
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah wash-Shalatu was-Salamu Ala Sayidina Rasulillah Muhammad Ibni Abdillah wa Alihi wa-Shahbihi wa ManWalah…
Kembali lagi di dalam pembicaraan tentang qath’ul-‘alaik ad-dunyawiyah, memutus segala ikatan-ikatan yang berkaitan dengan duniawi. Al-Imam al-Habib Abdurrahman Assegaf mengatakan, bahwasanya kunci untuk sampai kepada Allah dan makrifah kepada Allah itu adalah memutus segala ikatan-ikatan duniawi.

Selanjutnya, dikatakan dalam kitab Ta’limul-Muta’alim, karya al-Imam Zainuddin az-Zarnuji, di mana ini dipelajari di berbagai negeri, termasuk di Indonesia. Di antara ucapan yang beliau ucapkan: “Harus bagi penuntut ilmu itu untuk meminimalisir hal-hal yang menjadi kaitan-kaitan yang berkaitan dengan duniawi.”
Orang kalau belajar sambil bisnis, enggak maksimal. Orang kalau banyak urusan-urusan, makanya kadang kala orang yang sibuk dengan urusan duniawi itu, orang kawin misalnya, karena dia mesti ngurusin ini, urusin itu. Meskipun tidak sedikit juga orang-orang yang berhasil dalam kondisi seperti itu, tapi tidak maksimal bagaimanapun juga.
Jadi biqadril-wus’i, semampu mungkin, semaksimal mungkin meminimalisir al-’alaiq, kaitan-kaitan yang bersifat duniawi semampu mungkin. Artinya kalau bisa sama sekali, dia benar-benar fokus enggak ada urusan apapun. Makanya baik dilakukan itu di saat seseorang masih muda, di saat masih usia belia, sebab keinginannya tidak begitu banyak. Tidak banyak cabang sana, cabang situ, pengin ini, pengin itu. Kalau sudah banyak cabang-cabangnya, ya udah.
Tapi meskipun sudah tua, namun sanggup untuk fokus dan mencegah segala bentuk ‘Alaiq ini, maka dia akan berhasil. Seperti contoh-contoh yang telah disebutkan di depan. Dari itu mereka banyak yang memilih untuk terasing, jadi enggak cari ilmu di negerinya sendiri, biar tidak terkait dengan temannya, enggak terkait dengan saudaranya, tidak terkait dengan kerjaan-kerjaannya, bahkan dengan orang tuanya. Akhirnya mereka memilih untuk pergi, ya ke pesantren kalau kita sekarang, atau ke tempat yang jauh, pergi ke luar negeri.
Subhanallah, salah satu sunatullah, orang-orang yang dia pergi di dalam menuntut ilmu itu lebih banyak berhasil, meskipun ilmu itu sama di mana pun juga. Ilmu di Indonesia atau di luar negeri itu sama saja, akan tetapi ketika seseorang sudah menuntut ilmu keluar dari kampung halamannya—ilmu itu di mana saja sama, mau di Jawa, di Kalimantan, ya sama. Akan tetapi di saat dia mendapati tempat yang layak untuk fokus, maka itu adalah hal yang sangat menguntungkan.
Makanya di sini mereka memilih untuk ghurbah, memilih untuk terasing. Ya enggak kenal ini, enggak kenal itu, enggak tahu ini. Kalau ente di kampung ente, tahu mall di mana, tempat hiburan di mana, tempat nongkrong di mana, teman-temannya banyak, ngajakin ini, ngajakin itu, tempat main game di mana, cari internet gampang. Akhirnya enggak fokus mencari ilmu. Tapi kalau udah keluar, maka di situ mana engak kenal orang, enggak kenal wilayah, enggak punya teman yang ngerecokin. Akhirnya dia fokus dan menuntut ilmu.
Bagi penuntut ilmu itu harus bersabar untuk menanggung letih dan beratnya safar di dalam menuntut ilmu, seperti yang diucapkan oleh Nabi Musa. Allah menceritakan, seperti yang diucapkan oleh Nabi Musa di saat beliau ingin belajar. Belajar kepada siapa? Belajar kepada Nabi Khidir. Padahal Nabi Musa itu ‘Ulul Azmi’, kedudukannya di sisi Allah lebih tinggi bahkan dari Nabi Khidir, tapi Nabi Khidir memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa, maka layak untuk dicari. Dan di sini beliau mengungkapkan, capeknya beliau ungkapkan.
