MATERI: ASY-SYIFÂ BI TA’RÎFI HUQÛQIL-MUSHTHAFÂ

KARYA: AL-QADHI ABUL FADHL ‘IYADH BIN MUSA AL-YAHSHUBI

Masih di dalam menerangkan tentang Surah ad-Dhuha, yang berkaitan dengan kedudukan Nabi Muhammad. Dikatakan di sini ‏Allah memerintahkan kepada beliau untuk menampakkan nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadanya, nikmat itu mesti disebarkan. Dan juga mensyukuri nikmat yang Allah muliakan dengannya, berupa kenikmatan dan kemuliaan yang disebutkan, seperti dalam “wad-dhuha”. Dan kedudukan yang dimiliki oleh Nabi.

مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ * وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ

“Tuhanmu (Nabi Muhammad) tidak meninggalkan dan tidak (pula) membencimu. Sungguh, akhirat itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan (dunia).” (QS. Adh-Dhuha [93]:3-4)

Semuanya menerangkan tentang kedudukan beliau, seperti yang disebutkan pada pelajaran yang lalu. Di perintahkan ‏oleh Allah dengan cara menyebarkan. Pernah beliau mengatakan

لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk surga, seorang yang di dalam hatinya ada sedikit rasa sombong.”

Orang itu masih ada kategori sombong, kalau ‏masih merasa dirinya baik dari orang lain, merasa ada orang lebih jelek dari dirinya, dia berarti masih ada dikasih kesombongan. Orang yang memiliki sedikit saja rasa sombong—dzarrah ini paling kecil, ada ‏debu makin kecil dzarrah namanya. Ada sedikit menempel di dalam hati rasa itu sombong, maka gak akan masuk surga.

Akhirnya shahabat bingung dan bertanya kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, kalau misalnya ada orang pakai baju baru, apakah itu termasuk sombong?”

Kata Rasulullah, “Itu bukan kesombongan, bahkan sebaliknya.”

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا أَنْعَمَ عَلَى عَبْدِهِ بِنِعْمَةٍ أَنْ يُظْهِرَهُ

“Allah itu suka kepada hamba yang mendapatkan nikmat dari-Nya dengan satu nikmat, lalu menampakkan semua anugrah dari Allah.”

Kesombongan itu adalah tidak mau menerima kebenaran itu baru sombong. Adapun nikmat yang Allah berikan, sebarkan sebagai bentuk rasa syukur kepada-Nya. Bahwa yang kita miliki berupa pakaian pake, makanan makan.

Para ulama kita itu mereka makan makanan yang yang paling enak, kalau bisa mereka makan. Bukan untuk tasyahhi, apalagi ketika menjamu orang lain. Mereka akan beri makanan yang paling baik, sebagai bentuk idzharun-ni’mah bahwa itu adalah kenikmatan yang Allah berikan, bukan untuk melampiaskan nafsu. Dan banyak yang seperti itu, sebagai pengagungan atas nikmat yang Allah berikan.

Ada ‏orang malah pelit makan enak, “Eh jangan, entar habis.”

Ini lebih pelit dari orang pelit, pada dirinya aja pelit, tapi tidak seperti itu. Itu yang diantara usus atau dasar-dasar dalam Thariqah Syadziliyah, itu adalah idzhârun-ni’mah, mengagungkan nikmat yang diberikan. Di antaranya menebarkan, mengumumkan, sesuai firman Allah:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh-Dhuha [93]:11)

Karena di antara ‏mensyukuri nikmat itu, dengan membicarakannya. Tapi kalau kita kan belum apa-apa sudah dibicarain, padahal belum tentu didapetin. Kalau itu jangan. Ataupun niat niat baik, belum jadi nikmat masih khayalan, sudah dibicarakan. Itu yang tidak boleh kata Nabi.

إِسْتَعِيْنُوْا عَلَى قَضَاءِ حَوَائِجِكُمْ بِالْكِتْمَانِ

Kalo kamu punya hajat jangan di umbar, khawatir akhirnya ga jadi. Kata Imam al-Haddad, “Saya ngarang kitab gak jadi dan gak selesai-selesai, kadang gara-gara saya sudah cerita kepada orang sebelumnya. Tapi ada satu kitab—disebutkan nama kitab beliau—itu selesai dalam tempo yang singkat.”

