
Untuk kesekian kalinya, sengaja resensi kali ini alfaqirmengambil dari buku tipis lagi, berjudul ar-Risâlah al-Jâmi’ah wat-Tadzkirah an-Nâfi’ah(selanjutnya disebut Risâlah Jâmi’ah).Penulisnya sendiri merupakan seorang ulama multitalen, yang amat gigih menderma serta mendedikasikan seluruh hidupnya demi ilmu, dan tidak untuk yang lain. Yakni al-Alim al-Allamah al-Habib Ahmad bin Zain bin Alwi al-Habsyi (w. 1144 H). Dilahirkan pada awal tahun 1069 Hijriah di Kota Ghurfah (Hadramaut, Yaman), dari pasangan al-Habib Zain bin Alwi bin Ahmad al-Habsyi (Shahib Ghurfah) dengan al-Hubabah Fatimah binti Ali bin Agil Baharun.
Lahir ditengah-tengah iklim keluarga religius yang sangat mencintai ilmu dan ulama, tentu banyak mempengaruhi kepribadian positif Sayid Ahmad muda. Sejak sebelum usia baligh, sang ayah telah membawanya berkeliling Hadramaut, demi menimba ilmu (istifâdah) dari para ulama yang ada di sana. Kota-kota besar di Provinsi Hadramaut seperti Syibam, Taris, Seiwun, Tarim seakan-akan telah menjadi second home bagi keluarga ini. Dan yang unik, bahkan Kota Tarim yang berjarak hampir 100 kilometer dari kediaman mereka di Ghurfah, ditempuh dengan hanya bertelanjang kaki alias ‘jalan kaki’!
Istimewanya lagi, masa hidup al-Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi merupakan masa ‘Keemasan Hadramaut’ secara umum, dan masa ‘Keemasan Ba’alawi’ secara khusus. Bagaimana tidak, sekira usia 7 tahun atau sedari kecil dia telah mengenal dekat dan berguru langsung kepada tokoh besar pembaharu Islam Abad XII, Syaikhul-Islam Quthbud-Dakwah wal-Irsyad al-Imam al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad (w. 1132 H). Belakangan, al-Habib Ahmad yang dipasrahi memegang jabatan ‘khalifah’, penerus estafet keilmuan tertinggi pasca mangkatnya Imam al-Haddad. (lihat: Qurratul-‘Ain wa Jalâur-Rain fî Dzikri Manâqibil-Imâm Ahmad bin Zain,hal: 24)
Di mata Imam al-Haddad, Sayid Ahmad sudah seperti anak kandung sendiri. Ini lantaran ikatan famili dari sang ayah, yang masih saudara sepupu dari Imam al-Haddad. Kelak lantaran kegemarannya yang suka datang ke majelis-majelis ilmu dan membangun masjid-masjid di wilayah Hadramaut—ada 17 masjid yang dibangun atau dibantu renovasinya—Imam al-Haddad sampai menjulukinya ‘Abul Masâjid’ (father of mosque).
Jika berkunjung ke Kota Tarim, Sayid Ahmad muda akan menginap selama berbulan-bulan, menimba ilmu dari seorang al-Alim al-Allamah al-Arif Billah al-Habib Abdullah bin Ahmad Bilfagih (w. 1112 H). Tak terhitung banyaknya bidang ilmu yang dipelajari dari gurunya yang satu ini, seperti fan nahwu, fiqh, ushul fiqh, hadis, tafsir dan lainnya. Al-Habib Abdullah Bilfagih sendiri merupakan guru terawal, dan sosok yang memotivasi Sayid Ahmad menulis beberapa buku yang punya karakteristik ‘ringan’, termasuk didalamnya ar-Risâlah al-Jâmi’ah wat-Tadzkirah an-Nâfi’ahyang akan kami review kali ini.
Dari sini kita pasti tidak meragukan kredibilitas dari penulis Risâlah Jâmi’ah tersebut. Buku mungil ini memang amat populer di kalangan pelajar dan ulama Hadramaut, akan tetapi sayang ia tidak banyak dikenal oleh lingkungan madrasah atau pesantren di Indonesia. Sampel mudahnya, mungkinkah Anda pernah dengar atau tahu kitab Sullamut-Taufîq Ilâ Mahabbatillâhi ‘Alat-Tahqîq?Jika jawabannya ‘iya’, maka perlu Anda ketahui buku tulisan al-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir (w. 1217 H) itu sejatinya masih serumpun dengan Risâlah Jâmi’ah. Hanya saja Risâlah Jâmi’ah ini merupakan versi ‘mini’.
Pun pula kedua buku tersebut sama-sama pernah diberi komentar syarh oleh ulama kebanggaan tanah air, al-Fadhil al-Kamil al-Allamah asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani (w. 1314 H). Masing-masing dengan judul: Mirqâtu Shu’ûdut-Tashdîq fî Syarhi Sullamit-Taufîq;serta Bahjatul-Wasâil bi Syarhil-Masâil Syarh ‘Alâ ar-Risâlah al-Jâmi’ah. Saat Anda membaca kata pengantar pada keduanya, Anda pastinya memaklumi jika Syaikh Nawawi berkenan menulis syarh, karena didasari oleh dua alasan. Pertama, banyaknya permintaan dari para muhibbin. Kedua,ingin tabaruk kepada dua tokoh habib besar itu.

