
MATERI: MA’ÂLIMUL-IRSYÂDIYAH LI SHINÂ’ATI THÂLIBIL-ILMI
KARYA: SYAIKH MUHAMMAD AWWAMAH
Alhamdulillah, kemarin telah di jelaskan tentang bagaimana semestinya semangat seseorang di dalam menuntut ilmu. Jadi kesungguhan seseorang di dalam menuntut ilmu. Dikatakan begitulah keadaan orang yang menuntut ilmu, semestinya dia mengorbankan untuk mencapai derajat yang tinggi, dia harus mengorbankan sesuatu yang termahal yang ia miliki. Apa yang kita miliki? Ruh, jiwa, itu yang paling mahal. Itu semestinya kita siap untuk mengorbankan apapun yang kita miliki, guna untuk mencapai derajat yang tinggi.
Dan hendaknya dia mengalahkan, memerangi setiap penghalang-penghalang yang menghalanginya. Apa saja yang menghalangi kita untuk mencapai derajat yang tinggi? Kita tidak peduli apapun yang mesti kita hadapi untuk mencapai hal anugerah yang Allah berikan kepadanya, sesuai dengan keikhlasannya, dan sesuai dengan kadar pengorbanan yang dilakukan. Semakin ikhlas seseorang, maka akan semakin mencapai apa yang diinginkan. Dan ketulusan seseorang, ketulusan di dalam menuntut ilmu, itu pengaruhnya sangat besar. Keikhlasan dalam artian hanya untuk Allah, bukan untuk hubungan manusia.
Dan apa yang dia korbankan? Mengorbankan hartanya, mengorbankan waktunya, mengorbankan istirahatnya, untuk mencapai derajat yang tinggi. Maka di sini mengutip ucapan Abu Hilal al-Askari: “Saudaraku bilamana engkau menginginkan namamu senantiasa hidup dan memiliki derajat yang tinggi—naiknya derajat di tengah-tengah manusia; engkau mengharapkan kemuliaan yang tidak habis dimakan waktu malam ataupun siang—tidak dikurangi sepanjang masa, sepanjang tahun itu tidak berkurang kemuliaan tersebut, harumnya nama tersebut; engkau ingin memiliki kewibawaan tapi kau bukan sultan, engkau ingin kaya tapi tak berharta, engkau ingin punya bodyguard tanpa senjata, engkau memiliki pengikut yang banyak padahal keluargamu sedikit—ada orang itu punya suku yang besar sehingga dia punya suku keluarga yang banyak;engkau memiliki banyak pembantu yang tanpa dibayar—orang-orang ingin semuanya membantu dirimu dengan ikhlas dan tulus.”

Lihat aja kemarin, bagaimana Sayidil Habib Umar. Datang ke mana saja orang berebut, dimana-mana yang datang, mulai dari para pejabatnya, itu Paspampres yang jaga Habib Umar. Mereka sampai rela untuk cuti, biar bisa punya kesempatan berkhidmah. Di gaji? Nggak! Orang-orang yang membantu dakwah beliau, dari Sabang sampai Merauke, dari ulama, artis-artis, Masya Allah, rebutan. Dari semua kalangan.
Apa yang membuat beliau mendapatkan derajat yang begitu tinggi dan begitu dicintai? Ya ini, beliau memiliki tentara yang tanpa harus dibayar gajinya. Maka bilamana engkau ingin mendapatkan derajat yang tinggi yang seperti itu, apa jawabannya? Hendaknya engkau ‘berilmu’. Orang kalau sudah berilmu, mau jadi apa saja mulia. Ente mau dimuliakan, maka carilah ilmu itu di tempatnya.
Cari ilmu, ya bukan di pinggir jalan. Mencari ilmu, ya bukan dengan santai-santai. Jadi orang yang cengeng, tidak! Tapi harus menjadi orang yang benar-benar siap dengan segala keadaan, harus belajar dirinya mandiri, melampau usianya. Saya kan seharusnya masih main-main, misalnya, nggak boleh! Tapi harus terbuka, bersungguh-sungguh.
