
Alhamdulillah was-Shalatu was-Salamu ‘Ala Sayyidina Rasulillah Muhammad ibni Abdillah wa Alihi wa Shahbihi wa Man Walah.
Qala hafidzahullahu ta’ala: Ma’lam ataupun rambu yang ketujuh, Shuhbatul Muta’alim lil-Aqrar, bagaimana itu seorang pelajar mencari teman, bagaimana berteman dengan sahabat-sahabatnya.
Dijelaskan bahwa diantara mu’awiqat, penghalang atau pencegah bagi para penuntut ilmu, itu adalah banyaknya berhubungan secara umum dengan makhluk dan manusia pada umumnya.
Jadi kalau penjelasan kemarin tentang orang terlalu banyak berbaur, jadi dia menjadi terlalu aktif di dalam kehumasan (hubungan masyarakat), terlalu aktif dia di dalam urusan itu. Makanya kita temukan banyak orang-orang yang dia aktif di dalam organisasi ketika dia kuliah atau ketika dia belajar, itu akan menghambat di dalam belajarnya. Meskipun di sebagian orang itu merupakan kebutuhan, sebab dengan itu dia belajar.
Jadi memang dia belajarnya misalnya pengin jadi politisi, misalnya pengin menjadi pemimpin, atau menjadi orang aktivis, maka dia boleh. Tapi kalau memproyeksikan dirinya menjadi seorang ulama, terlalu banyak urusan dengan orang luar, itu menjadi mu’awiqat, menjadi penghambat tersendiri di dalam menuntut ilmu, sebab dia mesti fokus, dia mesti mengurangi, ini secara umum.
Nah, tapi di sini saya akan membicarakan tentang pertemanan, sebab pertemanan mau enggak mau orang harus berteman dalam hidup ini, enggak mungkin ada orang hidup sendirian seorang diri, pasti dia harus berinteraksi dengan orang-orang yang di sekitarnya. Setiap orang juga membutuhkan teman, makanya dikatakan,
“Perlu kamu menjaga hubungan saudara, antara teman temanmu, saudara saudaramu. Karena itu seperti orang yang berjuang untuk pergi berperang tanpa senjata.”
Pertemanan itu juga memiliki pengaruh yang besar, orang yang memiliki teman dan dia banyak berdiskusi, banyak membicarakan tentang pelajaran, apalagi orang yang kadang kala kita suka dan kagum kepada seseorang dan kita sering berdiskusi dengannya, maka itu sangat berpengaruh. Dan itu penting, makanya orang yang hidup tidak normal, hidupnya bertemanan hanya di dalam sosial media, temanya cuma di Facebook, di Instagram, di Tiktok, enggak ada teman di dunia nyata, itu ruwet urusan.
Di sini saya akan membicarakan tentang bagaimana mencari teman, di mana teman itu menjadi teman mulazamah, teman yang benar-benar erat hubungannya dengan kita, benar-benar dekat dan sering duduk dengan kita. Saya dalam kesempatan ini akan membicarakan tentang pembahasan yang ringkas, tentang pertemanan dan pengaruhnya terhadap seseorang, khususnya penuntut ilmu.
Tidak diragukan lagi kepada setiap orang yang berakal, bahwasanya manusia itu merupakan Ibnu Biathi, anak dari lingkungannya. Jadi kalau pengin mengetahui seseorang, maka dilihat lingkungannya seperti apa, baik di dalam karakter dan sifat-sifat, kebiasaan. Biasa shalat berjamaah tepat waktu, dengan orang yang membiasakan diri atau yang tidak peduli tentang shalat berjamaah. Maksudnya tepat waktu, shalat berjamaah Takbiratul Ihram ma’al Imam, disertai dengan takbiratul-ihram bersama imam. Dan dia suka seperti itu, artinya orang itu sebelum iqamah dia sudah siap di situ. Temannya orang-orang seperti itu, sepanjang hidupnya dia akan begitu. Tapi kalau nyantai, shalat tidak penting, maka selamanya juga akan seperti itu.