.
Judul: ar-Risâlah al-Jâmi’ah wat-Tadzkirah an-Nâfi’ah
Penulis: al-Habib Ahmad bin Zain bin Alwi al-Habsyi
Dimensi: 21 cm × 15 cm (A5)
Tebal: 49 Halaman
Kurikulum: Marhalah Idad
Penerbit: Dar al-Minhaj (KSA)
.
Mengapa alfaqirtadi katakan Risâlah Jâmi’ah masih satu mindset dengan Sullamut-Taufîq? Alasannya selain karena penulisnya yang sama-sama kelahiran Hadramaut, sebab sistem penulisan dan pola tematik proporsinya yang ‘identik’. Bukan hanya sekedar mirip, tetapi benar-benar identik! Coba Anda perhatikan sistem bahasan dari keduanya, pasti Anda temukan didalamnya akan termanifestasi pada tiga tema besar: akidah, fiqh, tasawuf.
Di sepertiga pertama, Risâlah Jâmi’ah menyajikan tema-tema fundamental agama (ushûlud-dîn), seperti rukun Islam, keyakinan pada ketuhanan, para nabi dan utusan, para malaikat, kitab-kitab wahyu, dan hari kiamat. Pun pula Sullamut-Taufîq demikian, akan tetapi dalam versi yang lebih mendetail. Seperti sifat-sifat wajib Allah, nama-nama nabi dan utusan, nama-nama malaikat, nama-nama kitab samawi dan para nabi yang dituruni wahyu, terakhir iman pada hari kiamat dan takdir ilahi.
Pada sepertiga kedua, Risâlah Jâmi’ah mengajukan tema seputar ibadah seperti wudhu, bersuci, shalat, puasa, zakat, hingga haji. Meniadakan kajian mu’amalah (jual-beli), pernikahan, hukum had, dan seterusnya. Begitu pun dengan Sullamut-Taufîq, ia juga membahas tema ibadah secara lengkap serta beragam tata caranya, tetapi hanya berhenti di pembahasan ibadah haji. Tidak seperti lumrahnya literatur-literatur fiqh klasik lain.
Dan ini yang istimewa, di sepertiga terakhir baik Risâlah Jâmi’ah maupun Sullamut-Taufîq sama-sama mempresentasikan kajian ‘tasawuf’, terkait ketaatan hati, maksiat lisan, maksiat mata, maksiat tangan, begitu seterusnya. Nah, konsep tematik semacam ini tidak pernah dipakai oleh para ulama penulis manapun sebelumnya. Inilah mindset baru yang hanya dimiliki oleh Ulama Hadramaut, yang membedakan pola pemikiran mereka dengan ulama belahan dunia lainnya. Dan bisa Anda temukan dengan mudah pada kitab-kitab terbitan Hadramaut, terkhusus disiplin Fiqh Syafi’iyah.
Trilogi prinsip arus utama mayoritas Ulama Hadramaut ini—Akidah, Fiqh, Tasawuf—bahkan masih konsisten dipegang teguh hingga kini. Meski kadang mengalami sedikit perubahan istilah, namun mindset dan tujuannya tetaplah sama. Semisal al-Habib Umar bin Hafidz memakai istilah ‘Madrasah Hadramaut’, dengan komposisi: Ilmu, Tazkiyah, Dakwah. Sedangkan al-Habib Abu Bakar al-Adni bin Ali al-Masyhur (w. 1443 H) mengistilahkannya sebagai ‘Segitiga Emas’ (al-Mutsallats al-Madmûj), dengan komponen: Iman, Hikmah, Ilmu. Menyesuaikan sabda Rasulullah:
أَتَاكُمْ أَهْلُ اليَمَنِ أَرَقُّ أَفْئِدَةً وَأَلْيَنُ قُلُوْبًا، الإِيْمَانُ يَمَانٌ، وَالحِكْمَةُ يَمَانِيَّةٌ، وَالفِقْهُ يَمَانٌ
“Telah datang kepada kalian penduduk Yaman yang amat lembut hati nuraninya. Iman adalah Yaman; hikmah adalah Yaman; ilmu adalah Yaman.” (HR. Imam Muslim)
Sebagai penutup, ada pesan eksplisit pada ar-Risâlah al-Jâmi’ah wat-Tadzkirah an-Nâfi’ah, yang ditulis khusus al-Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi saat hendak memberi kata pengantar pada bukunya. Bahwa siapapun yang membaca ataupun memahami isi Risâlah Jâmi’ah, didoakan ‘berkah’ semoga menjadi pribadi ulama. Sampai ada adagium yang amat populer dikalangan pelajar Hadramaut: “Jika ingin mendapat futuhilmu, khatamkan Risâlah Jâmi’ah lebih dulu!” []