Satu lagi intan permata Hadramaut yang tak banyak orang tahu, yakni al-Mufti al-Allamah asy-Syahid al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz, ayahanda al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz. Resensi kali ini berjudul Kitâb Durûs at-Tauhîd,satu di antara sekian tulisan ulama besar ini. Lahir pada tahun 1332 Hijriah di Kota Musythah, Tarim (Hadramaut, Yaman). Dan terakhir kali sosoknya terlihat pada hari Jumat, 29 Dzulhijjah 1392 Hijriah, ketika hendak menuju Maktab al-Makmur, sebelum akhirnya raib seperti ditelan bumi. Hingga hari ini makam serta jasadnya belum pernah ditemukan.

Al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz

Sejak muda al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz amat tekun belajar kepada para ulama besar. Hampir semua ulama Hadramaut di masa itu pasti pernah dicicipi keberkahan ilmunya. Al-Habib Muhammad memang lahir dari keluarga ulama besar. Selain belajar kepada ayah sendiri, ia juga di didik ilmu oleh ayah dari ibunya, al-Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur (w. 1344 H), penulis kitab Bughiyatul-Mustarsyidîn,dan kitab Syamsudz-Dzahîrah fî Nasabi Ahlil-Bait min Banî Alawîyang saat ini sedang viral di jagat media sosial.

al-Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab

Guru berikutnya yaitu kakak-adik: al-Allamah ad-Da’iyah al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri (w. 1361 H) dan al-Allamah al-Faqih al-Habib Ahmad bin Umar asy-Syathiri (w. 1360 H), penulis al-Yâqût an-Nafîs fî Madzhabi Ibni Idrîs yang terkenal itu. Ia bahkan menulis biografi gurunya itu, al-Habib Umar asy-Syathiri, berjudul Nafkhuth-Thîb al-Athirî fî Manâqibi as-Sayid Abdullâh bin Umar asy-Syâthirî.Guru hebat lainnya, al-Allamah al-Arif Billah al-Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab (w. 1386 H), yang dia tulis sendiri biografi tentangnya setebal 10 jilid buku. Dan masih banyak lagi ulama besar Hadramaut lainnya. (lihat: Fatâwâ al-Faqîh asy-Syahîd Ibni Hafîdz,vol: I, hal: 14-16)

Asy-Syaikh Hasan bin Muhammad al-Masyath

Bisa dibilang al-Habib Muhammad merupakan ulama yang sangat produktif menulis. Puluhan buku tulisannya berhasil dicetak dan didistribusikan secara luas, sebagian telah diterjemah kedalam berbagai bahasa Internasional. Adapun sisanya, masih dalam bentuk manuskrip tulisan tangan. Al-Habib Muhammad termasuk satu di antara sekian tokoh ulama yang memiliki koneksi luas, bukan hanya di lingkup wilayah lokal Hadramaut, tetapi juga dunia Internasional. Meski kala itu iklim Perang Dunia II (1939-1945) masih amat sangat terasa.

Asy-Syaikh Muhammad Amin Kutbi

Di masa hidup al-Habib Muhammad, Republik Yaman memang belum terbentuk. Pasca kekalahan di Perang Dunia II, Kekhalifahan Turki Utsmani harus berbagi kekuasaan dengan pihak sekutu. Termasuk wilayah Yaman Selatan yang kemudian menjadi jajahan Britania Raya. Saat itu al-Habib Muhammad masih leluasa menjalin hubungan dengan banyak ulama dari berbagai belahan dunia. Semisal berguru pada kalangan Ulama Hijaz, seperti asy-Syaikh Hasan bin Muhammad al-Masyath (w. 1399 H), asy-Syaikh Muhammad Amin Kutbi (w. 1404 H), as-Sayid Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (w. 1391 H), dan guru besar Haramain lainnya.

As-Sayid Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani

Al-Habib Muhammad juga berkunjung ke banyak negara demi ilmu, semisal ke Syam (Suriah), India, Pakistan. Berteman dengan tokoh-tokoh Jama’ah Tabligh di India, dan belajar langsung kepada al-Allamah Muhammad Yusuf bin Ilyas al-Kandahlawi (w. 1379 H), penulis buku Hayâtush-Shahâbahyang populer itu. Bahkan begitu akrab dengan Mufti Agung Mesir, al-Allamah asy-Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf (w. 1410 H). Pada tahun 1379 H, ia sengaja berdakwah keliling Benua Afrika, seperti Kenya, Zanjibar, Tanzania dan kota-kota lainnya. (lihat: Juhûdu Fuqahâ Hadramaut fî Khidmatil-Madzhab asy-Syâfii,vol: II, hal: 1301)

