
Di antara sekian banyak akhlak serta sifat terpuji yang ditekankan oleh agama kita ialah sikap rendah hati (tawâdhu). Dikarenakan akhlak mulia adalah inti ajaran Islam, maka tak salah kalau banyak ayat serta hadis yang menganjurkan hal tersebut. Salah satunya sifat yang akan menjadi kajian kita kali ini, yaitu sifat tawadhu. Allah berfirman:
وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٖ
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman [31]:18)
Dalam ayat lainnya Allah berfirman:
وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِلۡمُؤۡمِنِينَ
“Dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hijr [15]:88)
Yang dimaksud tawadhu ialah merendahkan diri dan berlaku lemah lembut. Dan ini tidak akan mendongkrak pelakunya menjadi terpuji, melainkan bila dibarengi dengan harapan ridha Allah. Kalau sekiranya ada orang bersikap tawadhu agar Allah mengangkat derajatnya di mata orang, maka ini belum dikatakan telah merengkuh sifat tawadhu, karena maksud utama perilakunya itu didasari agar mulia di mata orang, dan sikap seperti itu menghapus tawadhu yang sebenarnya.
Ucapan ini didasari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Shahabat Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda:
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan (pasti) Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Imam Muslim)
Dan Nabi kita, Nabi Muhammad adalah pionir terdepan dalam akhlak mulia yang satu ini. Untuk menggambarkan tawadhu-nya Nabi kita, lihatlah pada hadis Anas bin Malik, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim:
أَنَّ امْرَأَةً كَانَ فِى عَقْلِهَا شَىْءٌ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِى إِلَيْكَ حَاجَةً، فَقَالَ: يَا أُمَّ فُلاَنٍ انْظُرِى أَىَّ السِّكَكِ شِئْتِ حَتَّى أَقْضِىَ لَكِ حَاجَتَكِ، فَخَلاَ مَعَهَا فِى بَعْضِ الطُّرُقِ حَتَّى فَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا
Ada seorang perempuan yang sedikit bermasalah otaknya berkata pada Nabi Muhammad: “Wahai Rasulullah, saya ada keperluan sebentar denganmu.” Nabi menyahut: “Ya Ummu Fulan, apa kebutuhanmu, hingga aku bisa membantu urusanmu?” Maka beliau mengikutinya sedikit minggir di jalanan kota Madinah, sampai perempuan tadi menyelesaikan keperluannya. (HR. Imam Muslim)
Masih dari kisah yang menjelaskan tawadhu Nabi Muhammad, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Shahabat Anas bin Malik menceritakan:
إِنْ كَانَتْ الْأَمَةُ مِنْ إِمَاءِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَتَأْخُذُ بِيَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَنْطَلِقُ بِهِ حَيْثُ شَاءَتْ
“Pernah ada seorang budak yang berada di kota Madinah, menggandeng tangan Rasulullah, lalu beliau diajak pergi untuk membantu urusannya.” (HR. Imam Bukhari)
Bahkan lebih mengesankan lagi dari itu semua, sebuah hadis yang dibawakan oleh Imam al-Baghawi dalam kitab Syarhus-Sunah, dari Sayidah Aisyah diceritakan bahwa Nabi Muhammad bersabda:
آكُلُ كَمَا يَأْكُلُ الْعَبْدُ وَأَجْلِسُ كَمَا يَجْلِسُ الْعَبْدُ
“Aku makan sebagaimana makannya seorang hamba sahaya, dan aku duduk seperti duduknya seorang budak.” (HR. Imam Baghawi)
Dalam redaksi lain, dikatakan bahwa Nabi Muhammad bersabda:
يَا عَائِشَةُ لَوْ شِئْتُ لَسَارَتْ مَعِيَ جِبَالُ الذَّهَبِ أَتَانِي مَلَكٌ، وَإِنَّ حُجْزَتَهُ لَتُسَاوِي الْكَعْبَةَ فَقَالَ: إِنَّ رَبَّكَ يُقْرِئُ عَلَيْكَ السَّلَامَ وَيَقُولُ لَكَ: إِنْ شِئْتَ نَبِيًّا مَلِكًا وَإِنْ شِئْتَ نَبِيًّا عَبْدًا؟ فَأَشَارَ إِلَيَّ جِبْرِيلُ، ضَعْ نَفْسَكَ فَقُلْتُ: نَبِيًّا عَبْدًا
