
Bertetangga merupakan suatu hal yang dapat disyukuri sebagai rahmat. Bertetangga juga dapat mempererat persaudaraan, dengan menjaga hubungan interaksi yang baik antar sesama, sehingga tercipta kerukunan. Tetangga adalah seseorang yang tinggal di sekitar rumah kita, mulai dihitung sejak rumah pertama hingga rumah ke empat puluh dari berbagai arah.
Tetangga juga memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Karena rumahnya yang dekat dengan rumah kita, maka tetangga akan lebih memahami segala tingkah polah kita dibandingkan keluarga sendiri yang secara umum memang tinggal berjauhan. Jika ada kesulitan, tentu mereka duluan yang akan membantu. Maka dari itu, kita diperintahkan untuk selalu berbuat baik kepada tetangga.
Rasulullah telah memberikan teladan kepada kita, agar tidak mengabaikan tetangga. Nabi Muhammad telah memberikan contoh yang baik pada kita sebagai umatnya dalam bertetangga. Hal ini merupakan sunah Rasulullah serta tuntutan dari Allah, sebagaimana dalam al-Quran Surah an-Nisa:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua (ibu-bapak), karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”(QS. An-Nisa [03]:36)
Perintah ini diwajibkan karena ada dua sebab. Pertama, karena merupakan perintah dari Allah. Kedua, karena perintah tersebut digandeng dengan perintah untuk berbakti kepada kedua orang tua yang hukumnya wajib. Dari sini kitab bisa melihat betapa besar perhatian Islam dalam mengatur hubungan sosial manusia untuk saling menghormati.
Dari Shahabat Abdullah Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah pernah bersabda:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ
“Bukanlah mukmin sejati, orang yang kenyang, sementara tetangganya sedang kelaparan.” (HR. Imam Abu Ya’la)
Imam Ibnu Hajar berkata, bahwa Rasulullah memiliki tetangga di Madinah dari kalangan Shahabat Anshar, di antaranya adalah Sa’ad bin Ubadah, Abdullah bin ‘Amr bin Haram (bapak dari Jabir bin Abdillah), Abu Ayub al-Anshari dan As’ad bin Zurarah.
Yang menarik ialah keempat tetangga Rasulullah ini senantiasa mendapat perlakuan baik dari kaum Anshar lainnya, karena mereka memiliki kedekatan yang khusus kepada Rasulullah. Hal ini menunjukan juga bahwa Rasulullah selalu berbuat baik kepada tetangganya. Bahkan Bani Najjar berbangga-bangga sebab menjadi tetangga Rasulullah.
Sayidah Aisyah meriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda:
مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Malaikat Jibril selalu berpesan kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai aku mengira anjuran itu akan ia wariskan.” (HR. Imam Bukhari)
Ini adalah wasiat Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad untuk berbuat baik kepada tetangga. Saking seringnya Malaikat Jibril berwasiat untuk berbuat baik kepada tetangga, Nabi Muhammad sampai mengira anjuran berbuat baik pada tetangga akan menjadi warisan harta.
Dalam hadis lain, Rasulullah menjadikan penghormatan kepada tetangga sebagai tanda dari keimanan seorang hamba. Dari Abu Syuraih al-‘Adawi meriwayatkan, telingaku mendengar dan mataku melihat sendiri saat Rasulullah bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir (kiamat), hendaklah ia menghormati tetangganya.” (HR. Imam Bukhâri dan Imam Muslim)
Hadis ini menunjukan wajibnya memuliakan tetangga, karena dalam hadis ini ada perintah mutlak. Para ulama pakar Ushul Fiqih mengatakan, bahwa asal hukum pada perintah yang mutlak tanpa pembatasan, menunjukkan kepada hukum wajib. Terlebih dalam hadis tersebut disandingkan dengan iman kepada Allah dan hari akhir, yang sudah seharusnya menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mempercayainya.
Dalam hadis riwayat Imam ad-Darimi juga menyebutkan: “Jika engkau memasak sayuran, maka perbanyaklah kuahnya. Lalu lihatlah tetangga-tetanggamu dan bagilah masakanmu kepada mereka.” (HR. Imam ad-Darimi)
Selain itu lagi, Rasulullah tetap berinteraksi dengan baik kepada tetangganya yang non-muslim, selama mereka tidak mengganggu dakwah Islam. Rasulullah tetap memiliki hubungan yang baik dengan mereka dalam hal sosial, meskipun berbeda keyakinan. Rasulullah bahkan tidak segan untuk menerima atau memberikan sesuatu untuk mereka.
Alkisah, suatu ketika Sayidah Aisyah memasak daging kambing untuk acara hajatan. Sesuai dengan anjuran hadis tadi, Sayidah Aisyah lantas membagikan masakannya yang sudah matang itu untuk para tetangga dekatnya. Semula tidak ada yang salah. Namun kemudian Rasulullah yang saat itu bersama Sayidah Aisyah bertanya, “Apakah tetangganya yang bernama Fulan juga sudah diberi makanan?”
Sayidah Aisyah menjawab, “Belum. Dia itu Yahudi, dan saya tidak akan mengiriminya masakan.” kata Sayidah Aisyah tegas.
Mendengar jawaban itu, Rasulullah pun menegurnya. Rasulullah tetap menyuruh Sayidah Aisyah memberi makanan kepada tetangganya itu, meski dia seorang Yahudi.
Disini Rasulullah menekankan bahwa seorang muslim tidak seharusnya memilih dan memilah ketika hendak memberi sesuatu kepada tetangganya berdasarkan agamanya. Demikianlah adab Rasulullah sebagai rahmat bagi alam semesta, memberikan contoh kepada umatnya bagaimana cara terbaik untuk berinteraksi dengan tetangga, tanpa diskriminasi karena perbedaan agama, suku, atau ras, dalam mempererat persaudaraan sebagai rasa saling menghormati antar sesama manusia.