Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad rahimahullah mengatakan di dalam kitabnya Risalaul Mu’awwanah: “Hendaknya engkau memiliki wirid, kebiasaan, keistiqamahan untuk membaca kitab-kitab yang di situ ada ilmu yang bermanfaat.”

Apa kitab-kitab yang ada ilmu bermanfaat? “Adalah ilmu yang dapat menambah pengetahuanmu, pengenalanmu terhadap dzat Allah, sifat Allah, pekerjaan Allah dan tanda-tanda kebesaran Allah.” Itu mesti kita memilikinya, membaca kitab-kitab baik yang dapat menambah pengetahuan kita, sehingga menambah keimanan kita dan kecintaan kita kepada Allah.

Dan ilmu yang dapat membuat engkau tahu terhadap perintah-perintah Allah untuk mentaati, dan larangan-larangan serta kemaksiatan yang dilarang oleh Allah. Engkau tahu itu semua, apa saja yang dilarang oleh Allah. Dan juga akan membawa dirimu semakin zuhud terhadap dunia, dan semakin pengen terhadap akhirat. Itu baru disebut dengan Ilmun-Nafi’.

Adapun ilmu yang hanya menyebabkan seseorang menjadi sombong, menyebabkan seseorang semakin takabur, merasa dirinya adalah seorang yang terhebat, maka itu bukan Ilmun-Nafi’. Ilmu itu yang menyebabkan kita semakin takut kepada Allah, makanya dikatakan oleh al-Habib Abdullah bin Husein bin Thahir:

اَلْعِلْمُ الْخَشْيَةُ كُلُّهُ تُعْرَفُ بِذَاكَ أَهْلُهُ

“Ilmu itu adalah ilmu khasyah, yang membuat kita semakin mengenal Allah, sehingga semakin takut kepada Allah.”

إِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Hanyalah para ulama—orang-orang yang memiliki ilmu—yang akan takut kepada Allah.” (QS. Fathir [35]: 28)

Karena mereka yang paling kenal kepada Allah. Kalau anak kecil tidak tahu apa itu bahaya ular, apa itu bahaya harimau dalam hidupnya, dalam hidupnya belum pernah ketemu. Lalu dilihatnya, “Wah ini kayak mainan di TV itu,” misalnya. Dipegangnya dia enggak takut, karena dia enggak tahu apa itu bahaya, dia enggak tahu bagaimana bahayanya harimau. Ada harimau dikira kambing, pengin main-main dia.

Makanya semakin seseorang mengenal Allah, maka semakin takut kepada Allah, semakin pengen terhadap akhirat. Apalagi seseorang yang sudah tahu seperti apa nikmatnya surga, akhirat yang dijanjikan oleh Allah.

Pernah itu seseorang mimpi, karena dia bertemu dengan seorang pengemis, dan dia tidak memiliki apapun, dalam hidupnya dia enggak memiliki apapun. Sehingga dia ajak pengemis itu ke rumahnya, kemudian dia buka pakaian semuanya dia kasih pengemis, sebab yang dia miliki hanya pakaian itu aja. Akhirnya dia tidur, dalam tidurnya dia bermimpi ketemu bidadari. Ditanyain, “Siapa engkau ini?” Dijawab, “Saya ini istrimu di surga, atas apa yang telah engkau lakukan terhadap pengemis itu.”

Akhirnya dia pengin nyentuh. “Enggak boleh, kamu masih hidup. Nanti kalau udah mati, baru boleh menyentuh diriku.” Itu orang setelah terbangun udah, “Waduh kayak gitu cakepnya bidadari,” katanya. Udah tahu dia dalam mimpi padahal, akhirnya minta kepada Allah setiap saat, “Ya Allah, pertemukan saya dengan bidadari itu.” Artinya cepat pengin mati, kenapa? Karena tahu seperti itu yang Allah janjikan di akhirat.