Nah, di tempat-tempat yang tidak ditekankan hal ini, juga akan begitu. Makanya perlu penekanan agar menjadi karakter, kebiasaan, wawasan dan pemikiran. Itu tergantung orang yang hidup di tempat, misalnya di Mesir, di Hadramaut, atau di tempat-tempat penuntut ilmu. Dan dia memang benar-benar hidup dengan orang penuntut ilmu, maka akan berpengaruh cara berpikirnya, akan berpengaruh cara pandangnya. Dia memang bisa memilih, mencari lingkungan seperti apa, mencari teman seperti apa, akan tetapi manusia enggak bisa lepas daripada lingkungan itu. Dia bisa memilih, namun untuk tidak berteman dalam hidup ini, adalah suatu hal yang mustahil. Mau hidup seorang diri gitu dalam rumah, enggak mungkin. Dia mesti memiliki teman di dalam kesehariannya.
Nah, tapi dia bisa memilih teman yang mana yang dia temanin, orang yang semacam apa yang akan mempengaruhi hidupnya. Dan tidak bisa dipungkiri akan pengaruh seseorang yang berakal dengan tabiat seseorang. Jangankan begitu, beliau menyebutkan di sini tentang urusan tempat saja, kalau kita di Indonesia, antara karakter orang yang hidup di pegunungan, dengan orang yang hidup di pinggir pantai itu berbeda. Cara pandang dan gaya hidup orang yang hidup di kota, dengan orang yang hidup di pedesaan itu juga sangat berbeda. Jadi ini pengaruh hidup, artinya pengaruh lingkungan yang bersifat tabiat saja itu mempengaruhi.
Di sini mengumpamakan bahwa orang yang hidup di padang pasir atau di gunung-gunung—gunung-gunung yang ada di Arab maksudnya di sini—tentu berbeda dengan orang yang hidup di tempat-tempat yang hijau, seperti Indonesia atau seperti tempat yang banyak tumbuh-tumbuhannya, itu pasti berbeda. Contohnya seorang penyair yang hidup di kelompok yang jahiliah, itu terkesan lebih kasar dan keras, baik pemilihan lafaznya ataupun ungkapan-ungkapan, padahal ini seorang penyair. Kenapa? Karena dia hidup di lingkungan yang keras, hidupnya di padang pasir, di pegunungan dengan yang memiliki karakter yang bejat dan kaku begitu. Para penyair jahiliah itu beda dengan penyair yang dia hidup di lingkungan yang hijau, yang sudah tenang, yang maju, itu berbeda.
Contohnya seperti penyair yang ada di Andalusia—dulu sebelum Andalus menjadi Spanyol. Banyak para penyair, seperti Ibnu Hazm misalnya, itu seorang filosof, pinter, faqih. Pada saat yang sama beliau penyair penyuka sastra, mengarang buku tentang cinta namanya Thuqul Hamama fil-Hubbi wal-Isyqi wal-Ulfa. Dia mengutip cerita-cerita dan macam-macam, padahal faqih dalam Mazhab Maliki—Mazhab Maliki ini cenderung tekstual, karena ber-i’timad kepada hadis dan amalan Ahlul Madinah. Tapi keberadaan Ibnu Hazm berada di lingkungan yang berbeda, mempengaruhi beliau menjadi sosok yang lembut. Sebaliknya orang-orang jahiliah yang ada di sekitar Hijaz, di Hadramaut masa lampau, syair-syairnya perang, syair-syairnya darah dan kekerasan, begini begitu.