Karena kitmân, itu perlu. Kadang kala ‏kita gak sabar untuk menyebarkan suatu kebaikan yang berkaitan dengan kita, padahal itu belum terjadi. Kalau sudah terjadi boleh saja, tapi dengan niat untuk tahadduts bin-ni’mah.

***

Allah berfirman:

وَالنَّجْمِ اِذَا هَوٰىۙ ۝١ مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوٰىۚ ۝٢ وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى ۝ اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ ۝ عَلَّمَهٗ شَدِيْدُ الْقُوٰىۙ ۝ ذُوْ مِرَّةٍۗ فَاسْتَوٰىۙ ۝ وَهُوَ بِالْاُفُقِ الْاَعْلٰىۗ ۝ ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰىۙ ۝ فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ اَوْ اَدْنٰىۚ ۝ فَاَوْحٰىٓ اِلٰى عَبْدِهٖ مَآ اَوْحٰىۗ ۝١ مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَاٰى ۝١ اَفَتُمٰرُوْنَهٗ عَلٰى مَا يَرٰى ۝١ وَلَقَدْ رَاٰهُ نَزْلَةً اُخْرٰىۙ ۝١ عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهٰى ۝١ عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوٰىۗ ۝١ اِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشٰىۙ ۝١ مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغٰى ۝١ لَقَدْ رَاٰى مِنْ اٰيٰتِ رَبِّهِ الْكُبْرٰى ۝١

“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Nabi Muhammad) tidak sesat, tidak keliru, dan tidak pula berucap (tentang al-Quran dan penjelasannya) berdasarkan hawa nafsu(-nya). Ia (al-Quran itu) tidak lain, kecuali wahyu yang disampaikan (kepadanya) yang diajarkan kepadanya oleh (malaikat) yang sangat kuat (Jibril) lagi mempunyai keteguhan. Lalu, ia (Jibril) menampakkan diri dengan rupa yang asli, ketika dia berada di ufuk yang tinggi. Dia kemudian mendekat (kepada Nabi Muhammad), lalu bertambah dekat, sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu, dia (Jibril) menyampaikan wahyu kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad) apa yang Dia wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Apakah kamu (kaum musyrik Makkah) hendak membantahnya (Nabi Muhammad) tentang apa yang dilihatnya itu (Jibril)? Sungguh, dia (Nabi Muhammad) benar-benar telah melihatnya (dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu ketika) di Sidratul-Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Nabi Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul-Muntaha dilingkupi oleh sesuatu yang melingkupinya. Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak menyimpang dan tidak melampaui (apa yang dilihatnya). Sungguh, dia benar-benar telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang sangat besar.” (QS. An-Najm [53]:1-18)

Ayat ini menerangkan tentang Mi’raj Nabi Muhammad. Para ahli tafsir menafsiri “wan-Najm”, ada yang mengatakan, “Demi bintang.” Ada yang mengatakan, “Tidak itu adalah al-Quran.” Tapi Imam Jakfar ash-Shadiq mengatakan, “Bahwa kata ‘Najm’ disitu merupakan hati Nabi Muhammad.”

Dalam sebuah riwayat, Nabi itu di dalam Mi’raj menemukan sebuah bintang yang begitu terang. Nabi bertanya kepada Malaikat Jibril, “Itu bintang terang banget.”

Kata Malaikat Jibril: “Saya ini diciptakan oleh Allah sekian ribu tahun sebelum terciptanya langit dan bumi. Dan ‏sebelum diriku tercipta sekian ribu tahun, ini bintang sudah ada. Makanya saya gak tahu ini bintang-bintang apa.”

Nabi mengatakan, “Tahukah engkau, ya Jibril, bahwa bintang itu adalah cahayaku.” Sekarang Nabi yang ngajarin Jibril, biasanya kan Jibril yang memberitahu kepada beliau, karena kadang kala murid itu lebih terbuka, lebih pandai, lebih pintar dan lebih banyak menyerap daripada gurunya. Maka Nabi mengatakan,

فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ

“Betapa banyak si pemilik ilmu menyampaikan ilmunya kepada orang yang lebih paham dari dirinya. Dan betapa banyak orang yang menyampaikan ilmu pada kenyataannya bukanlah orang yang berilmu.”

نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنِّيْ شَيْئا فَبَلغَهُ كَمَا سَمِعَ، فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ

“Mudah mudahan Allah merahmati orang yang mendengarkan kata-kata dariku, ungkapan dan kata-kata hadis dariku, kemudian dia faham dan dia sampaikan penyampaian—penyampaian Nabi Muhammad tadi—kepada para shahabat, kemudian disampaikan lagi. Hendaknya menyampaikan kepada yang belum mendengar. Betapa banyak orang yang di tahap masa berikutnya—dia mendapatkan tidak langsung, bukan Sâmi’ yang langsung mendengarkan dari Nabi—tetapi dia lebih paham dan lebih mengerti.”

Tabi’in kan gak nutut masa Nabi Muhammad, akan tetapi mereka bisa mendapati tentang hadis, tentang Nabi Muhammad, tentang al-Quran dari para shahabat. Banyak yang seperti itu.

Makanya tidak heran, manakala di istilahkan Malaikat Jibril itu adalah ‘guru’, ‏karena pada hakikatnya semua guru, dai dan semua itu hanya perantara. Ibarat seorang supir ingin menyampaikan tujuan yang dituju oleh penumpangnya, setelah sampai ya sudah selesai tugasnya. Setelah itu dia mau ke mana, ya terserah. Artinya mereka adalah penyambung daripada apa ‏yang dibawa dari Allah, dari Nabi Muhammad.

Makanya Malaikat Jibril dikasih tahu oleh Nabi, “Itu bintang adalah diriku.”

Imam Jakfar ash-Shadiq mengatakan, “Bintang itu adalah hati Nabi Muhammad.”

***

وَالسَّمَاۤءِ وَالطَّارِقِۙ ۝١ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الطَّارِقُۙ ۝ النَّجْمُ الثَّاقِبُۙ ۝٣

“Demi langit dan yang datang pada malam hari. Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (Itulah) bintang yang bersinar tajam.” (QS. Ath-Thariq [89]:1-3)

‏Tahukah engkau Malaikat Jibril disini “an-Najm”? Bintang yang memiliki lubang, artinya besar. Apa yang dimaksud disini? Yang dimaksud dengan bintang disini adalah Muhammad. Seperti yang diceritakan oleh Imam as-Sulami, “Bahwa dalam ayat ini mencakup atau mengandung beberapa keutamaan-keutamaan yang sangat banyak, yang tidak sanggup untuk di hitung.

Di situ Allah bersumpah atas hidayah Nabi Muhammad, atas petunjuk Nabi Muhammad, dan membersihkan Nabi Muhammad dari hawa.

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى

“Rasulullah itu tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu.” (QS. An-Najm [53]:3)

Kalau manusia dilarang oleh Nabi—manusia secara umum—saat dia memutuskan suatu perkara, dalam kondisi lagi girang, dalam kondisi lagi marah, lagi sumpek itu seorang hakim dalam kondisi kayak gitu, udah harus diam. Dia jangan memutuskan sesuatu, jangan memimpin sidang, akan kacau nanti.

Orang lagi girang, baru kawin misalnya, di ampunin semuanya, gak ada yang dihukum, karena dia sedang gak normal. Sebaliknya, orang lagi sumpek, waduh masuk penjara semuanya, yang salah dan gak salah masuk penjara semuanya, sumpek dia ngelihat orang. “Apa lagi nih? Udah masuk penjara aja!”

Tapi tidak dengan Nabi Muhammad. Beliau dengan dalam kondisi apapun tidak hilang keseimbangan, dan memastikan kebenaran tiap apa yang beliau baca.

اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ 

Setiap yang diucapkan adalah wahyu, baik yang muta’abbid bi tilâwatih seperti al-Quran, ataupun yang tidak seperti hadis. Bahwa setiap yang beliau baca, yang beliau ucapkan, adalah wahyu yang disampaikan dari Allah kepada beliau. Rasulullah itu adalah sosok yang sangat kuat.