Kalau itu hanya sekedar hal yang bersifat biologis, kenikmatan yang diharapkan oleh manusia, yang sifatnya badan. Padahal ada kenikmatan yang lebih agung yang Allah janjikan,

وَ رِضْوَانُ اللهِ أَكْبَرُ

“Mendapatkan keridhaan dari Allah itu lebih agung,” (QS. Asy-Syura [09]:72)

Itu di akhirat, sehingga orang yang demikian enggak perlu lagi terhadap urusan-urusan duniawi. Kalaupun dia harus, maka dia jadikan hal-hal yang memang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari. Makanya sebagian ulama itu, seandainya mereka bisa hidup tanpa makan, mereka enggak bakalan makan. Jadi kemewahan, hal yang bersifat duniawi, semua tidak membuat mereka terlena, karena mereka mengetahui betapa nikmat akhirat itu lebih nikmat dibandingkan kenikmatan duniawi ini.

Nah, dari mana kita tahu itu semua? Dari kitab-kitab yang di situ ada ilmu yang bermanfaat, makanya kita perlu baca kitab, termasuk kitab ini Risalatul-Mu’wanah. Insyaallah termasuk al-ilmun Nafi’. Ilmu Nafi’ itu adalah ilmu yang membuat dirimu tahu terhadap aib-aibmu. Seseorang itu kalau ingin mengetahui aib dirinya, kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh dirinya, itu harus punya guru yang gurunya itu menyingkap semua aib yang engkau miliki, sehingga bisa dibenahin kalau ada kekeliruan.

Kalau enggak punya guru, maka paling tidak ada al-Akhu an-Nashih, seorang saudara, seorang teman yang senantiasa menasihati dan mengingatkan, untuk membawa dirimu semakin sempurna, aib-aib dirinya dikasih tahu. Kalau enggak ada beberapa cara, kata Imam al-Ghazali. Di antaranya adalah dengan mendengarkan kritikan dari musuh-musuhmu. Jadi kalau orang yang benci dikatakan:

عَيْنُ الرِّضَا عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَة, كَمَا أَنَّ عَيْنُ السُّخْطِ تُبْدِيْ الْمَسَاوِيْ

“Orang kalau sudah benci, maka segala kejelekan akan nampak. Sehingga ketika dia sudah mengumpat kita, menyebut aib kita, dia berusaha untuk memperbaiki diri.”

Di antara para ulama, begitu caranya. Dia mencari aib-aib dirinya dari orang-orang yang tidak senang kepada dirinya, sehingga bisa dibenahin. Bukan malah, “Uh dia mencaci saya, awas loh ya.” Atau dibalas mengumpat dengan umpatan, buka aib dengan buka aib, ya enggak selesai. Agama tidak dibangun dengan cara-cara yang demikian, agama dibangun dengan cara saling menutupi, saling menyempurnakan, saling menyayangi. Dan itu yang nanti di akhirat, dalam sebuah hadis Rasulullah mengatakan:

إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ خَيْرًا بَصَّرَهُ بِعُيُوْبِ نَفْسِهِ, وَ يُعْمِيْ عَنْ عُيُوْبِ غَيْرِهِ

“Kalau Allah sudah berkehendak memperbaiki seseorang—artinya menjadikan orang itu orang baik—maka akan diperlihatkan aib-aib dirinya, dan akan dibutakan daripada aib-aib orang lain.” (HR. Imam Tirmidzi)

Bukan sebaliknya, aib orang lain jelas di depan matanya, giliran aibnya sendiri dia lupa atau pura-pura lupa. Fahimtum?

Dan setiap amal yang engkau kerjakan, itu perlu diwaspadain. Kadang kala kita hidup di pesantren ini, kan amalnya baik semua. Shalat berjamaah ya kan? Baca kitab, temannya insyaallah orang-orang yang baik semua. Tapi ternyata ternyata dibalik itu semua, membuat diri kita maghrur, membuat diri kita meremehkan orang selain pesantren. “Wah itu apa itu? Orang rendahan itu. Itu orang kagak ngerti agama. Dia jauh dari Allah.”

