
Alhamdulillah Shallallahu wasallam ‘ala sayidina Muhammad rasulillah waa alihi wasohbihi waman Walah

Di sini diterangkan tentang di dalam Kitab Tartîbul-Madârik, di dalam biografi Ibnu Wahab, di mana kesimpulannya ada seseorang orang awam begitu maksudnya di sini. Dia berbuat jelek kepada Imam Ibnu Wahab, tahu-tahu ada orang yang enggak terima, ghirah artinya enggak terima dengan apa yang dilakukan oleh orang miskin tadi, oleh orang bodoh berbuat jelek kepada Ibnu Wahab. Di balasnya dia berbuat jelek pula kepada orang tadi dengan keras, dan dia berkata kepada Ibnu Wahab: “Engkau ini layak untuk dibela, layak untuk dicintai. Sebab engkau adalah lentera serta cahaya bagi kami, cahaya kami semua. Dan memang para ulama itu demikian,
اَلْعُلَمَاءُ سُرُجُ الْأُمَّةِ وَ ضِيَاءُهَا
“Ulama itu merupakan lentera umat.”
Lihatlah betapa agungnya dari dua kalimat ini. Pengakuan dari orang ‘iraqi tadi, rang biasa yang mengatakan, “Engkau adalah cahaya kami. Engkau adalah Lentera kami.”
Dan para ulama itu tidak menganggap orang yang tidak memiliki Syaikh di dalam keilmuan, jadi sehebat apapun seorang tapi dia tidak belajar kepada seorang Syaikh—misalnya dari hasil autodidak, hasil membaca—tidak ditoleh oleh para ulama orang yang tidak memiliki guru di dalam ilmu. Dan yang tidak memiliki guru itu, tidak dianggap sama sekali. Artinya enggak punya harga, enggak dihitung. Dan tidak menganggap bahwa mereka layak untuk berbicara di dalam keilmuan, sebab orang yang berbicara tanpa guru, berbicara dengan sebuah keilmuan tanpa guru itu, adalah tempat kesalahan.
Ada kitab namanya Al-Ilma’ lil-Qadhi ‘Iyadh, Qadhi ‘Iyadh ini pengarang kitab as-Syifa yang kita baca pada tiap malam Jum’at. Di dalam kitab Al-Ilma’ lil-Qadhi ‘Iyadh, dan kitab ash-Shilah karya muridnya Qadhi ‘Iyadh yaitu Ibnu Basyqual. Di riwayatkan dari Ibnul Faradhi yang bersambung sanadnya kepada Shaleh bin Imam Ahmad—Saleh bin Imam Ahmad ini anaknya Imam Ahmad bin Hanbal. Shaleh ini berkata, “Saya mendengar ayahku berkata—berarti yang berkata siapa? Imam Ahmad bin Hanbal:
مَا النَّاسُ إِلَّا مَنْ قَالَ أَخْبَرَنَا وَ حَدَّثَنَا
“Manusia yang kita anggap itu, hanyalah mereka yang berbicara: ‘Telah mengabarkan kepada kami’, ‘Telah meriwayatkan kepada kami.’”
Nah, itu baru mereka yang kami anggap. Adapun orang yang lain yang enggak bisa begitu, tidak ahli di dalam ilmu, atau dia ahli dalam ilmu tapi tidak memiliki guru—haddatsana berarti kan dia mendapatkan dari gurunya, akhbarana kan berarti dia mendapatkan riwayat dari gurunya—baru kata beliau (orang yang seperti itu) enggak ada baiknya, artinya enggak perlu kita anggap untuk diambil ilmunya.
Al-Mu’tashim suatu saat menoleh atau menunjuk kepada ayahku, Imam Ahmad bin Hanbal, dan dia berkata kepada ayahku—Al-Mu’tashim ini seorang khalifah di Bani Abbasiyah, namanya Al–Mu’tashimBillah. Jadi Bani Abbasiya itu ada al-Ma’mun, ada ar-Rasyid, ada macam-macam gelarnya, ada al-Amin, ada al-Mahdi, ada al-Mu’tashim. Dan itu ditiru oleh para penguasa berikutnya, termasuk di Indonesia ini beberapa Sultan di Indonesia juga dulu ada yang bergelar dengan gelar-gelar seperti gelar mereka. Ada al-Mu’tasim Billah.
Al-Mu’tashim berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal: “ Ayo ajak musyawarah atau ajaklah berbicara Abi Du’ad.”
