
Shahabat Anas bin Nadhar adalah termasuk di antara muslimin yang ikut perjuang di medan Badar. Sebelumnya dia telah mendengar ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis mulia Rasulullah yang menjanjikan ampunan dan keridhaan Allah bagi para pejuang Badar.
Shahabat Anas sempat berucap: “Demi Allah, andai Allah berkehendak menakdirkan aku bisa ikut perang berikutnya, berarti Allah juga menyaksikan apa yang akan diperbuat oleh Anas bin Nadhar.”
Ketika tiba hari di mana peristiwa Uhud terjadi, Shahabat Anas bergegas menuju medan perang. Dia berteriak keras: “Demi Allah, aku mencium aroma surga dari bawah medan Uhud!”
Imam Ibnu Ishaq meriwayatkan, hingga sampailah Shahabat Anas bin Nadhar—paman dari Shahabat Anas bin Malik—ke lokasi di mana Sayidina Umar bin al-Khaththab, Thalhah bin Ubaidillah, beberapa Shahabat Muhajirin dan Anshar berkumpul. Mereka telah melepas senjata dari tangan masing-masing (tanda pesimis).
Anas bin Nadhar bertanya: “Kenapa kalian duduk-duduk disini?”
“Rasulullah telah wafat terbunuh!” jawab mereka.
Shahabat Anas berkata: “Lalu apakah yang akan kalian lakukan sepeninggal beliau? Ayo, berdirilah. Wafatlah seperti halnya Rasulullah wafat (jemputlah syahid)!”
Shahabat Anas bin Nadhar langsung bangkit menerjang barisan musuh, berperang dengan gagah hingga syahid terbunuh.
Pasca perang, beberapa shahabat mendapati tujuh puluh luka di tubuh Shahabat Anas, tersebab pukulan pedang maupun tusukan panah. Tidak ada seorang pun yang mengenali jenazah Shahabat Anas, kecuali saudari perempuannya. Ia dapat mendeteksinya melalui ujung jari, atau cincin yang dikenakan Shahabat Anas di bagian jarinya.[1]
[1] Sirah Ibnu Hisyam, III/88; Shahihul-Bukhari, IV/23; Tarikh ath-Thabari, III/1406 & 1420; al-Isti’ab, I/108-109; Hulyatul-Auliya’, I/121; Usdul-Ghabah, I/131-132; al-Kamil, II/156; Sirah Ibnu Katsir, III/61-62; al-Ishabah, I/74-75; Imta’ul-Asma’, I/150; Bahjatul-Mahafil, I/207.