Mungkin ada orang-orang awal-awalnya semangat, pas belakangan udah dua bulan, tiga bulan, kayak gini-gini terus, mulai bosen. Apa belajar, ditanya ujian, ya Allah. Kayaknya membosankan. Begitu orang yang mencari ilmu. Di situ nanti ketahuan, sungguh dan tidaknya seseorang.
Kalau masih awal-awal ibarat memiliki barang, orang baru beli motor pengennya di bawa, mau panas-panas nggak peduli, motor baru. Pas udah sebulan, dua bulan, apalagi udah setahun, ya itu motor kayak kagak ada harganya. Karena bukan sesuatu yang baru, kalau yang pertama masih bernafsu.
Ketika kita masih belajar, maka masih semangat awal-awal. Pas belakangan, udah mulai loyo, belakangan udah mulai lemas, belakangan udah aduh gimana lagi. Yang tadinya semangat menghafal, hafal terus sih. Ya memang begitu menuntut ilmu, seperti itu. Membutuhkan kesabaran, membutuhkan keseriusan, membutuhkan kesungguhan, dan lain sebagainya. Maka kemanfaatan datang kepadamu, secara pasti! Dan itu yang akan menjadi sandarannya.
Paling setahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, paling lama 5 tahun. Baru kita udah mulain ngerti itu, terus begitu. Kemudian rasakanlah manisnya kemuliaan selama hidupmu, baru engkau akan merasakan kemuliaan itu. Padahal cuman 6 tahun, dan nyesel itu cuma 6 tahun nanti. “Ya Allah, kalau saya punya waktu lebih, saya pengen lebih belajar.”
Karena Masya Allah, nikmatnya itu orang-orang yang memang tahu sebuah nilai kenikmatan. Kalau belum tahu orang baru pertama kali makan duren, ada yang muntah, “Ah kagak enak.”

Syaikh Umar al-Khatib itu beliau bercerita: “Saya nyium bau duren itu tadinya mau muntah, ga enak. Tapi saya dengar cerita bahwasanya Habib Umar suka. Akhirnya saya memaksakan diri, eh bener rupanya enak. Pas lama-lama kagak mau berhenti, jadinya doyan.”
Begitu pula ilmu, ilmu emang pertamanya bertentangan dengan tabi’at nafsu, dan setan akan senantiasa mengganggu, “Udah deh, ngapain belajar, ngapain bersabar, cari main-main aja.” Digituin sama setan, tapi dia tetep sabar, dia bersungguh sungguh, akhirnya di buka sama Allah, akhirnya nikmat.
Dan rasakan kenikmatan dengan ladzatnya kemuliaan di masa sisa-sisa umurmu, menuntut ilmu paling umur 23 tahun, mentok-mentok umur 25. Padahal sisa umurnya, dari 25 tahun sampai 60 tahun, maka 35 tahun dia akan merasakan kenikmatan. Padahal dia paling lama 15 tahun, mati-matian dalam menuntut ilmu. Dan bukan hanya itu, dia meninggal ilmunya bermanfaat, akan menjadi kesenangan dan kenikmatan baginya. Fahimtum?
Dan akan kekal selamanya, rasakan kekekalan nantinya namamu akan senantiasa dikenang setelah wafat. Apalagi sampai bisa ngarang kitab, kitabnya di baca. Meninggal, masyaallah, rahimahullahu fulan, masih di kenang, “Fulan berkata begini, berkata begitu. Dulu adalah penuntut ilmu dia baik.” Diceritakan, ga bisa moveon orangnya, terus untuk selama-lamanya. Itu para ulama. Lihat Imam Syafi’i, sudah berapa ratus tahun, udah 1000 tahun meninggal. Tapi sampai hari ini nama Imam Syafi’i tetep kita kenal, sampai hari ini ilmu Imam Syafi’i tetep bermanfaat.
Kemudian al-Imam Abu Hilal al-Askari mengutip kalam Sayidina Ali bin Abi Thalib yang mengatakan, “Nilai seseorang itu bergantung keahlian yang dia miliki.”
Itu nilai seseorang. Kalau nggak punya keahlian sama sekali, ya gak punya nilai. Gak punya keahlian sama sekali, tidak dunia, ilmu, akhirat, nggak memiliki sama sekali, nggak punya keahlian sama sekali, orang yang semacam ini bagaimana? Nggak ada qîmah.