Nabi Musa itu melakukan perjalanan banyak, lari dari kejaran Firaun, pergi ke Thursina untuk mendapatkan kitab Taurat, melakukan perjalanan ke Madyan, banyak cerita tentang perjalanan Nabi Musa, balik lagi menemui Firaun. Tapi semua perjalanan-perjalanan itu tidak diungkapkan dan dikeluhkan bahwa perjalanan itu berat, kecuali apa? Kecuali di saat beliau belajar ingin berjumpa dengan Nabi Khidir. Di ucapkan, diabadikan di dalam al-Quran, Allah berfirman:
لقد لقينا من سفرنا هذا نصبا
“Aduh perjalanan kita ini udah capek banget, sungguh luar biasa,” katanya.
Ini kata Nabi Musa. Jadi wajar, agar disadari bahwasanya safar perjalanan menuntut ilmu itu tidak lepas dari keletihan, dari kecapekan, dari pengorbanan, dari perjuangan. Fahimtum?Jadi enggak gampang melakukan atau menuntut ilmu itu seperti itu, semakin kita capek, capek khidmah, capek muthala’ah, capek untuk kurang tidur, meskipun waktu tidurnya banyak, tapi masih aja kurang, capek untuk ini itu, ya memang begitu.
Orang-orang yang mau berhasil ya seperti itu, orang-orang yang kelak akan diberkahi oleh Allah yang seperti itu, mesti sabar. Kalau menuntut ilmu menikmati, “Wah enak nih.” Terus udah begitu malas-malasan lagi. Nah ini perlu dicurigain, itu kayaknya enggak bakat nuntut ilmu.
Makanya dikatakan, siapa yang bersabar atas semua itu, dia akan mendapatkan kenikmatan yang mengalahkan segala kenikmatan dunia. Dari situ, Muhammad bin al-Hasan, murid Imam Abu Hanifah, bilamana sudah bangun malam dia begadang muthala’ah, ternyata apa yang beliau cari ketika ada masalah di dalam ilmu maksudnya ini, dia cari, dia belajar, dia kaji, sampai tengah malam enggak tidur. Tahu-tahu dia dapatin apa yang dia cari itu dapatin, apa dia bilang? “Dan problem terselesaikan, masalah di dalam ilmu terselesaikan.”
Kalau sekarang ini gampang banget, zaman sekarang. Nyari jawaban tinggal cari Google. Itu enggak positif bagi penuntut ilmu, bagi orang yang sudah pengalaman ilmu, bisa membedakan bermacam-macam kitab, baru itu bisa dilakukan.
Akhirnya fatwa macam-macam, akan bercampur antara fatwanya Syaikh Nawawi dengan fatwanya Ibnu Utsaimin, fatwanya Bin Baz misalnya. Bingung orang-orang, kenapa? Karena kayak pasar, itu jadi pasar itu semuanya ada, yang baik ada, yang jelek juga ada. Nah di situ penuntut ilmu mestinya nyari di kitab, ambil kitabnya, pelajari buka, baca pelan-pelan. Bukan plok, dapat. Kagak! Pelan-pelan proses itu semuanya.
Makanya para ulama itu kadang, guru-guru kami itu kita dikasih masalah, tolong cari jawabnya di kitab apa? Dicari, ternyata di situ ikhtilaf, ada yang menemukan begini, ada yang menemukan begitu. Terus begitu, nah itu melatih seseorang. Ini Muhammad bin al-Hasan ketika beliau mencari sebuah masalah ingin diselesaikan, terus dapat, girangnya minta ampun, sampai dia bilang: “Mana putra-putra raja, dibandingkan dengan kenikmatan ini. Enggak ada apa-apanya. Kalau tahu ini putra-putra raja, para pangeran itu, amir-amir itu, tahu ini nikmatnya seperti apa, bakalan cemburu, bakalan iri.” Karena mereka menganggap bahwa puncak kenikmatan adalah yang di saat mereka bergelimang dengan hartanya, dengan kekuasaannya. Padahal ini enggak ada apa-apamya.