Jadi itu gambaran bahwa manusia itu terpengaruh dengan apa yang ada di sekitarnya. Contoh di sini Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Nabi Muhammad dengan lafaz-lafaz yang hampir sama, artinya berdekatan lafaznya. Dikatakan:
أَلَا إِنَّ القَسْوَةَ وغِلَظَ القُلُوْبِ فِي الْفَدَّادِيْنَ؛ عِنْدَ أُصُوْلِ أَذْنابِ الْإِبِلِ ، حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنَا الشَّيْطَانِ؛ فِيْ رَبِيْعَةَ وَمُضَرَ
Sikap keras hati dan kasar, itu berada di dalam para penggembala-penggembala yang menggembala unta—dalam riwayat yang lain الفخر و الخيلاء) (. Tapi sebaliknya orang yang tenang kalem adalah mereka yang suka menggembala kambing. Makanya nabi itu ngembala kambing, awal-awalnya. Bahkan beliau mengatakan,
مَا مِن النَّبيِّ الَاّ وَ يَرْعَى الغَنَمَ
“Tidak ada seorang nabi pun melainkan mereka pasti menggembala kambing.” (HR. Imam Bukhari)
Nah, ini tabiatnya berpengaruh, kalau pengembala unta orang agak sombong, iya kan? Karena unta itu hewan yang gede besar, sebaliknya kambing kecil sehingga apa yang mau disombongkan? Orang yang menggembala kuda beda, penunggang kuda gagah-gagah. Itu nabi yang mengatakan seperti ini, kenapa begitu? Sebab makna daripada faddadin ini jelas, mereka itu adalah orang yang menggembala kuda ataupun onta, para penggembalanya yang pemiliknya ataupun mengembalanya, dari orang-orang kampung, mereka memiliki sifat yang keras memiliki sifat sombong, sebagai bentuk bahwa dia terpengaruh.
Sama juga orang yang suka makan, ada di satu wilayah itu suka bebek, bukan sekali-sekali makan bebek tapi tiap hari. Akhirnya model mentalnya kayak mental bebek. Orang yang makannya misalnya sayuran vegetarian, enggak makan daging, juga akan berpengaruh. Jadi segala sesuatu itu ada pengaruhnya di dalam hidup, kalau hewan saja bisa mempengaruhi. Nabi memastikan orang yang menggembala atau orang yang memiliki kambing, dengan orang yang memiliki unta dan kuda itu berbeda. Orang yang suka menggembala kambing pasti orangnya santun, orangnya tenang, tidak gampang emosi, bisa untuk menjaga emosinya.
Sempat ada sebuah penelitian, anak yang hidup di apartemen di kota-kota atau tumbuh di lingkungannya itu, dengan anak yang hidup di kampung-kampung, itu ternyata di dalam mental, di dalam fisik, itu lebih baik orang yang hidup di kampung-kampung. Meskipun seharusnya orang yang hidup di apartemen lebih mewah, lebih bersih, lebih terjaga. Ternyata orang yang mainnya pasir, kadang di kanan kiri sampah, mainnya petak umpet entah lari ke mana ketemunya sama tikus. Tapi subhanallah mereka yang seperti itu hidupnya dalam penelitian itu disebut lebih sehat, dibandingkan dengan manusia yang hidup di tempat-tempat yang mewah seperti itu.
Nah, ini manusia juga terpengaruh dengan orang yang hidup di lingkungan yang indah dan yang bagus, dengan orang yang hidup di lingkungan yang sebaliknya. Yang dilihat tembok aja, kalau disini kan bisa lihat sungai. Makanya dikatakan, “Dan manusia akan terpengaruh dengan hayawan yang dia hidup dengannya.” Bagaimana hidup dengan seseorang yang dia selama hidupnya bersama dengan hewan, secara keilmuan, pikiran, tradisi dan akhlak.
Biasanya orang yang suka hidupnya majlas, ya sudah hidup dan temannya orang-orang yang suka majlas-majlas, ngumpulnya di situ. Orang yang sukanya baca, hidupnya dengan orang-orang yang suka baca, dan seterusnya. Dia akan nyambung dan ngeklik. Yang hidupnya bercanda ya sudah bercanda terus, sukanya berteman dengan orang-orang yang bercanda. Dan tidak bisa disambung, dia akan bilang kepada orang yang suka bercanda kepada temannya, “Jangan, dia serius banget orangnya.” Sebaliknya orang yang suka bercanda dipandang oleh orang yang serius, “Ini orang ma kebangetan, hidupnya bercanda mulu.”
Nah, ini pengaruh bagaimana memilih teman. Kadangkala kita ini terpengaruh bisa cepat, bisa tidak. Makanya sering saya ceritakan, bagaimana al-Habib Ali Al-Habsyi ketika beliau belajar sama ayahnya di Makkah. Beliau tidak boleh berjumpa dengan siapapun, meskipun harus belajar dan pergi ke Kakbah. Ke Kakbah mau ibadah, mau shalat, mau thawaf, engak dikasih, “Tunggu Abah.” Kenapa? Karena takut terpengaruh orang lain.
