
Alhamdulillah wash-Shallallahu wasallama ‘ala sayyidina rasulillah Muhammad ibni Abdillah wa ‘ala alihi wa sahbihi wa man walah
Di sini dikatakan, maka lihatlah terhadap jawaban mereka, betapa baligh-nya, betapa luar biasanya jawaban mereka. Dalam hal ini menjelaskan jawaban mereka: “Diam, kamu enggak punya guru!”
Artinya orang yang tidak punya guru di dalam sebuah bidang keilmuan, maka itu tidak dianggap. Orang yang hanya autodidak, belajar melalui kitab. Padahal dikatakan:

قَدْ ضَلَّ قَوْمٌ بِالْكُتُبِ، لَا يَقُوْمُ الرِّجَالُ إِلَّا بِالرِّجَالِ
Kata Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad: “Banyak orang yang tersesat gara-gara kitab, seseorang itu bisa dikatakan bisa berdiri sendiri itu tentu adalah orang-orang yang sesama manusia.”
Jadi kalau hanya mengandalkan kecerdasan, tanpa adanya guru yang membimbingnya, maka ilmunya tidak bisa dipercaya. Sehingga seorang yang mengklaim dirinya seorang Mufti, sebab dia menguasai bermacam-macam kitab fikih, tapi tidak ada Mufti sebelumnya yang mengukuhkan bahwa dia adalah seorang Mufti, maka itu tidak bisa dikatakan sebagai seorang Mufti. Nanti akan dijelaskan di sini.
Dan di sini dikatakan, seandainya dia memiliki seorang guru, maka dia akan membuatnya memiliki pemahaman ilmu fikih dengan sesuai atau hakikat ilmu fikih. Ini yang kami maksud dengan ucapan kami kepada para thalib ilim, tuntutan terhadap thalib ilim untuk talaqqi, artinya mengambil ilmu dari guru. Apa maksudnya? Dia akan mendapatkan ilmu yang bersih, yang jernih, yang sudah ditahqiq. Jadi tidak cukup hanya sekedar membaca.
Adapun dasar atau asal dari jawaban ini, itu merupakan hal yang sudah dulu, yang sudah menjadi budaya, bahwa ilmu itu harus dengan talaqqi. Kalau itu dengan kitab, bagaimana dengan yang hanya Hatibul-Lail, seperti orang yang memungut sesuatu di malam hari. Disebut dengan Hatibul-Lail, orang yang mencari kayu bakar di malam hari, dapat atau tidak, pokoknya apa saja diambilnya. Sehingga kadangkala enggak tahu itu sampah, apa itu kayu bakar, atau yang lain, dan seterusnya.
Dan ini terbukti di zaman sekarang, orang yang mengklaim dirinya ulama, atau merasa dirinya menguasai satu fan ilmu, padahal dia hanya mengambil dari internet, enggak pernah belajar dan tidak ada seseorang yang mengakui dirinya. Misalnya mengaku dirinya ahli fikih tapi dia enggak pernah belajar fikih, terus tidak ada seorang ahli fikih sebelumnya yang mengakui dirinya bahwa dia telah mencapai martabat keahlian. Maka ini yang terjadi saat ini.
Di antara yang diriwayatkan, yang berpendapat seperti ini adalah Imam Abu Hanifah, bahwa ilmu itu harus dilakukan dengan talaqqi, harus mempunyai guru. Bukan guru ijazah! Sekarang orang memburu sanad, katanya ketemu sini, ke situ. Belajar sanad kesini kesitu. Orang yang mencari sanad sekedar ijazah, itu adalah orang yang sudah memiliki kemampuan yang mutamakkin di dalam sebuah keilmuan.
Misalnya dia dalam ilmu hadis, dia sudah banyak menguasai ilmu secara riwayah dan dirayah, dia ambil itu semua dari seorang guru yang memang bidangnya, baru dia belajar atau dia mengambil sanad untuk menguatkan sanadnya. Jadi lebih dari sisi fan, dari sisi kesempurnaan, bukan dari sisi yang primer, yang pokok, yang prioritas, bukan sanad itu.