Maka dikatakan, semestinya bagi penuntut ilmu tidak menyibukan diri dengan hal lain selain ilmu. Udah fokus aja. Kita ada Maqaashid Tsalatsah: Ilmu, Dakwah dan Tazkiyah. Udah kita fokus di situ, kalau enggak ilmu, ya paling tidak fokus tentang urusan Tazkiyah, pembersihan jiwa, adzkar, dzikir, bacaan al-Quran, merenungi al-Quran. Itu yang semestinya dia sibukkan. Kalau enggak itu, mikir untuk dakwah, gimana bermanfaat, gimana menyebarkan dakwah dan lain sebagainya.
Ngurusin yang lain, ngurusin politik, “Yang menang siapa?” Pada penasaran, wala ente jadi DPR, wala jadi menteri, wala jadi apaan. Kok pengin tahu urusan-urusan yang bukan bidangnya. Udah mau siap pun jadi presiden, siapun jadi menteri, siapapun jadi DPR, ya tetap aja. Nanti makannya ya makan itu, enggak bakalan harus berubah kayak orang Eropa gitu, makannya dari nasi ke roti, kagak!
Jadi ngapain ribut-ribut, pusing-pusing. Udah biarin urusan apapun, urusan bisnis, udah bukan urusan kita. Ente itu orang tuanya yang mikirin, kita fokus di dalam belajar, fokus di dalam menuntut ilmu. Tidak disibukkan dengan hal yang lain, tidak ada kerjaan ini itu.
Dan tidak berpaling dari fiqih, Muhammad bin al-Hasan berkata: “Siapa yang ingin mendapatkan ilmu kami, maka tinggalkan jam.” Maksudnya, karena pelajaran atau urusan kami ini dari mahdi—ini gendongan ibu, masih bayi maksudnya—sampai meninggal di lahad. Itu kita tidak lepas di dalam menuntut ilmu. Fahimtum?
Kemudian di antara hal yang perlu untuk diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu, fokus itu perlu diperhatikan di dalam urusan ini adalah kadang kala ada dua hal dihadapkan kepadanya. Ada yang sifatnya anggapan agama ataupun kebaikan; atau hal yang sifatnya mencegah. Saya tidak mengatakan itu adalah memutus, kata beliau. Bilamana ada hal itu di dalam menuntut ilmu, kadang kala seseorang itu terganggu, ada gangguan, ada aja cobaan-cobaan. Maka bisa di saat terjadi seperti itu seorang penuntut ilmu mestinya memandang hal itu dengan hikmah, dengan hati yang jernih dan bijaksana.
Contohnya, tentang biografi atau di dalam biografi Imam Sulaim bin Ayyub ar-Razi, dinukil oleh al-Imam Subki dalam Thabaqati al-Wustha. “Razi” ini tepatnya Imam Fakhruddin ar-Razi, Abi Hatim ar-Razi, itu semuanya dari tempat ini. Dan beliau itu berasal dari Raz, menuntut ilmu di Baghdad, dari Iran ke Baghdad. Ar-Razi ini di Iran di daerah Khurasan.
Diceritakan tentang beliau itu, di saat beliau menuntut ilmu, ada banyak datang surat-surat dari keluarganya, beliau sama sekali enggak membaca surat-surat yang datang dari keluarganya—apalagi punya sosmed, punya akun di sosial media, celaka ini. Makanya dikatakan oleh Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari,
إِدْفَنْ وُجُوْدَكَ فِيْ أَرْضِ الْخُمُوْلِ
“Eksistensimu pendamlah di dalam tanah khumul.”
Jadi di saat kita masih menuntut ilmu ini, mestinya enggak dikenal orang. Udah jangan malah cari perhatian, belum waktunya udah pengin viral, belum waktunya sudah pengin jadi artis, belum waktunya sudah pengin memimpin. Ngapain. Karena pohon yang tidak dipendam, maka tidak akan tumbuh, hanya jadi biji. Jagung misalnya, orang kalau biji jagung ditanam, kalau enggak ditutup enggak ditanam, itu enggak akan tumbuh dengan baik. Di diawur begitu saja, tumbuh tapi jelek hasilnya, bahkan enggak subur, enggak bagus.
Begitu pula manusia, bilamana tidak di tempa dengan khumul, dia hanya fokus kepada Allah, fokus dalam menuntut ilmu, tidak punya keinginan macam-macam, maka dia yang akan jadi, dia yang akan tumbuh pesat nantinya. Nah di sini beliau ini sama sekali tidak membaca, enggak mau baca surat-surat yang datang dari keluarganya, dan tidak melihatnya aja enggak. Hingga pada akhirnya beliau kumpulkan itu surat-surat, dianggap spam, dianggap sampah semuanya, taruh disimpan terlebih dahulu.