Orang betapa banyak di pondok rajin banget, serius banget, belajar banget. Pulang sebulan, balik udah pusing mikirin teman yang di rumah, akhirnya enggak betah minta pulang. Kan banyak seperti itu? Artinya, betapa pergaulan itu memiliki pengaruh, pertemanan itu memiliki pengaruh. Apalagi orang yang tanpa proteksi sama sekali, udah kebuka aja, berteman dengan siapa saja, tidak khawatir dengan keadaan dirinya. Dia membuka diri kepada orang yang suka mabuk-mabukan, terpengaruh narkoba. Akhirnya diceritakan hal yang macam-macam, cepat itu pengaruhnya. Bukan enggak berpengaruh, cepat pengaruhnya.
Makanya Imam Haddad itu pernah mengatakan memandang ahlud–dunya saja, memandang orang-orang yang hubbud–dunya dan sibuk dengan urusan dunia, itu dapat mematikan hati. Bagaimana kalau nyampur hidup dengan orang-orang semacam itu, apakah isinya dunia semua?
Dan di antara hadis yang menerangkan dan hal yang berpengaruh di dalam pertemanan, ada beberapa pekerjaan yang ringan tapi berpengaruh, di mana nabi mengajarkan kepada kita dengan sabdanya,
لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا يَأْكُلُ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ
“Janganlah engkau berteman, kecuali dengan orang mukmin. Dan jangan ada yang memakan makananmu, kecuali orang yang bertakwa.” (HR. Imam Ahmad bin Hanbal)
Kadangkala orang itu diajak makan awalnya, “Ayo kita makan-makan.” Akhirnya dia terpengaruh dengan melihat gaya hidupnya yang macam-macam. Orang yang tadinya enggak merokok, ketika menyaksikan orang-orang merokok, menikmati rokoknya, menikmati kopinya, tertarik itu. “Kayaknya ajib juga itu,” Akhirnya pengin ngerokok.
Tapi kalau dari awal sudah punya komitmen dalam hidupnya, “Enggak, rokok itu membunuh, rokok itu merusak,” Dia ketemu dengan orang merokok jaga jarak, yang dijaga bukan pergaulannya, yang dijaga hatinya, yang dijaga pikirannya. Ini ketemu dengan teman-temannya yang dulu, teman-temannya sudah pegang gitar, pakai anting-anting, “Kayaknya enak banget nih hidup kayak gitu.”
Sudah di pondok enak-enak, malah pengin pakai anting. Ini kan karena itu namanya adalah pengaruh. Makanya makan sekalipun, padahal makan pekerjaan yang singkat, yang sebentar, cuma ada pengaruh. Makanya nabi melarang, kalau mau makan dengan orang yang baik. Mentang-mentang diajak ke restoran, mentang-mentang di pondok, “Oh di pondok makanya sayur mulu, sampai kayak apaan.” Katanya. Padahal di pondok makan nasi kebuli, kadang makan, meskipun seminggu sekali atau sebulan sekali.
Dipanggil sama temannya, “Restoran mahal enak,” Dia akhirnya terpengaruh, menyaksikan ikut serta temannya, begini begitu. Mengerjakan pekerjaan kadang yang keluar dari adab, yang keluar dari syariat. Tadinya dia enggak peduli, akhirnya cenderung, akhirnya terpengaruh. Makanya kata nabi, “Jangan sampai engkau itu makan, kecuali bersama dengan orang yang bertakwa.”
Di sini ditegaskan, bahwasanya makan bareng itu saja, saling memberi makan itu memiliki pengaruh. Janganlah engkau makan di tempat, kecuali dengan orang-orang yang bertakwa. Dulu orang-orang menganggap, bahwasanya memberi makan itu sama dengan radha’, di mana dikatakan,
إِنَّ الرَّضَاعَ يُغَيِّرُ الطِّبَاعَ
“Sesungguhnya susuan itu dapat mempengaruhi terhadap lingkungan.”