Seperti penyakit dari pada penuntut ilmu zaman sekarang, lebih memprioritaskan untuk mendapatkan sanad dari guru-guru, apalagi gurunya adalah seorang yang terkenal biar menisbahkan dirinya kepadanya, padahal dia enggak belajar dari guru itu dengan belajar yang sesungguhnya. Apalagi hanya ketemu lewat internet atau lihat di Youtube, atau hadir sekali dua kali majelisnya dapat ijazah, sudah selesai. Enggak cukup itu.
Jadi semestinya memang dia belajar kepada guru tersebut, secara totalitas, secara pemikiran, secara Manhaj, baru dia dianggap belajar. Sehingga ditemukan orang yang hanya ingin menisbahkan kepada seseorang dikarenakan kadang kala karena keterkenalan, karena dia yang viral, biar dibilang muridnya Fulan, misalnya. Dia nisbahkan, padahal dirinya tidak pernah belajar, dia hanya cuman hadir, atau dapat ijazah. Atau bahkan mungkin pernah hadir, tapi enggak peduli dengan apa yang disampaikan oleh gurunya tersebut, sehingga menyimpang kadang kala dari apa yang diajarkan oleh gurunya. Ini sering terjadi bilamana kita tidak selektif, kita tidak benar-benar di dalam menuntut ilmu. Makanya nanti dijelaskan di sini.
Pernah suatu saat dibilang kepada Abu Hanifah, bahwa di masjid terdapat sebuah halaqah, yang mereka membahas tentang ilmu fikih, melakukan diskusi dan ada kepalanya, ada yang mengepalain dalam diskusi itu. Kata Imam Abu Hanifah: “Enggak, mereka enggak punya fikih sama sekali.” Mereka enggak punya fikih, padahal membahas, seolah-olah berdiskusi, Bahtsul Masail, padahal kagak pernah ngurusin ilmu fikih. Nah ini barometer, keilmuan seseorang.
Di sini dia enggak pernah belajar, enggak pernah duduk dengan guru, belajar dalam satu fan ilmu sesuai dengan tingkatan dan tangga-tangganya. Misalnya ilmu fikih, dia mulai dari hadis atau dari matanSafinatun-Najah, Risalatul-Jamiah, Sulamut-Taufiq, naik lagi Abi Syuja, naik lagi terus Muqaddimah Hadramiyah, naik lagi terus sampai Minhajut-Thalibin, baru itu disebut dengan seorang yang belajar. Dan dia dengan belajarnya, bukan dengan membaca, karena membaca itu hanya sekedar lewat begitu saja. Kadang kala terlewatkan banyak hal dan faedah yang berharga, tapi kalau duduk di depan seorang ulama yang menerangkan satu persatu, maka di situlah hakikat ilmu.
“..Enggak ada itu, enggak bisa ngajarin fikih, ngerti fikih enggak bakalan.” Sebab yang ngajarnya bukan seorang ahli fikih, atau bukan orang yang pernah belajar ilmu fikih. Jadi banyak kejadian-kejadian seperti itu, bahkan seseorang yang belajar ilmu fikih dengan benar, ketika berjumpa dengan seorang ahli hadis, itu dijawab dengan beberapa jawaban yang luar biasa. Maka si Ahli Hadis itu bertanya, “Apa dasar kamu menjawab seperti ini?”
Dijawab, “Dasarnya adalah hadis yang engkau riwayatkan kepadaku, begini, begitu hadisnya.”
Kok bisa? Padahal dirinya yang memiliki dalil itu, seorang ahli hadisnya. Hanya saja karena dia belajar secara spesifik di dalam sebuah fan ilmu, maka jadilah seperti itu. Fahimtum?