Kayak dirinya udah paling dekat sama Allah. Itu Afat daripada amal mesti diwaspadai, serta tipu daya setan. Kadangkala setan itu kalau enggak bisa dengan yang keras, digodanya dengan yang lembut, yang orang enggak sadar.

Pernah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani itu beribadah, tahu kan mujahadahnya? Syaikh Abdul Qadir shalatnya aja 1000 rakaat, bertahun-tahun membaca al-Quran dengan satu kaki, agar kalau ngantuk bisa terjatuh. Satu kaki! Ente suruh berdiri satu kaki? Jangankan satu kaki, dua kaki satu jam aja udah pada gelisah, pengin kencinglah, pengin kentutlah. Ini Syaikh Abdul Qadir tiap malam bertahun-tahun seperti itu mujahadahnya.

Suatu saat beliau melihat cahaya, dan dari cahaya itu terdengar suara: “Ya Abdul Qadir. Saya tahu penghambaanmu, keseriusanmu kepadaku. Sungguh dirimu adalah seorang ahli ibadah yang saya andalkan. Mulai saat ini kamu dibebaskan dari segala taklif, dibebaskan dari segala kewajiban, dibebaskan dari segala larangan. Terserah kamu, sesuka hatimu, mulai hari ini!” katanya.

Langsung Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ambil sendalnya, dilempar itu. “Dasar kamu iblis, setan. Jangan ganggu saya!” Kenapa Syaikh Abdul Qadir tahu bahwa itu setan? Sebab segala sesuatu yang bertentangan dengan syariat pasti sesat. Nabi saja orang yang paling dicintai oleh Allah shalat, nabi saja tidak pernah bermaksiat, iya kan? Tahu-tahu ini Syaikh Abdul Qadir Jailani dibebaskan untuk bermaksiat, berarti ini bukan yang benar, “Dasar iblis!” katanya.

Itu ketawa tahu-tahu iblis: “Hebat kamu Abdul Qadir. Saya menggoda dengan cara yang seperti ini 70.000 dari ahli ibadah, dan berhasil.”

Syaikh Abdul Qadir ketika dia mendapat pujian, tambah marah, tambah dilempar itu iblis. “Kurang ajar kamu, pergi enyah dariku.” katanya.

Tahu enggak, bahwa bagaimana iblis itu kadang kala menggoda seseorang dari amalnya itu sendiri, amal baiknya sendiri. Kalau seandainya Syaikh Abdul Qadir girang dan senang dengan pujian iblis, di mana iblis itu merupakan musuh Allah, kira-kira apa yang akan terjadi? Girang dengan pujian musuh Allah, maka akan merusak terhadap amal-amalnya. Jadi sama sekali enggak percaya dengan ucapan iblis, mau itu manis, pahit sama aja, semuanya beracun. Sehingga hati-hati dari urusan hati!

Misalnya al-Habib Ali bin Hasan al-Attas itu pernah bercerita, dalam hadis kan diterangkan bahwa ketika orang akan meninggal dunia itu, nanti akan didatangi oleh orang-orang yang dia kagumin, bisa gurunya atau orang tuanya. Kemudian disuruh untuk murtad, orang sudah sekarat ini mau meninggal disuruh untuk murtad. Di sini detik-detik yang paling berbahaya bagi seorang mukmin. Itu iblis yang menyerupai diri orang-orang yang ia kagumi, misalnya kagum kepada seorang. Datang teman yang dia kagumin datang, apalagi yang sudah meninggal. “Saya sudah tahu di akhirat seperti apa, enggak benar itu Tuhan kamu itu. Yang benarnya Tuhan begini, Tuhan begitu!”