Asy-Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf

Pada tahun 1967 M, Yaman Selatan mendapat kemerdekaannya dari Britania Raya, dan situasi mulai berubah mencekam 2 tahun kemudian, pada 1969 M kaum komunis dibawah payung politik People’s Democratic Union mulai mengontrol negara dan mengimplementasikan ‘Komunisme’ sebagai ideologi negara. Yang dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah di Provinsi Hadramaut. Tepat 2 tahun kemudian (1971 M) terjadilah peristiwa memilukan itu, al-Habib Muhammad menghilang dan tak pernah kembali lagi. Sosok ulama besar, berpendidikan luas, koneksi level dunia, produktif menulis, yang proaktif berdakwah ini wafat pada usia sekira 60 tahun.

Itulah rekam hidup penulis buku yang akan alfaqirreview, Kitâbu Durûsit-Tauhîd(selanjutnya disebut Durûsut-Tauhîd). Sejatinya buku ini tak ubahnya buku genre tauhid (teologi) pada umumnya. Bahasan didalamnya meliputi 3 tema fundamental ajaran Islam: Ketuhanan (Ilâhiyât), Kenabian (Nubuwât), Metafisika (Sam’iyât). Tiga prinsip ajaran ini sebenarnya telah amat sangat cukup untuk meng-cover keyakinan umat Islam akan keilahian Allah, tanpa perlu tanda tanya [?] atau nalar filosofis apapun. Sesuai instruksi Rasulullah dalam hadis:

تَفَكَّرُوْا فِيْ آلَاءِ اللهِ، وَلَا تَتَفَكَّرُوْا فِي اللهِ

“Berfikirlah tentang bukti-bukti (makhluk) Allah, dan jangan pernah berfikir tentang dzat Allah.” (HR. Imam Thabrani)

Sebab yang berani lancang ‘membongkar’ esensi ketuhanan dengan nalar filsafat hanyalah peneliti, akademisi, dan pakar orientalis dari kalangan ateis tak bertuhan. Muslim sejati yang hatinya bersih dan penuh iman, tak akan ‘bodoh’ menyamakan tuhan dengan makhluk manapun. Jika pun ada muslim yang mukmin ingin mengkaji tentang Ketuhanan, maka hal itu pastilah dilandasi motivasi demi ‘meneguhkan iman’, dan bukan untuk ‘meragukan tuhan’. Inilah mindset sahih yang diyakini mayoritas muslimin di seluruh dunia.

Jika nalar filsafat mengekploitasi Tuhan, buku ini mengajak mengesakan Tuhan.

.

Judul: Kitâb Durûs at-Tauhîd
Penulis: al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz
Dimensi: 21 cm × 15 cm (A5)
Tebal: 17 Halaman
Kurikulum: Marhalah Ibtida
Penerbit: Mathba’ah al-Madani (Kairo, Mesir)

.

Al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz mengawali bukunya dengan definisi ‘Ilmu Tauhid’ dan ‘Hukum Nalar’. Dua konsep ini perlu diketengahkan lebih dulu, agar nalar Anda tidak melenceng dari rel ajaran yang sahih. Bahwa ‘tauhid’ sejatinya ialah mengesakan Allah; meyakini Allah sebagai satu-satunya Tuhan (monoteisme). Maka pada slide berikutnya bertema ‘ilmu tauhid’, yaitu seperangkat pengetahuan yang dengannya Anda mampu mengaktualisasi keyakinan melalui postulat-postulat yang absolut. (lihat: Kitâbu Durûsit-Tauhîd,hal: 2-5)

Dalam studi ulama, kajian ‘Ketuhanan’ telah final dipresentasikan oleh al-Quran dan Hadis Rasulullah. Yang hal ini ‘wajib’ diyakini kebenarannya oleh tiap muslim, sehingga tak ada keraguan sedikitpun terhadap Ketuhanan Allah. And next, kita tinggal mengembangkan kajian dalil-dalil untuk menguatkan sifat-sifat Ketuhanan, dengan tetap memakai ayat al-Quran dan teks hadis sebagai barometer. Itulah alasan mengapa kajian Ketuhanan dalam Islam memiliki karakteristik ‘rekonstruktif’, berbeda dengan observasi Ketuhanan versi sekuler-ateis yang ‘dekonstruktif’.