Di dalam kitab Is’af al-Mubatha’, yang dikarang oleh Imam Suyuti, Ishaq bin Muhammad al-Farwi pernah berkata Imam Malik: “Apakah sebuah ilmu bisa diambil, dipelajari dari seseorang yang dia enggak pernah belajar dan tidak pernah duduk bersama para ulama, dengan seorang ulama di dalam ilmu tersebut?”
Enggak pernah belajar sejarah, tidak pernah belajar Ilmu Tafsir, tahu-tahu dia ngajar tafsir? Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, seperti yang pernah kita baca. Itu beliau seorang yang jenius, kejeniusannya luar biasa. Suatu saat beliau ada orang yang pengin belajar ilmu ‘Arudh—sebetulnya ilmu ‘Arudh ini ilmu yang gampang, yang cepat untuk dipelajarinya. Maka beliau datangin satu orang ulama yang ahli dalam ilmu itu, “Tolong ajarin saya sedikit.”
Yang jelas dengan kejeniusan yang dimiliki oleh Imam Ibnu Hajar. Tapi meskipun begitu, beliau masih butuh untuk diajarkan, baru setelah diajarkan kebuka. “Oh begini maksudnya.”
Setelah itu beliau pelajarin, baru beliau ngajar, karena ada orang yang minta belajar sama beliau. Artinya seorang Ibnu Hajar tidak serta-merta, karena tidak memiliki sebuah keahlian di dalam satu fan, beliau langsung mengajar. Enggak! Mesti mencari seorang guru yang ahli di dalam bidang tersebut. Fahimtum?
Makanya di sini kita banyak dipelajari segala fan-fan di dalam marhalah tertentu, tujuannya agar kita mengenal dan belajar kepada guru yang memang pernah mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Di sini ada ilmu Nahwu, ilmu Fikih, ilmu Balaghah, ilmu Tafsir, dan ilmu-ilmu yang lain. Baik sifatnya adalah ilmu pokok, ilmu syariat seperti ilmu Hadits riwayah, Ilmu Tafsir atau Ushulut-Tafsir. Ataupun yang sifatnya alat, ilmu Ushulul-Fiqh, ilmu Ushulul-Lughah dan lain sebagainya.
Itu semua agar kita mengenal paling tidak, sehingga di saat kita mengenal dan pernah belajar, ketika kita mau mengembangkan, baik itu melalui belajar dengan sendirinya, asalkan telah memiliki kuncinya. Atau lebih memperdalam kepada seorang ulama, itu akan lebih gampang dan mudah di dalam mempelajari.
Jadi kenapa kita di sini mesti mengerti bermacam-macam fan, di mana sebetulnya sulit untuk menguasai, menguasai satu fan ilmu itu dengan cara yatasyattut, dengan cara tidak fokus. Belajar ini belum kelar sudah belajar ini, belajar ini belum kelar sudah belajar ini. Enggak apa-apa, tujuannya diantaranya adalah agar kita mengenal. Yang kedua, agar kita tidak bosan, bisa jadi orang kalau cuman belajar nahwu aja tiap hari, sumpek akhirnya enggak dapat, bosan atau akhirnya meremehkan.
Makanya kurikulum di sini ada yatalawwan, tujuannya? Agar kita menguasai dan pendalaman. Ya tergantung kita bagaimana, agar kita mendalami setiap ilmu yang telah kita pelajari. Fahimtum?
Ishaq bin Muhammad al-Farwi berkata bahwa Imam Malik ditanya: “Apakah ilmu itu bisa diambil dari orang yang tidak memiliki guru?” Enggak!
“Apakah juga bisa diterima dari orang yang bisa dipercaya, dia bertakwa, enggak nakal, tapi dia enggak cerdas, tidak paham dan tidak hafal?” Enggak, enggak bisa. “Ilmu itu hanya bisa diambil dari orang yang menghafal. Dan dia telah belajar, berjumpa dengan orang-orang yang ahli di dalam bidang tersebut. Dia paham, dia mengetahui, mengamalkan, dan dia memiliki sifat wara.”
