
Pasca Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau ditemui Thalhah bin al-Barra. Dia anak yang baru beranjak dewasa.
Thalhah menempelkan badannya ke onta yang dinaiki Rasulullah, mencium kedua kaki beliau, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, perintah aku sesuai keinginanmu dan aku tidak akan membangkang perintahmu.”
Rasulullah menjawab sambil berkelakar: “Maka pergilah dan bunuhlah ayahmu!”
Thalhah pun berangkat berlari hendak membunuh ayahnya, seperti yang diperintahkan Rasulullah. Namun kemudian Rasulullah memanggilnya kembali, dan berkata: “Sesungguhnya aku diutus tidak untuk memutus hubungan keluarga (rahim).”
Pasca kejadian tersebut, Thalhah jatuh sakit. Rasulullah datang menjenguk. Thalhah menderita sakit panas, dingin, serta demam. Rasulullah duduk disamping Thalhah sebentar, lalu pulang, seraya bersabda: “Aku melihat Thalhah telah dihampiri maut. Jika ia wafat, bergegaslah beritahu aku, agar aku bisa menshalatinya.”
Belum sempat Rasulullah meninggalkan Bani Salim, Thalhah telah wafat dan gelap malam mulai menyelimuti alam.
Ketika akan wafat, Thalhah sempat berpesan: “Jika aku wafat, cepatlah dimakamkan, sebab aku ingin segera bertemu Tuhan-ku. Dan jangan kalian panggil Rasulullah kesini (karena telah larut malam). Aku khawatir orang Yahudi akan mencelakakan beliau dan itu terjadi disebabkan olehku!”
Pihak keluarga Thalhah melaksanakan pesan almarhum, dan baru mengabarkan Rasulullah pagi harinya.
Rasulullah akhirnya mendatangi makam Thalhah, berdiri di sisinya, dan para shahabat berbaris di belakang beliau. Rasulullah kemudian mengangkat tangan, seraya berdoa: “Ya Allah, pertemukanlah Thalhah dengan-Mu, sedangkan Engkau menertawainya, dan dia menertawai Engkau pula.”[1]
[1] Al-Isti’ab, II/763; Usdul-Ghabah, II/27-28 & III/57; al-Ishabah, III/288; Tuhfatul-Lathifah fi Tarikhil-Madinah asy-Syarifah li Imam as-Sakhawi, II/328.