***

Kemudian Allah menceritakan tentang keutamaan Rasulullah,

ذُوْ مِرَّةٍۗ فَاسْتَوٰىۙ  * وَهُوَ بِالْاُفُقِ الْاَعْلٰىۗ  * ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰىۙ  * فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ اَوْ اَدْنٰىۚ  * فَاَوْحٰىٓ اِلٰى عَبْدِهٖ مَآ اَوْحٰىۗ 

“Lalu, ia (Jibril) menampakkan diri dengan rupa yang asli, ketika dia berada di ufuk yang tinggi. Dia kemudian mendekat (kepada Nabi Muhammad), lalu bertambah dekat, sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu, dia (Jibril) menyampaikan wahyu kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad) apa yang Dia wahyukan.”(QS. An-Najm [53]:6-11)

Dan kebenaran apa yang dia lihat di saat Mi’raj tersebut, disitu beliau melihat dari pada tanda-tanda kebesaran Allah, keagungan Allah Yang Maha Agung. Urusan ini telah di ingatkan oleh Allah dalam Surah al-Isra’.

سُبۡحٰنَ الَّذِىۡۤ اَسۡرٰى بِعَبۡدِهٖ لَيۡلًا مِّنَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَـرَامِ اِلَى الۡمَسۡجِدِ الۡاَقۡصَا الَّذِىۡ بٰرَكۡنَا حَوۡلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنۡ اٰيٰتِنَا‌ ؕ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيۡعُ الۡبَصِيۡرُ

“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra [17]:1)

Dan ketika Allah memperlihatkan, membukakan kepada Nabi Muhammad dari alam jabarût, dan menyaksikan keajaiban alam malakut.

Alam ini dalam ilmu tasawuf, ada tiga: alam Nasut, alam Malakut, dan alam Jabarut. Alam Nasut ini alam manusia; alam Malakut alam yang lebih luas lagi bagi para malaikat dan ruh-ruh yang suci; nanti ada alam Jabarut itu alamnya Allah yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tidak bisa dijelaskan dengan ibarat. Gimana menjelaskannya, di mana akal orang-orang tidak sanggup untuk mendengarkan itu, untuk mencernanya?

Apa yang telah disaksikan oleh Nabi dalam peristiwa Isra’ wal-Mi’raj itu tidak bisa diungkapkan dengan apapun, tidak sanggup hanya dengan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas. Di situ Allah mengisyaratkan, menyimbolkan dengan isyarah dan kinayah yang menunnjukkan akan keagungan. Berfirman Allah:

فَاَوْحٰىٓ اِلٰى عَبْدِهٖ مَآ اَوْحٰىۗ 

“Dan Allah mewahyukan kepada hamba-Nya, dengan wahyu yang Allah wahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm [53]:10)

Seperti apa? Ada yang bisa dicerna, ada yang bisa dijangkau. Dan ada yang manusia tidak sanggup untuk mencernanya, hanya Nabi Muhammad saja. Macam ucapan ini, menurut ahli kritikus sastra, ahli balaghah, diistilahkan dengan ‘wahyu’ dan ‘isyarah’.

Maka seorang penulis Arab yang bernama Musthafa Shadiq ar-Rafii, mereka yang suka Bahasa Arab, yang menikmati keindahan sastra Arab, terutama di abad modern ini akan mengenal karya-karya Syaikh Musthafa Shadiq ar-Rafii, beliau ngarang kitab namanya Wahyul-Qalam. Wahyu ini kalau dalam bahasa kita, bisa diartikan dengan ‘inspirasi’, dalam bahasa Arab ‘ilham’. Lebih cocoknya ‘ilham’, Allah mengilhami.

Kadang kala kita ketika membaca syair, baca ungkapan luar biasa indahnya dalam kata-kata itu, kita kaget dengan kata-kata rapi nan indah. Apalagi Bahasa Arab, apalagi dari Allah, apalagi yang lebih tinggi dari itu. Artinya bukan hanya sekedar ungkapan yang bisa diterjemahkan dalam Bahasa Arab yang mungkin bisa difahami sebagian, adapun hakikatnya tak ada yang mengetahui kecuali Allah.