Kalau enggak wara’, maka tidak bisa dipercaya ilmunya. Itu yang diucapkan oleh al-Imam Malik seputar sebuah ilmu. Di zaman kita sekarang, orang bicara tentang nasab wala (nggak) pernah belajar tentang ilmu nasab, wala pernah ngerti. Apalagi tradisi kita di negeri ‘ajam seperti ini, itu tidak ada tradisi nasab, kurang diperhatikan. Meskipun di beberapa keluarga tertentu, seperti para keluarga bangsawan, keluarga-keluarga Raja mungkin punya perhatian. Tapi secara umum, itu sesuatu yang tidak diperhatikan sama sekali, beda dengan orang Arab. Kalau orang Arab mereka memiliki perhatian terhadap hal ini, mulain dari para sahabat, para raja, para Mufti dan lain sebagainya.
Nah, di zaman kita sekarang ada orang enggak ngerti, walapernah belajar ilmu tersebut kepada seseorang, dan tidak ada orang yang mengakui kepakaran dia di dalam ilmu tersebut, terus dia langsung berani meng-itsbatkan atau menafikan, menetapkan atau meniadakan sebuah nasab. Ini suatu kekonyolan di dalam intelektual. Namun karena audiensinya, yang disasar adalah orang awam, maka gampang dikelabuhin, orang yang penting bisa di freming, digiring opininya, ya sudah jadi. Akhirnya jadi gorengan dan jadi fitnah di akhir zaman ini. Fahimtum? Makanya dikatakan:
مَنْ تَكَلَّمَ بِغَيْرِ فَنِّهِ أَتَى بِالْعَجَائِبِ
“Seseorang orang yang ngomong bukan dalam bidangnya, yang keluar darinya adalah hal-hal yang aneh.”
Dari situ dikatakan, bahwa orang yang mencari ilmu dari tulisan-tulisan—dari kitab maksudnya—maka dia akan sesat dan menyesatkan. Imam Nawawi berkata: “Orang yang melihat satu masalah, di dalam 10 kitab—jadi ada satu masalah, dia telaah masalah tersebut melalui 10 kitab kitab ini, kitab itu, kitab fikih dari bermacam-macam mazhab, 10 kitab dia baca—maka enggak boleh dia berfatwa.”
Tidak boleh dia berfatwa, karena dikhawatirkan, dimungkinkan bahwa kitab-kitab tersebut berdasarkan qaul atau pendapat yang lemah, atau metodologinya yang lemah. Fahimtum?
Itu yang diucapkan oleh seorang Imam Nawawi. Jadi mesti belajar, mesti punya guru. Bagaimana orang-orang yang menyombongkan diri, memproklamirkan dia hanya memiliki satu syaikh, bahkan syaikhnya itu bukan dengan talaqqi, tapi hanya dengan ijazah apalagi. Dia hanya dapatin ijazah, belajar secara otodidak.
Ada satu guru, saya dengar dia bercerita tentang muridnya, “Saya punya murid luar biasa. Dia dateng kepadaku, dia datang pengin belajar. Saya tentukan, ‘Kalau kamu datang belajar kepadaku, antara Maghrib dan Isya saja.’
Maka orang ini datang setelah Shalat Ashar. Setiap selesai Shalat Ashar dia datang ke rumahku, dan dia itu tidak bergerak ketika sudah duduk, tidak bergerak sama sekali. Bahkan kalau saya enggak ada, atau saya masih di dalam sibuk, karena duduk di ruang tamu dia menghadapkan dirinya ke tembok, agar tidak melihat keluargaku, istri ataupun anaknya. Ini berlangsung sampai kurang lebih 5 tahun lamanya, enggak pernah ghaib, enggak pernah ini. Saya sampai bingung, “Itu benar enggak nih cerita?” Artinya di zaman kita sekarang ada enggak? Dia sebut, ada! Dan alhamdulillah, sekarang orang ini sudah menjadi orang besar di Saudi, kata dia.