Sampai akhirnya beliau selesai, mendapatkan apa yang beliau inginkan, udah alim, nahwu udah pintar, al-Quran udah hafal, hadis udah sekian ribu yang dihafalnya, fiqih udah ngelotok, fikihnya sudah tahu ini itu, udah siap jadi mufti, baru beliau baca. Kemudian saat beliau baca, katanya di antara isi surat itu “Ibumu telah meninggal.” Lailahaillallah, bayangin coba kalau seandainya saat itu beliau baca surat itu. Di dalam lagi ada hal-hal yang seperti itu, begini begitu, isinya ada “Rumah kamu sudah dijual. Sekarang kita ngontrak.” misalnya kalau bahasanya kita.
Ini kan bikin sumpek, yang membuat sempit hatinya, maka konsentrasi bisa rusak. “Seandainya saya baca itu semua, mungkin saya enggak jadi nuntut ilmu, saya bisa pulang.” Misalnya ayahnya ngirim surat, “Nak saya sudah enggak sanggup, ini gimana?” Macam macam isinya semisal, “Udah deh, balik aja.” Padahal itu hanya cobaan aja.
Saya, kata Syaikh Muhammad Awamah, saya mendengar cerita ini di saat saya masih awal-awal menuntut ilmu, tentang Allamah ar-Rabbani, seorang yang paling luar biasa, satu-satunya di negeri kami di Aleppo, Halb, as-Syaikh Ahmad bin Abdul Karim at-Turmanini al-Halabi. Dan cerita ini juga diceritakan oleh Syaikh Muhammad Ragib ath-Tabbakh di dalam kitab tarikh-nya. Saya kutip ini dari apa yang beliau tulis di dalam tarikh-nya, bahwa beliau yang diceritakan ini, at-Turmanini ini. Syaikh Ahmad bin Abdul Karim at-Turmanini ini belajar di al-Azhar selama 13 tahun.
Cerita ini juga didapatkan dari al-Habib Abdurrahman bin Musthafa bin Syaikh Abi Bakar, beliau itu pendiri Rubath Syihr, itu ketika belajar cuman 4 tahun, belajar di Rubath Tarim. Itu surat-surat yang datang dari orang tuanya enggak dibuka, baru setelah 4 tahun dibuka. Setelah dibuka benar: sudah ada yang meninggal, yang ini udah kawin, yang ini sudah punya anak, yang ini begini begitu. Setelah 4 tahun, baru dengar kabar, biar fokus.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani itu umurnya masih belasan tahun, masih belia sekali, belum baligh bahkan. Oleh ibunya dikasih bekal, kemudian dibilang: “Nak, pandang wajah ibu, setelah ini saya enggak ingin melihatmu lagi kecuali di surga. Ayo berangkat kamu!” Sampai digituin, ini ibu yang benar-benar ibu, bukan ibu yang menganak mamakan anaknya. Kangen sama ibu, yang anaknya jadi anak mama juga. Tapi mesti tangguh orang itu di dalam mengisi hidup ini.
Itu telur kalau enggak berbenturan, masih di dalam pantatnya ayam, itu lembek. Tapi kalau udah keluar, paling tidak kena angin, keras itu telur, keras jadinya. Tapi kalau masih di dalam lembek, makanya bisa keluar, kalau enggak bisa keluar itu kayak apaan, kalau langsung keras dari dalam begitu, kasihan ayam. Begitu pula manusia kalau enggak berbenturan hidup itu dengan keadaan, dengan kesulitan, dengan cobaan, maka enggak akan menjadi orang yang hebat. Fahimtum?
Selama 13 tahun beliau menuntut ilmu, dalam jangka waktu selama 13 tahun itu, sama sekali beliau tidak menyibukkan selain ilmu. Hingga surat-surat yang datang dari orang tuanya dia tinggalin di rak-raknya, di lemarinya. Hingga sampai akhirnya selesai beliau belajar dan harus pergi pulang, baru beliau buka. Ternyata saudaranya yang ini udah kawin, ini udah meninggal.
