa menyatu di dalam rahasia ini, di dalam semangat ini. Makanya disebut oleh al-Mutanabbi: “Kalau kamu pengin sesuatu, maka jangan puas kecuali menjadi bintang.
“Nggak apa deh yang penting lulus; nilai enggak apa-apa yang penting lulus.” Itu semangat cemin namanya yang demikian, seharusnya enggak begitu. Bukan yang penting lulus, tapi “Saya harus ngajar, saya harus hafal, saya harus menguasai setiap pelajaran yang saya pelajari.” Targetnya begitu, lebih dari itu. Fahimtum? Mudah-mudahan Allah kasih semangat kita semua.
Al-fâtihah ilâ Hadratin-Nabi Muhammadin Sallallâhu Alaihi wa Sallam. Alfâtihah…
Tonton selengkapnya di channel youtube kami :