Tapi bagaimana kesungguhan seseorang di dalam talaqi di dalam belajar. Bukankah mereka itu, orang-orang yang belajar tanpa ilmu itu—kata Syaikh Muhammad Awwamah—bukankah mereka yang telah memporak-porandakan, yang mencerai-beraikan persatuan para penuntut ilmu, dan para pemuda kaum muslimin, membid’ahkan, mengkafirkan, menyesatkan seenaknya. Kalau enggak sesuai dengan dirinya, divonis salah. Dari mana timbulnya? Ya dari orang-orang yang mengajar tanpa punya ilmu ini, atau berbicara tentang satu ilmu yang tidak melalui seorang syaikh. Fahimtum?
Kemudian ngerusak kitab-kitab Sunah. Imam Bukhari, Imam Muslim ini sudah shahih, terus dia bikin hadis-hadis shahih sendiri dalam Shahihul–Bukhari–Muslim. Siapa ente? Berani menghukumin? Ada di zaman kita sekarang ini, akhirnya terjadilah kekacauan, faudhah di kalangan penuntut ilmu. Fitnah di bawah slogan mengamalkan al-kitab was-sunnah. Ia yang menghukumin Imam ad-Daruquthni, menghukumin Imam Ibnu Majah.
Ini Imam Tirmidzi sudah menghasilkan sebuah hadis, bahwa hadis ini: “Qala haditsun shahih,” atau “hasan shahih”. Lalu dia bilang, “Enggak, ini enggak shahih. Karena dasarnya begini, begitu.” Waduh ente siapa? Lailahaillallah. Sehingga dia bikin kitab-kitab fikih dalam madzahibul-arba’ah yang ada berdasarkan dengan hadis sahih. Dia bilang kasih judul: “Yang shahih dari shalatnya nabi.”
“Adapun cara-cara shalat yang diajarkan oleh madzahibul-arba’ah banyak yang menyimpang.” katanya. Lailahaillallah ini orang. Nah, ini kenapa? Karena enggak punya guru. Ada tukang jam belagak dirinya sebagai seorang ahli hadis, akhirnya ngaco. Padahal dia cuma baca di perpustakaan-perpustakaan, baca makhthuthat seenaknya, karena tidak melalui sebuah proses di dalam talaqqi. Seandainya saja ia belajar dengan benar. Dan alhamdulillah, zaman sekarang sudah banyak yang menerapkan belajar talaqqi yang semacam ini.
Banyak yang menyayangkan sebagian para ulama ketika ilmu itu ditulis, didokumentasikan. Tadinya ilmu itu enggak ditulis, mengandalkan hafalan. Dipelajarinya itu berdasarkan talaqqi, bukan dengan membaca. Akhirnya setelah ditulis, banyak yang menyayangkan, sebab dengan keberadaan kitab-kitab itu akan melemahkan semangat orang untuk belajar dari para guru.
Imam Baihaqi dan Imam ad-Darimi meriwayatkan sebuah ucapan dari Imam al-Auza’i—Imam al-Auza’i ini seorang imam yang luar biasa, guru daripada Abdullah bin Mubarak yang berada di Syam di Bairut, di Lebanon. Imam al-Auza’i ini pernah berkata: “Ilmu ini masih mulia ketika diambil (talaqqi), dipelajarin oleh orang-orang yang hebat. Hingga ketika ilmu itu masuk di dalam lembaran-lembaran (maka tidak mulia lagi).”
Tadinya ilmu itu sesuatu yang langka, yang mahal. Akhirnya karena sudah berada di lembaran-lembaran (ditulis), sudah enggak mulia lagi, enggak begitu berharga lagi. Kenapa? Karena sebab masuk orang-orang yang bukan ahlinya. Orang awam, artis ngomongin tentang hukum Islam. Youtuber, karena tujuannya biar untuk mengangkat follower-nya, ngomong menentang ulama, mencaci ulama. Lailahaillallah. Yang dengerin orang awam, mengiyakan aja. “Oh iya, masuk akal juga ya omongannya.” Ya Allah, orang awam, enggak punya neraca, tidak punya ukuran di dalam mengukur sesuatu. Nah, itu faudhah di dalam menuntut ilmu.