Kalau dia ngelawan, “Enggak, tetap Tuhanku adalah Allah. Kamu adalah iblis, kamu begini begitu.” Itu kan cara-cara yang kasar untuk menggoda hamba-hamba Allah. Tapi ini dengan cara yang halus, caranya dikatakan: “Oh kamu hebat, kamu lulus ujian, kamu akan Husnul Khatimah. Biar kamu lebih Husnul Khatimah dan orang-orang semakin mengagungkanmu, semakin menganggap kamu orang hebat, coba angkat tanganmu dan katakan ‘Lailaha Illallah’, sehingga kamu meninggal dunia dalam keadaan membaca ‘Lailahaillallah.’

Akhirnya orang ini diangkat tangannya dan mengatakan, ‘Lailaha Illallah’. Kan dikatakan:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ مِنَ الدُّنْيَا لَا اِلَهَ اِلَّا اللهَ دَخَلَ الجَنَّةَ

“Siapa yang akhir daripada ucapannya adalah ‘Lailaha Illallah’ masuk surga.” (HR. Imam Abu Daud)

Nah, tapi ini terselip tujuan dan tipu daya dari setan, kata setan “Angkat tanganmu, biar orang semakin mengagungkanmu.” Sehingga dia mengangkat tangan mengatakan ‘Lailaha Illallah’ bukan mau bertauhid kepada Allah, tapi pengen dipuji (riya’), mati dalam keadaan mura’i. Apa itu tidak lebih berbahaya? Bahaya! Orang enggak sadar.

Nah, di sini Afat dari pada amal itu perlu diketahui, sehingga kita tidak maghrur, tidak tertipu dengan amal yang kita kerjakan. Jadi samping kanan kiri kita banyak penggoda-penggoda yang akan merusak kita semua. Fahimtum?

Kemudian ilmu yang sedemikian ini ada di dalam kitab, dalam al-Quran dan sunah, dan kitab-kitab para imam. Dan juga dalam kitab-kitab Imam al-Ghazali, banyak Imam al-Ghazali itu yang mengarang kitab. Bahkan dikatakan kehebatan Imam al-Ghazali di dalam mengarang kitab itu, bilamana diukur dengan umur beliau itu, seperti sesuatu yang mustahil. Dari banyaknya kitab yang dikarang oleh Imam al-Ghazali, dari bermacam-macam disiplin ilmu. Sampai beberapa kitab seperti kitab perdukunan itu manshub kepada Imam al-Ghazali. Ada kitab alAufaq, cara bikin wifiq, bikin azimat gitu, itu sampai Imam al-Ghazali ahli.

Di dalam bermacam-macam disiplin ilmu, tapi kitab beliau yang paling bermanfaat dan banyak dikaji oleh orang banyak, dari masa ke masa dari para imam adalah dua kitab: BidayatulHidayah dan Ihya Ulumuddin. Dan banyak lagi kitab Imam al-Ghazali, Kimiyatus Sa’adah. Ada kitab beliau alArbain fi Ushuliddin, ada kitab beliau Kifayatul Awam, dan lain sebagainya. Ini merupakan kitab yang luar biasa bagi mereka yang mengenalnya.

Maka selalulah membacanya bilamana engkau memiliki himmah di dalam menempuh jalan spiritual, pengen kenal dengan Allah, pengen dekat dengan Allah, pengin mencapai makam para Ahlut Tamkin, maka pelajarilah kitab-kitab yang bermanfaat itu, terutama kitab Imam aGhazali. Para ulama banyak yang mengagungkan kitab Imam al-Ghazali, di Hadramaut itu sampai dibagi beberapa juz seperti al-Quran, dijadikan wiridan. Baca khatam, ulangin lagi, terus begitu. Baik sendirian ataupun bersama-sama, ada diantara mereka mengkhatamkan kitab Ihya’ sampai 40 kali, padahal tebal kan Ihya itu, dalam cetakan Darul Minhaj sekarang 10 jilid. Itu kitab Ihya Ulumuddin banyak ilmu yang tersimpan di dalamnya, sampai dikatakan oleh Imam Nawawi:

كَادَ الْإِحْيَاءُ اَنْ يَكُوْنَ قُرْأَنًا

“Ihya itu hampir seperti al-Quran.”