Hal ini beliau lakukan dengan tujuan agar tidak disibukkan oleh hal lain selain ilmu. Ini ujian udah kelar, misalnya, entar lagi pulang. Sama sekali enggak dipikirin ilmunya, mau hafalan hilang, enggak ada peduli. Hal yang enggak paham, enggak dipelajarin lagi, isi otaknya, “Kapan nih pulang?” Kurang sekian hari, libur kurang sekian hari, dan seterusnya.

Wah enggak cocok jadi ulama, ulama yang sejati itu yang benar-benar fokus. Dia mau pulang, mau di mana, tetap dia belajar, ilmunya terus dipertahankan. Biasa dia menghafal dia menghafal. Syaikh Abdul Aziz asy-Syahawi, beliau itu cerita kemarin waktu di Muwashalah, katanya: “Saya baca, saya menghafal segala sesuatu, hingga sekarang saya ingat.” Ada syair ini, syair itu, beliau hafalin. Ilmu ini, ilmu itu, dihafalin, padahal umurnya sudah 80 tahun lebih. Di sini umur belasan tahun malas ngafal, cemen benar. Ini mestinya tidak berhenti di situ.
Saya ceritakan hal ini dan semacamnya, kadang kala bagi penuntut ilmu itu harus mendahulukan hal yang bersifat syariat, yaitu hak-hak kedua orang tua, dia mesti tahu tentang kabar-kabar orang tuanya. Jadi tidak baku dan tidak kaku, harus sama sekali memutus hubungan dengan orang tua, tidak. Karena itu bagian daripada kewajiban seorang anak terhadap orang tua.
Maka dikatakan di sini, bilamana dia mengetahui keadaan orang tuanya, dan dia banyak mengalami kesulitan-kesulitan, ya enggak apa-apa. Dia lebih harus mendahulukan untuk berbakti kepada orang tua. Atau keputusan dalam hal ini adalah pertimbangan yang matang, yang mempertimbangkan dari segala sisi. Kira-kira kalau dia tetap menuntut ilmu apa yang akan terjadi, kalau sekiranya orang tuanya enggak ridha, ya tinggalin itu, tinggalin nuntut ilmu yang bersifat fardhu kifayah, ya cukup udah yang fardu ain saja. Dia tahu shalat, tahu kewajiban wudhu, tahu lebih dari itu. Demi apa? Demi melaksanakan kewajiban yang lebih besar daripada kewajiban menuntut ilmu.
Dan lebih memprioritaskan maslahah umum daripada maslahah khusus, karena kadang kala ini untuk keluarga, enggak ada yang membiayai keluarganya kecuali dia, dan seterusnya. Jadi tetap yang diutamakan itu adalah pertimbangan syariat, bukan perasaan (athifah). Paham? Wallahu’alam.
Itu cerita-cerita tentang orang-orang shaleh. Ini sekedar gambaran bagi kita, yang lebih meyakinkan bahwa orang tua kita akan lebih girang, akan lebih senang bilamana anaknya rajin menuntut ilmu. Apalagi menjadi calon-calon ulama, calon orang-orang shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya. Itu lebih daripada emas segunung. Ente dituker jadi ulama sama emas segunung, kira-kira milih yang mana?
Gambarannya mesti seperti itu, bahwa fokus dan konsentrasi di dalam menuntut ilmu. InsyaallahAllah berkahi, dengan kita mendengar cerita-cerita tentang orang-orang shaleh ini, cerita orang-orang yang berhasil, itu dapat memotivasi kita fokus bersungguh-sungguh. Apalagi menjelang liburan, pokoknya apa yang menjadi perusak fokus untuk menuntut ilmu, mau itu temen, mau itu mainan, atau hal-hal yang lain, kerjaan apapun pokoknya jangan sampai merusak tujuan utama kita. Apa yang membuat kita melenceng, membuat kita gak bener, itu kita tinggalkan.
Maka mudah-mudahan Allah berkahi kita semua, Allah jadikan kita orang-orang yang husnul khatimah, yang istikamah di dalam kebaikan, diridhai oleh Allah, dibanggakan oleh Nabi Muhammad.
Alfatihah Ila Hadratin-Nabi Muhammadin Shallallahu Alaihi Wasallam. Alfatihah…
selengkapnya : https://www.youtube.com/watch?v=O4BorhroMPU