
Setiap jiwa Muslim adalah saudara. Ikhwah di antara Kaum Muslimin tidak tersekat dengan batas-batas teritorial. Persaudaraan dalam Islam tidak boleh terhalang hanya karena beda tanah air dan tempat kelahiran. Rasulullah SAW mempersatukan antara Kaum Muhajirin dan Anshar. Rasul mendidik Kaum Anshar untuk membantu Muslimin Mekah yang teraniaya, walau sebenarnya Kaum Anshar sendiri memiliki persoalan terkait kebutuhan hidup bagi mereka sendiri.
وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“Orang-orang Anshar lebih memprioritaskan Kaum Muhajirin daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka sendiri juga membutuhkan.”
Dalam beberapa hari terakhir, manusia perahu kembali singgah di negeri kita setelah terombang-ambing di lautan selama berminggu-minggu. Di sana ada anak-anak, ada wanita yang lemah, mereka adalah Saudara kita yang kebetulan terlahir di tempat yang berbeda. Mereka ditakdirkan hidup sebagai minoritas yang termarjinalkan dan teraniaya. Mereka mengemis belas budi dari Saudara mereka di tempat lain yang seiman, yang kebetulan mendapat takdir sedikit lebih baik, hidup dalam kondisi aman, damai dan subur dengan sumber daya.
Harapan itu ternyata tidak sesuai kenyataan. Rasa senang ketika mulai melihat daratan yang masyarakatnya dari dulu terkenal sebagai pemurah dan penolong ternyata tidak lagi dapat diharapkan. Manusia perahu ini ditolak mendarat, atau sekedar diantarkan makanan untuk kemudian segera menjauh kembali ke tengah lautan.
Mereka terkendala dalam komunikasi. Andai bisa berkomunikasi, mereka akan coba berdiplomasi menyampaikan aspirasinya dengan ramah dan santun. Anak-anak dan para wanita dari etnis teraniaya ini hanya bisa menangis, sebagai pengganti komunikasi verbal mereka yang mengharapkan simpati dan empati dari Saudaranya yang seagama. Bahkan, ada sebagian yang menolak diberikan makanan, bukan karena tidak tau balas budi, tetapi lebih kepada cara berekspresi dan komunikasi via isyarat bahwa sebenarnya yang mereka butuh bukan sekedar makanan, mereka butuh daratan untuk ikhtiyar melanjutkan kehidupan. Mereka butuh pelukan dan rangkulan dari Saudara seiman.
Kejadian menolak makanan ini ternyata benar-benar diframing oleh sebagian media mainstream untuk memprovokasi masyarakat Aceh agar benci pada Muslim Rohingya. Berita wawancara sebagaian warga Aceh yang mengatakan Pengungsi Rohingya melanggar adat istiadat dan Syariat Islam diputar berulang-ulang. Ternyata provokasi ini benar-benar berhasil. Jika sebelumnya pro kontra penolakan Muslim Rohingya masih berimbang atau lebih banyak yang menyesalkan, dengan framing media berhari-hari, ditambah pernyataan beberapa tokoh Nasional yang memuji sikap penolakan, sepertinya melihat media sosial hari-hari terakhir sudah lebih banyak yang sinis pada Muslim Rohingya.
Tidak nampak lagi tangisan anak-anak dan para wanita lemah dari manusia perahu ini di mata dan telinga kita, karena provokasi media mainstream telah menghalangi itu semua. Kita seakan lupa bahwa persaudaraan Muslim tidak tersekat oleh batas teritorial. Kita lupa, bahwa meskipun membantu Muslim Rohingya bukan menjadi kewajiban untuk setiap individu Muslim (fardhu ain), tetapi setidaknya hal itu menjadi kewajiban secara kolektif (fardhu kifayah). Imam Haramain berkata;
وإذا كان تجهيز الموتى من فروض الكفايات، فحِفظُ مُهَج الأحياء، وتدارك حُشاشة الفقراء أتم وأهم
“Jika seandainya pengurusan jenazah menjadi bagian dari fardhu kifayah. Maka menjaga bertahan hidupnya jiwa yang bernyawa dan menambal sisa-sisa nafas para faqir miskin merupakan hal yang lebih penting untuk diperhatikan.”
Tidak ingatkah kita dengan ayat Allah:
وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
Bahwa orang yang meminta, yang membutuhkan belas kasihan, yang mengemis kepedulian, mereka hendaknya tidak dibentak, tidak diucapkan kata-kata kasar dan tidak disikapi secara arogan.
Kita seakan lupa bahwa sebelumnya pernah mengutuk negara-negara Islam yang berbatasan dengan Palestina karena menutup perbatasan dari kedatangan para pengungsi. Apakah kita ingin menjadi seperti mereka yang melihat manusia perahu sebagai makhluk yang tidak penting untuk diperhatikan, yang dibiarkan mati digulung oleh ombak atau ditembak saat melewati batas teritorial? Sejatinya, sebagai Muslim kita harus memandang persaudaraan dan kemanusiaan lebih luas dari sekedar batasan-batasan teritorial dan perbedaan kewarganegaraan.
Muhammad Iqbal jalil
https://www.facebook.com/iqbaljalilusi