“Wahai Aisyah, kalaulah sekiranya aku mau, tentu gunung yang terbuat dari emas berjalan menemaniku. Telah datang kepadaku malaikat yang kain bagian bawahnya hampir setinggi Kakbah. Dia mengatakan: ‘Sesungguhnya Rabb-mu mengirim salam kepadamu, dan berfirman: ‘Kalau engkau mau, Aku jadikan engkau sebagai seorang Nabi dan hamba, atau seorang Nabi dan malaikat.’ Lalu aku berpaling kepada Malaikat Jibril dan ia mengisyaratkan padaku supaya rendah diri. Maka aku jawab: ‘Aku rela menjadi Nabi dan seorang hamba.” (HR. Imam Baghawi)
Tatkala Sayidah Aisyah ditanya, apakah Nabi Muhammad biasa melakukan pekerjaan di rumahnya? Beliau menjawab:
نَعَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيَخِيطُ ثَوْبَهُ وَيَعْمَلُ فِي بَيْتِهِ كَمَا يَعْمَلُ أَحَدُكُمْ فِي بَيْتِهِ
“Iya betul, Rasulullah biasa menambal sendalnya sendiri, menjahit bajunya sendiri, dan melakukan pekerjaan rumah seperti halnya kalian melakukannya di rumah kalian.” (HR. Imam Baghawi)
Dan Nabi Muhammad biasa berdoa dengan kalimat begini:
اللَّهُمَّ أَحْيِنِى مِسْكِينًا وَتَوَفَّنِى مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِى فِى زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ يَومَ القِيَامَة
“Ya Allah, hidupkanlah hamba dalam keadaan miskin, dan wafatkanlah dalam keadaan miskin, serta bangkitkan diri hamba bersama orang-orang miskin kelak di hari kiamat.” (HR. Imam Tirmidzi)
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dibawakan sebuah hadis dari Shahabat Abu Hurairah, disebutkan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda:
لَوْ لَبِثْتُ فِي السِّجْنِ مَا لَبِثَ يُوسُفُ ثُمَّ أَتَانِي الدَّاعِي لَأَجَبْتُهُ
“Kalau seandainya aku dipenjara seperti Nabi Yusuf lamanya tatkala dipenjara, pasti aku akan tetap memenuhi tugasku ini (berdakwah).” (HR. Imam Bukhari)
Dalam riwayat-riwayat tadi menjelaskan, bahwa Rasulullah adalah imam (pemimpin) orang-orang yang bertawadhu, dan ini tidak mengherankan karena tawadhu merupakan sifatnya para nabi terdahulu. Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu riwayat Imam Bukhari, dari Shahabat Abu Hurairah:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ، فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ
Nabi Muhammad bersabda: “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, melainkan dirinya pasti pernah menggembala kambing.” Maka para sahabatnya bertanya: “Tidak pula engkau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidak pula aku. Dahulu aku biasa menggembala di bebukitan milik penduduk Makkah.” (HR. Imam Bukhari)
Sehingga sangat wajar sekali bila Nabi Muhammad memotivasi umatnya untuk bersikap tawadhu dan rendah diri. Sebagaimana hadis Iyadh al-Majasyi’i, bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda:
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah menurunkan wahyu padaku, agar kalian bersikap rendah diri, sehingga tidak ada seorang pun yang merendahkan saudaranya, dan tidak berlaku lalim satu sama lain.” (HR. Imam Muslim)
Salah satu petuah yang pernah diberikan Sayidina Abu Bakar kepada kita ialah: “Kami mendapatkan kemuliaan akhlak ada pada takwa, kekayaan pada keyakinan, serta keluhuran pada rendah diri.”
Dan Sayidah Aisyah pernah mengingatkan: “Sungguh betapa banyak orang yang lalai pada ibadah yang paling afdhal, yaitu karakter tawadhu.”
Sikap tawadhu juga merupakan salah satu jalan yang akan mengantarkan pada surga. Allah akan mengangkat kedudukan seorang yang rendah diri di hati manusia, dikenang kebaikannya oleh orang lain, serta diangkat derajatnya di akhirat. Bahwa sikap tawadhu yang terpuji itu yang hanya ditujukan kepada orang-orang beriman; adapun dengan tujuan demi pengumpul dunia serta orang yang sesat, maka bersikap rendah diri terhadap mereka akan menjadi kehinaan. []
Disalin dari artikel: Tawâdhu’un-Nabi, ditulis oleh Syaikh Amin bin Abdullah asy-Syaqawi.