Dulu ada orang, dia pinter bikin kayu, bikin ukiran, orang-orang datang kepadanya, karena dia memiliki keahlian. Maka nilai orang ini akan dinilai dengan keindahan, keahlian di dalam mengolah kayu. Dia bikin lemari, kitchen set, dia bikin mimbar, dia bikin macam-macam. Orang-orang rebutan berlomba datang kepadanya, “Ini hasilnya bagus, halus.” Itu tukang dan nilainya besar dan mahal, ya tergantung dia. Namanya dia di butuhkan. Kenapa? Karena dia memiliki keahlian.
Begitu juga ketika kita penuntut ilmu, maka tergantung kita memiliki keahlian apa. Ahli dalam pendidikan. Ada orang itu Profesor dalam satu bidang, mahal dia itu. Mau nerangkan, mau konsultan saja. Itu dokter nggak ngapa-ngapain, kita datang ke dokter, “Sakit apa? Sakit perut. Kembung gak? Oh iya, tadi makan apa? Ya baik, beli obat ya.” Nulis dia, suruh beli sendiri obatnya di apotek. Habis itu dia keluar, nanya ke kasirnya, “Berapa tadi?” “Bayar 200.000 aja!”
Padahal 10 menit nggak nyampe, ngobrol sedikit. Tapi dia pinter dalam ilmu kedokteran, dia tau menyembuhkan penyakit, dia tau semua obatnya. Maka bernilai orang itu, waktunya bernilai, konsultasi dengan dia bernilai. Beda dengan orang-orang yang ada di pinggir jalan, 2 jam sama mereka itu gratis. Bahkan ente yang bosen ngobrol sama dia. Kenapa? Karena dia nggak bisa apa-apa. Jadi nilai seseorang itu adalah ‘keahliannya’.
Ketika Sayidina Ali berkata seperti itu, maka al-Imam Abu Hilal al-Askari berkata begini: “Bilamana engkau renungi kata-kata ini, maka engkau akan benar-benar berusaha, di dalam menuntut ilmu semampu kalian.”
Selagi masih ada kesempatan dan kemampuan, itu waktu jangan sampai tidak memanfaatkan, jangan sampai kelewatan untuk menuntut ilmu. Tidak ada alasan untuk bersantai-santai dari berusaha menuntut ilmu. “Ntar aja deh kalau udah gede, kalau udah tinggi.” Nggak boleh! Jadi tergantung.
Kalau orang dermawan itu kapan pun dia dermawan, dalam keadaan miskin pun dia tetap dermawan, ketika kaya akan dermawan. Dan orang yang pelit, mau dia miskin, mau dia kaya, tetep aja pelit, meskipun duitnya dikit tetep aja nggak mau sedekah, pas banyak tetep aja nggak mau bersedekah. Jadi nilai seseorang itu bukan dengan ditunggu-tunggu, “Ntar aja, saya masih mau main-main sekarang. Nanti kalau udah umur 20 ke atas, baru saya akan begini.” Nggak ada alasan itu! Dari sekarang kita melangkah, dari kapanpun kita melangkah.
Karena seorang yang berakal, tidak akan bersandar terhadap sesuatu yang mengurangi nilainya, dan tidak akan pernah lupa terhadap sesuatu yang dapat mengangkat derajatnya. Itu orang yang berakal, dia akan selalu berusaha mengerjakan apa-apa yang dapat mengangkat derajat dirinya.
Kita dalam rangka menuntut ilmu, sedangkan letak barometer atau ukuran derajat keberhasilan kita, ya ilmu. Semakin banyak yang kita dapatkan ilmu, semakin besar penguasaan kita terhadap pelajaran yang kita pelajari. Maka di situ semakin naik derajat kita, akan semakin baik derajat kita. Fahimtum?
Mudah-mudahan dijaga hati kita oleh Allah, diberkahi oleh Allah. Wallahu A’lam bish-Shawab…
selengkapnya : https://www.youtube.com/watch?v=sa6XcQiCd1M