Selanjutnya pembahasan mengenai ‘Hukum Nalar’ dan hal ini sangat urgen, agar oknum-oknum ‘intelek Islam modern’ yang punya nalar liar tidak sembarangan asal bicara. Hukum nalar atau nalar hukum pada kajian Ketuhanan harusnya mengacu pada 3 prinsip dasar: Hukum Wajib, Hukum Mustahil, dan Hukum Jaiz. Bahwa Allah itu Maha Esa adalah wajib; Allah punya kembaran (syârik) adalah mustahil; Allah menghidupkan atau mematikan manusia adalah jaiz. Dengan demikian cara berpikir Anda tentang Ketuhanan bisa lebih terarah.

Jika dua prinsip dasar ini telah dipahami secara baik, Anda boleh masuk lebih dalam lagi: tentang kajian esensi Ketuhanan. Pada kitab Durûsut-Tauhîd, Anda akan disuguhi karakter-sifat wajib bagi Allah, mustahil bagi Allah, dan jaiz bagi Allah secara mendetail. Yang istimewa di sini, tiap dijelaskan satu sifat Allah ia telah diperangkati oleh sifat antonim dan postulat ayat al-Quran. Jadi Anda tidak perlu ribet mencari dalil secara lengkap. Semisal sifat wajib Allah pertama: Wujûd, Anda bisa temukan nalar dalilnya pada ayat QS. Ibrahim [14]:10, ayat QS. Al-Hadid [57]:4, dan ayat QS. Al-Mujadilah [58]:17. Atau karakter-sifat keempat—ini yang paling diantisipasi kaum ateisme—Mukhâlafah lil-Hawâdist, bisa ditemukan nalarnya dalam ayat QS. Asy-Syura [42]:11. Dan begitu seterusnya.

Fazlur Rahman

Pada kajian perihal ‘Kenabian’, Durûsut-Tauhîdmempresentasikan jika Nabi dan Rasul bukanlah manusia biasa bahkan sejak kelahirannya, akan tetapi para hamba istimewa pilihan Allah dan bukan hasil seleksi alam. Ini tentu bertolak belakang dengan kerancuan konsep ‘Filsafat Kenabian’ yang dipopulerkan oleh pemikir modern, Fazlur Rahman (w. 1988 M). Menurutnya, “Wahyu adalah dasar dari semua agama langit. Semua nabi adalah manusia biasa yang diberi kekuatan untuk berhubungan dengan Tuhan dan menyatakan kehendak-Nya. Dengan wahyu, seseorang memiliki modal dasar untuk melakukan pekerjaan suci sebagai nabi dan rasul untuk membangun kehidupan yang sesuai dengan kemanusiaan yang sebenarnya. (lihat: Major Themes of The Qur’an, hal: 367)

Karl Marx

Terakhir ialah prinsip ‘Metafisika’ atau dalam bahasa al-Quran disebut Sam’iyât.Nah, cakupan kajian pada kitab Durûsut-Tauhîd ini lebih luas, karena ia terikat kokoh dengan keyakinan iman. Bahwa setiap muslim harus mengimani keberadaan alam ghaib, ruh-jin-malaikat, kematian, malaikat kubur, kiamat, hari kebangkitan, hisaban amal, surga-neraka, dan syafaat Nabi Muhammad. (lihat: Kitâbu Durûsit-Tauhîd,hal: 15-16)

Vladimir Lenin

Yang jelas kesemua prinsip tersebut sama sekali tidak ada dalam kamus filsafat ateisme. Penganut sekuler atau sosialis sejati tidak pernah percaya tuhan, apalagi sekedar meyakini surga dan neraka. Objek kajian mereka hanya terfokus seputar hal-hal yang terlihat atau yang bisa di indra saja, dan tidak lebih dari itu. Inilah kenapa filsafat ateisme memiliki nama lain ‘filsafat materialisme’, sebab prinsip metafisik dimasukkan dalam disiplin ‘non-material’, antonim atau kebalikan dari konsep ‘material’. Lihatlah betapa kacau pola pikir semacam ini!

Meski sebagian pemerhati konflik Timur Tengah menjustifikasi politik Marxisme-Leninisme yang merebak di Yaman Selatan—termasuk Hadramaut—berbeda dengan ideologi Sosialis-Komunis di belahan dunia lainnya yang sekuler (seperti Uni Soviet, Tiongkok, Cuba, Jerman Timur), namun bagaimana pun juga Durûsut-Tauhîd karya al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz ini telah meruntuhkan teori-teori pemikiran Sekularisme-Ateisme, terfokus dalam hal keyakinan beragama. Seakan buku ini muncul dalam kondisi yang tepat, pada waktu yang tepat, dan ditulis oleh orang yang tepat! []