Ini kitab-kitab Imam al-Ghazali. Al Habib Umar memiliki ikhtishar daripada kitab Ihya Ulumuddin, Qabsun-Nuril Mubin min Ihya Ulumiddin. Itu rub’ul muhlikat, seperempat daripada perihal “Kehancuran”, karena Imam al-Ghazali membagi empat kitabnya: rub’ul ibadat, rub’u muhlikat, rub’ul munjiyat.

Ada rub’ul munjiyat sebentar lagi akan diterbitkan itu ringkasan dari yang ditulis oleh al-Habib Umar, dari kitab Ihya Ulumuddin. Sebelum digabung, beliau meringkas berapa bab, beliau tulis, beliau ajarkan tiap malam Kamis itu diajarkan. Nanti setelah beberapa tahun, sudah terkumpul menjadi sebuah kitab, diterbitkan. Itu para ulama yang memiliki perhatian besar terhadap kitab Ihya Ulumuddin. Ya tentu, di sini kalau pengen bisa baca Ihya, mempelajari Ihya, ya harus ngerti bahasa Arab dulu. Bagaimana kalau enggak ngerti bahasa Arab?

Bilamana kamu memiliki keinginan untuk sampai kepada derajat yang tinggi, derajat ahli tahqiq, derajat orang-orang yang mencapai hakikah, kitab-kitab Imam al-Ghazali itu teristimewa. Artinya memiliki keistimewaan tersendiri, dibandingkan dengan kitab-kitab para muhaqiqin daripada ahli tasawuf. Karena istimewanya itu lengkap dan rapi, itu kitab Imam al-Ghazali. Dan cepat berpengaruh dalam tempo yang singkat. Jadi orang yang membaca kitab Imam al-Ghazali itu dalam tempo yang singkat cepat berpengaruh.

Kalau kita bercerita tentang Imam al-Ghazali, itu para ulama khususnya di kalangan Habaib, di kalangan pengikut Thariqah Alawiyah, itu cintanya kepada Imam al-Ghazali luar biasa. Pernah Imam Haddad itu ditanya, karena Imam Haddad terlalu banyak memuji Imam al-Ghazali. Beliau ditanya, “Ini Imam al-Ghazali itu siapa sih? Dia itu sayid apa bukan?” katanya. Di jawab oleh Imam Haddad:

بَلْ هُوَ سَيِّدُ السَّادَاتِ

“Bahkan Imam al-Ghazali ini sayidnya para sayid.”

Sebab beliau ini bisa memberi pencerahan. Pernah ada orang membakar kitab-kitab Imam al-Ghazali, nganggap Imam al-Ghazali ini sesat. Akhirnya orang itu mimpi ketemu dengan Nabi Muhammad. Di situ ada Imam al-Ghazali, kata Imam al-Ghazali: “Ini yang membakar kitab saya, ya Rasulullah.”

“Eh mana orangnya? Yang ini? Ayo cambuk dia.”

Akhirnya dicambuk dalam mimpinya itu. Pas bangun dia ada bekas cambuk. Akhirnya nyesal untuk membakar kitab-kitab Imam al-Ghazali.

Maka mudah-mudahan kita semua mendapatkan keberkahannya, panjang kalau bercerita Imam al-Ghazali. Al-Habib Umar itu bercerita panjang lebar tentang Imam al-Ghazali, luar biasa. Insyaallah nanti ke depan kita akan mempelajari kitab-kitab Imam al-Ghazali.

Alfatihah ila hadratinnabi nabi muhammad shallallahu alaihi a sallam…