Langsung Imam Ahmad bin Hanbal melengos kalau bahasa kita, memalingkan wajahnya. Beliau berkata: “Bagaimana mungkin saya berbicara kepada orang yang dia tidak pernah belajar kepada seorang guru, kepada seorang Alim sekalipun?” Meski mungkin jenius atau cerdas, ada memang sosok-sosok manusia yang seperti itu, tapi dia tidak pernah berguru.
Makanya di dalam Hadis Jibril itu dilambangkan, bahwa datang seseorang kepada Nabi Muhammad. Disebutkan dia pakaiannya putih, kemudian wajahnya bersih, di mana tidak terlihat bahwa dia adalah orang yang bepergian, artinya bukan orang jauh. Ini orang kayaknya enggak dari mana, bukan orang compang-camping ataupun lusuh. Datang kepada Nabi, duduk dengan baik di depan Nabi Muhammad. Itu lambang seseorang ingin mengambil suatu ilmu. Ketika dia bertanya, “Kasih tahu kepadaku tentang Islam, Iman, Ihsan. Dan lain sebagainya.” Maka kemudian Nabi menjawabnya.
Itu adab diajarkan, bahwa ia termasuk sunnatullah di dalam mengambil ilmu itu. Tidak cukup hanya sekedar belajar sendiri, enggak bisa. Apalagi Ilmu Tajwid, misalnya. Dia baca ilmu Tajwid, “Nun” mati ketemu “Ba’” harus dibaca ini itu. Dia enggak pernah dengar itu, gimana ini harus dibaca apa, dengung? Apa harus di baca “ikhfa”. Apa itu ikhfa? Ikhfa itu disamarkan, akhirnya bacaannya disamarkan kayak gitu. Dia harus mendengar dan harus belajar kepada seorang guru. Nah ini pentingnya.

Jadi ulama dulu, kalau dia tidak pernah belajar, tidak pernah mulâzamah kepada guru, enggak mungkin dianggap ilmunya, bahkan sehebat apapun dia. Lalu apakah tidak bertentangan dengan ucapan yang mengatakan,
أُنْظُرْ مَا قَالَ وَ لَا تَنْظُرْ مَنْ قَالَ
“Lihat dengerin yang ia ucapkan, jangan lihat siapa yang berbicara.”
Ini enggak bertentangan. Masalahnya, biasanya orang yang tidak memiliki guru itu banyak salahnya, enggak sadar. Betapa banyak orang baca buku, baca kitab, kita kadang kalau baca al-Quran sendirian kayak paling benar, kayak enggak ada salahnya. Baca kitab, baca al-Quran, “Wah ajib”. Tapi giliran baca al-Quran bareng orang, tahu dikit-dikit salah, dikit-dikit salah. Nah, begitu pula banyak ada orang yang enggak berguru itu, baca bab Zakâtun–Nabât misalnya, terus itu dibacanya Zakâtul–Banât katanya. Wah enak banget kalau ada zakat Banat, karena orang tidak berguru. Ada lafal hadis yang mengatakan:
إِنْتِظَارُ الْفَرَجِ عِبَادَةٌ
Di bacanya sama dia:
إِنْتِظَارُ الْفَرْجِ عِبَادَةٌ
La Haula wala Quwata illa Billah. Ya, karena dia tidak berguru.
Setiap orang yang belajar sebuah disiplin ilmu, yang sibuk dengan berbicara tentang sebuah ilmu, wajib dia men-tahqiq atau memperbanyak dari ilmu yang ia pelajari itu. Yang dikatakan oleh Abu Hayyan, “Kecuali Ahlul-Hadis, karena kebanyakan di antara mereka awam,” katanya. Tidak ada satupun di antara mereka yang belajar di depan seorang Alim, engak belajar kepada ahli Nahwu, enggak belajar kepada ahli Qira’ah, engak belajar kepada ahli bahasa, enggak belajar kepada ahli Ushul. Tau-taunya mereka hidup, tumbuh besar, jadi ahli Hadis.
Padahal masih belajar nulis di TK, “Kuttâb” ini istilah. Kalau sekarang sekolah TK, tempat orang belajar A BA TA TSA, belajar Iqra’. Itu Kuttabnamanya, sampai sekarang itu di pake bahasa itu. Jadi orang-orang kalo masih kecil, misalnya belajar di “Mi’lamah” kalau di Hadramaut disebutnya, kalau di dunia Islam disebut dengan “Kuttab” untuk belajar nulis belajar baca.