Dapat mempengaruhi tabiat, makanya betapa banyak orang-orang saleh kemudian punya anak, tapi dilihat anaknya enggak saleh. Apa penyebabnya? Karena terpengaruh oleh lingkungan, dia enggak hidup di tempat orang tuanya. Misalnya dia kawin dengan keluarga yang tidak mengenal agama, kawinnya dengan Ahlid–Dunya, sibuk dengan urusan dunia, akhirnya dia melahirkan anak yang dilihat berbeda dengan dirinya, padahal dia adalah orang saleh, dia orang yang baik. Itu bisa saja terjadi, kenapa? Terpengaruh lingkungan!
Kalau lingkungan ini tidak mempengaruhi seseorang, maka enggak ada itu anak-anaknya ulama yang bodoh, tidak ada itu anak-anaknya ulama yang bejat, enggak ada. Enggak ada anak-anaknya Habaib yang tidak benar, pasti benar semua. Kenapa? Karena asalnya bagus. Tapi belakangan, akhirnya terpengaruh dengan lingkungan, terpengaruh dengan macam-macam. Nah, ini pentingnya betapa kita mesti mencari teman yang baik.
Dikatakan, di antara adab penuntut ilmu itu harus meninggalkan pergaulan, sebab meninggalkan pergaulan itu merupakan hal paling penting yang semestinya di lakukan penuntut ilmu. Terutama berteman dengan orang yang bukan jenisnya, maksudnya mereka yang lain jenis, kalau lain jenis ya bukan hanya wala siyama, haram. Maksudnya di sini bukan jenis penuntut ilmu, terutama bukan para santri. Temannya, mohon maaf bukan kita mau merendahkan, misalnya pengamen, ya enggak jadi belajar. Santri bertemannya dengan orang-orang yang ada di jalanan, ya enggak jadi!
Terutama orang yang banyak bercandanya, banyak main-mainnya, dan tidak banyak berfikir. Sebab thabiat itu mencuri, bisa ketularan. Makanya dulu disebutkan al-Habib Ali al-Habsyi itu bilang, kalau ngajar beliau berkata, “Cari guru yang benar, sebab kalau penyakit lahir saja itu bisa menular, gimana penyakit hati penyakit batin?” Jadi kalau punya guru, misalnya gurunya berpenyakitan hati, ahli takabur, ahli hasad, ahli ahli ini ahli itu, maka itu akan berpengaruh. Penyakit koreng aja ngumpul bisa menular apa enggak? Satu aja punya penyakit gatal-gatal, sepondok gatal-gatalnya semua. Makanya mesti jaga kebersihan, kasihan orang lain. Fahimtum?
Sedangkan sisi negatif pergaulan itu adalah menghilangkan waktu yang tanpa faedah, na’udzubillah, wal-’iyazubillah. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita orang-orang yang selektif di dalam mencari teman baik di pondok ini. Meskipun sesama di pesantren, tapi yang ini suka membuli, akhirnya dia ikut-ikutan suka juga, akhirnya berpengaruh kepada yang lain. Yang ini suka melanggar, ya sudah ikut-ikutan. Yang ini suka enggak ikut shalat berjamaah, kalau shalat berjamaah telat. Nah, itu masih telat, apalagi kelasnya sudah kelas tinggi, akhirnya yang bawahan ikut.
Sebaliknya kalau kita melihat teman rajin, sudah sehari-hari pakai Bahasa Arab, sehari-hari pegangannya kitab. Orang yang tadinya enggak bisa Bahasa Madura, keluar dari sini pintar Madura. Itu namanya suraqah, nyuri tabiat. Orang yang tadinya enggak bisa bahasa Betawi, enggak bisa bahasa Banjar, pulang-pulang pintar bahasa Banjar, pulang-pulang bisa bahasa ini. Tapi bahasa Arab kaggak bisa, padahal seharusnya keluar dari pesantren sudah pintar bahasa Arab. Bahasa yang lain gampang, kalau pengin pintar Bahasa Madura udah kawin aja sama orang Madura. Fahimtum? Mudah-mudahan Allah berkahi kita semua.
Al fatihah ila hadratin nabi muhammadin shalallahu ‘alaihi wa sallam Al fatihah….
selengkapnya : https://www.youtube.com/watch?v=Lzvpwne6tVY