Menurut mereka, kata-kata ini ‏merupakan yang paling baligh. Ada yang belajar balaghah? Yang paling baligh, yang paling badi’, yang paling tinggi. Allah berfirman:

وَلَقَدْ رَاٰى مِنْ آيَاتِهِ الْكُبْرَى

“Dan dia telah melihat dari tanda-tanda tuhannya yang Maha Agung, yang Maha Besar.” (QS. An-Najm [53]:18)

Tidak sanggup memahaminya, untuk menjelaskan secara terperinci apa-apa yang diwahyukan, tidak sanggup khayalan untuk menjelaskan dan menentukan ayat-ayat Allah yang Maha Agung. Ungkapan luar biasa dalam ayat ini, dalam ayat-ayat Mi’raj ini menjelaskan tentang penjelasan dari Allah, akan jaminan kesucian Nabi Muhammad secara global. Nabi itu dijaga, Nabi itu suci.

Dan terjaganya Nabi Muhammad secara keseluruhan, sehingga Allah sucikan hatinya, lisannya, bahkan anggota tubuhnya. Allah mensucikan Nabi Muhammad dengan perkataan-Nya: “Hatinya tidak akan berbohong.” (QS. An-Najm [53]:2) Dan lisan beliau itu suci: “Tidak berbicara dengan hawa nafsu.” (QS. An-Najm [53]:3) Artinya bersih seluruh fisik Rasulullah, suci semuanya.

***

فَلَآ اُقْسِمُ بِالْخُنَّسِۙ ۝١٥ الْجَوَارِ الْكُنَّسِۙ ۝١٦ وَالَّيْلِ اِذَا عَسْعَسَۙ ۝١٧ وَالصُّبْحِ اِذَا تَنَفَّسَۙ ۝١٨ اِنَّهٗ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍۙ ۝١٩ ذِيْ قُوَّةٍ عِنْدَ ذِى الْعَرْشِ مَكِيْنٍۙ ۝٢٠ مُّطَاعٍ ثَمَّ اَمِيْنٍۗ ۝٢١ وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُوْنٍۚ ۝٢

“Aku bersumpah demi bintang-bintang, yang beredar lagi terbenam. Demi malam apabila telah larut. Demi subuh apabila (fajar) telah menyingsing. Sesungguhnya (al-Quran) itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang memiliki kekuatan dan kedudukan tinggi di sisi (Allah) yang memiliki ʻArasy, yang di sana (Jibril) ditaati lagi dipercaya. Temanmu (Nabi Muhammad) itu bukanlah orang gila.” (QS. At-Takwir [29]:15-22)

Ini dikatakan, Allah bersumpah bahwa apa yang disampaikan itu adalah ucapan utusan yang mulia disisi Tuhan yang mengutusnya. Siapa yang mengutus Nabi Muhammad? Allah! Yang memiliki kekuatan untuk menyampaikan apa yang beliau dapatkan dari wahyu, beliau bawa beban itu, yang mana di sisi Allah Nabi Muhammad itu posisinya mantap.

Nabi itu ditaatin di langit, meskipun di bumi gak ada yang mau taat kepada Nabi, tapi pada dasarnya langit dan bumi taat kepada beliau. Yang amanah atas wahyu, gak nyimpen-nyimpen wahyu yang diberikan. Itu adalah sosok Nabi Muhammad.

Mudah-mudahan kita semakin mengenal beliau, tak kenal maka tak sayang. Kita semakin membaca al-Quran, menemukan ayat-ayat yang dimaksud didalam ayat itu pribadi Nabi Muhammad, akan tersambung hati kita dengan Nabi Muhammad, dan semakin timbul kekaguman kepada Nabi Muhammad. Ketika sudah kagum, maka ringan untuk melaksanakan perintah Nabi Muhammad, ringan untuk meninggalkan segala hal yang tidak membuat Nabi Muhammad senang, akan ringan untuk melawan hawa nafsu demi membahagiakan hati Nabi Muhammad.

Maka akan ringan baginya berkorban untuk umat Nabi Muhammad, manakala kita sudah mengenal siapa itu nabi, dan orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan Nabi Muhammad, mengerti melalui kekaguman yang luar biasa yang ada didalam hati. Maka terkatrol diri ini untuk mendapatkan derajat yang tinggi. Mudah-mudahan kita mendapatkan taufik, mendapat kebaikan. Amin.

Wal-Hamdulillâhi Rabbil-‘Alamîn. Wallâhu A’lamu bish-Shawâb…

____________________________________________________________________________________

full video : https://www.youtube.com/watch?v=rsinfY9YCiU