Akhirnya banyak pengikutnya. Ini realita dan fenomena yang ada di zaman Ibnu Hayyan al-Andalusi, bahwa orang cuman bisa baca tahu-tahu dia riwayatkan hadis dari mana-mana, padahal dia enggak pernah belajar fikih. Kemudian disukain, biasanya yang suka juga sama-sama awam. Dan realita ini banyak di zaman kita sekarang, orang belajar setahun dua tahun—masih mendingan kalau belajarnya beneran—setahun dua tahun kerjanya tidur makan, habis itu pakai imâmah, naik mimbar, dengan PD-nya bermodal tongkatnya. Akhirnya orang terpengaruh. “Wah Masyaallah ini jubahnya gede, imamah-nya kayak ban tronton.”
Orang awam yang sama kayak dia, pengetahuannya kayak dia, ya terpengaruh ikut. “Oh oke oke oke. Kayak gitu ya.” Dia ikut akhirnya, udah. Terbentuklah sebuah komunitas mengatas-namakan ilmu, padahal kebodohan. Ini zaman kita sekarang, Subhanallah. Di bohongin itu orang kagak sadar, ini bahasa ini, ini bahasa itu. Dia mengklaim dirinya ngerti kayak Nabi Sulaiman, ngerti bahasa semut lah, misalnya.
Cuman karena sama-sama bodoh, ya percaya aja. Kayak kita masih kecil dulu, nonton film kartun, kayak beneran itu kan. Masyaallâh, itu Spongebob bisa masuk akal ini. Sama seperti itu, kemudian orang banyak percaya, kasihan kan. Nanti di akhir zaman akan terjadi seperti ini, makanya kata Nabi :
إنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزعهُ مِنَ النَّاسِ، وَلكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِماً، اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوساً جُهَّالاً، فَسُئِلُوا فَأفْتوا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأضَلُّوا
“Allah itu tidak mencabut ilmu dengan langsung hilang begitu saja—tulisan ilmu atau al-Quran habis misalnya, enggak—tetapi dengan meninggalnya para ulama. Akhirnya manusia ngambil para pemimpin-pemimpin yang bodoh—yang diikutin itu orang-orang bodoh, yang tidak pernah belajar, enggak ngerti apa-apa—akhirnya dia berfatwa dengan tanpa ilmu, dia sesat dan menyesatkan.” (HR. Imam Turmudzi)
Ya udah hancur lebur, orang enggak pernah belajar, enggak punya sanad, sok-sokan jadi ahli Hadis. Semua terjadi, akhirnya apa? Faudhah yang terjadi, “Saya ngambil dari hadis, ada hadisnya kok.”
“Ini kok di kitab fikih ibaratnya begini (kontradiksi)?”
“Itu mah karangan ulama, ini (hadis) Nabi yang bilang!”
Sok-sokan, kayak orang yang ngerti, padahal kadang bacanya aja keliru. Ini terjadi, Masyaallah, apalagi dengan penampilan, apalagi dengan legitimasi istilahnya, ada para pejabat yang mendukung, ada tokoh yang mendukung, udah jadi akhirnya. Jadi apa? Jadi menyesatkan.
Kita dulu enak, tidak ada kelompok ini, kelompok itu. Ahlussunah Wal-Jamaah, misalnya di Indonesia ini. Akhirnya ada orang yang belajar kepada kelompok-kelompok yang tidak punya sanad, tidak punya guru, merasa dirinya sudah belajar, padahal sanadnya terputus. Dalam artian dia enggak punya pemahaman seperti pemahaman Salafus-Shaleh, akhirnya sesat dan menyesatkan.
Makanya di sini dijelaskan, coba perhatikan ucapan Ibnu Hayyan al-Andalusi: “Para ahli hadis itu, Thalibul-Hadis itu dia enggak belajar kepada seorang ulama yang memiliki keahlian dalam fan-fan tadi.”
Habis itu mau berijtihad, enggak tahu hadisnya mansukh, karena enggak belajar Ushul Fiqh misalnya. Dia mau berijtihad, ya hancur, rusak ijtihadnya. Jadi seorang ahli hadis kadang kala tidak cukup untuk mengamalkan sebuah hadis, hanya dengan berdasarkan bahwa hadis ini shahih. Jangan kira Imam Syafi’i enggak tahu bahwa ini hadis shahih, tapi ternyata dalam mazhab Imam Syafi’i tidak diamalkan misalnya. Apakah Imam Syafi’i luput dari hadis ini? Jangan terburu-buru dulu, perhatikan dulu!
Bisa jadi di dalam pandangan Imam Syafi’i itu hadis adalah Hadis Dhaif misalnya; atau bisa jadi hadis itu di dalam pandangan Imam Syafi’i adalah hadis yang mansukh, hadis yang tidak didipakai, sudah direvisi di zaman Nabi. Atau bisa jadi itu hadisnya umum, tapi Imam Syafi’i mendapati hadis yang khusus, sehingga yang umum tadi di takhshis. Dan contoh yang demikian itu banyak sekali, sehingga seseorang bilamana dia cuman ngambil hadis, numpuk hadis begitu saja, tapi dia enggak tahu fikih, enggak tahu Nahwu, enggak tahu Adab, tidak tahu lughah, ya kacau. Fahimtum?
Sama juga orang baca al-Quran seenaknya, kalau dia enggak bisa memiliki alat Ilmu Tafsir, ilmu Istinbath dan lain sebagainya, maka dia akan akan tersesat. Sebab ia tidak memiliki perangkat di dalam memahami dengan pemahaman yang benar.
Diceritakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal mengingkari atau ingkar terhadap seorang ulama bernama Abi Jakfar al-Asadi ini, dari ulama Qairawan di Maroko ini. Dan ketika dia berbicara, menulis sesuatu kepadanya, maka katanya: “Kamu diam! Kamu nggak punya guru.” Makanya kalau enggak punya guru, ya gurunya setan.
مَنْ لَيْسَ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ شَيْطَانُ
Nah itu yang berbahaya, karena dia mempelajari sendirian, dia tidak belajar di dalam kebanyakan ilmunya kepada seorang imam yang masyhur, dia mendapat itu hanya sekedar dengan kecerdasannya. Sehingga mereka memberi isyarah, artinya seandainya beliau itu memiliki Syaikh yang beliau belajar kepada Syaikh tersebut dengan benar-benar belajar, maka di saat beliau tinggal bersama dengan kaum Muslimin—di tempat tersebut, di Kerajaan Bani Ubaid tadi—itu akan menguatkan keislaman dan keimanan mereka.
Namun karena orang-orang yang tidak beragama, makanya kadang kala orang yang terpengaruh dengan firqah-firqah yang sesat itu karena disebabkan tidak memiliki sanad, kebanyakan mereka kalau sudah meninggalkan agama ini menjadi Ilhâd. Tau Ilhâd? Menjadi atheis, udah enggak percaya Allah, enggak percaya Islam dan seterusnya. Maka ini perlu diperhatikan.
Dan alhamdulillah, kita bisa belajar pada guru-guru yang memiliki sanad, yang bersambung kepada Baginda Nabi Besar Muhammad. Makanya hikmah keberadaan guru itu merupakan sebuah sunatullâh, tidak ada orang yang mengenal Allah dengan sendirinya, dengan meraba-raba, enggak bisa. Mesti ada orang yang menuntunnya. Makanya hikmah Allah mengutus para utusan, para nabi diutus, untuk menjadi pelantara antara ia dengan Allah.
Jadi enggak ada, tahu-tahu udah langsung orang kenal Allah. Meskipun itu bukan suatu hal yang mustahil bagi Allah, cuman kebanyakan melalui sebuah proses yang telah Allah tetapkan. Nah, di sini pentingnya berguru, punya Syaikh, terutama guru yang mutqinîn, yang memang benar-benar pakar di dalam bidangnya.
Mudah-mudahan Allah berikan keistikamahan kepada kita semua, menjadi para pemuda yang benar perjalanan relnya di dalam menuntut ilmu. Semangat ada, guru ada, mengerti nilai waktu, sehingga ilmu yang kita dapatkan berkah dan banyak, karena memang sangat dibutuhkan di zaman kita saat ini. Jangan bilang nanti, “Wah zaman sekarang sih yang penting orang bisa ngomong, bisa pura-pura pidato, baca terjemahan hadis satu dua, suaranya bagus, baca al-Quran enak, udah cukup!”
Itu menyesatkan, yang demikian itu yang bakalan menyesatkan. “Ini kan kita enggak menghadapi orang-orang Alim?” Memang kita mau ngapain dengan orang-orang Alim? Kita ini akan terjun, akan datang ke masyarakat dengan ilmu, membawa mereka dengan ilmu-ilmu Nabi Muhammad. Itulah yang akan mendatangkan ketentraman, mendatangkan kebahagiaan, mendatangkan kedamaian di dalam umat Nabi Muhammad, sehingga umat ini berjalan dengan benar. Mudah-mudahan Allah berkahi kita semua. Wa Ilâ Hadratin-Nabi Muhammadin Shallâllahu Alaihi wa Sallam. Alfatihah…
Selengkapnya : https://www.youtube.com/watch?v=lId7eTm4g2Q&t=693s