Di samping talaqqi—sebab talaqqi doang enggak cukup. “Wah saya sudah belajar,” Tapi enggak pernah menghafal, enggak pernah mendiskusikan ilmunya. Meskipun dia rajin hadir, tapi enggak cukup itu. Harus memiliki perhatian yang kuat, fokus, dan tamak di dalam keilmuan. Ketika pagi-pagi dia sudah semangat, otaknya itu gimana caranya bangun tidur fresh, dan otaknya gimana mendapatkan ilmu dan faedah. Itu penuntut ilmu. Fahimtum? Sami’tum?
Jadi mereka berdesakan, bersungguh-sungguh, orang-orang terdahulu itu. Tidak tersistem seperti sekarang, masih mengandalkan terhadap keinginan sendiri, tidak ada ujian, enggak ada. Mereka itu mungkin ketika diuji ketika sudah akan diangkat menjadi seorang Mufti, maka mufti-mufti yang ada berkumpul dan menanyakan beberapa masalah. Ketika dia menjawab dan memuaskan mufti-mufti yang ada, maka dia diakuin sebagai seorang Mufti. “Oh, ini sudah layak menjadi seorang Mufti.”
Dan tentu diketahui secara personal, ketakwaannya. Tentu ini tidak akan didapatkan kalau hanya belajar dari internet, apa yang ada di sosial media itu 180 derajat berbeda dengan dunia nyata. Orang bisa pencitraan, bisa begini begitu di saat di media sosial, tapi kalau kenyataannya ya berbeda. Ini fitnah di akhir zaman, perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya, yang semuanya tidak ada artinya. Akhirnya yang kafir semakin kafir, yang ahli maksiat semakin maksiat, sebab para ulamanya hanya sibuk ngurusin perdebatan yang tidak berarti, perdebatan yang sifatnya sensitif, “Ini lebih utama sama ini, itu gimana?” Padahal kita pengen utama di sisi Allah, kita ingin membawa umat ini semakin tercerahkan, semakin bersungguh-sungguh. Na’am.
Imam Ibnu Abdil Bar meriwayatkan kepada tiga orang dari orang-orang mulia, tokoh-tokoh keilmuan. Siapa saja? Al-Imam Malik, Sulaiman at-Taimi, dan Sulaiman bin Habib al-Muharibi. Mereka semua itu meriwayatkan sebuah wasiat yang disampaikan oleh Lukman al-Hakim kepada anaknya yang berbunyi:
يَا بُنَيَّ، جَالِسِ الْعُلَمَاءَ، وَزَاحِمِهِمْ بِرُكْبَتَيْكَ؛ فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَيُحْيِي القُلُوْبَ بِنُوْرِ الْحِكْمَةِ، كَمَا يُحْيِي الْأَرْضَ الْمَيْتَةَ بِوَابِلِ السَّمَاءِ
“Wahai putraku, anakku. Duduklah dengan para ulama dan dekatin, berdesakan dengan mereka dengan kedua lututmu—artinya benar-benar duduk di depan mereka—sebab Allah menghidupkan hati dengan hikmah, sebagaimana Allah menghidupkan tanah yang mati—yang gersang bisa hidup, bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan—dengan hujan.”
Dari mana kita mendapatkan hikmah? Ya dari para ulama, duduk dengan mereka, belajar dan mempelajari, mendapatkan kunci-kunci dari mereka. Hingga pada akhirnya, ini proses untuk menjadi ulama yang beneran. Makanya judul kitab ini disebut dengan,
مَعَالِمُ إِرْشَادِيَّةِ لِصِنَاعَةِ طَالِبِ الْعِلْمِ
“Petunjuk-petunjuk, rambu-rambu untuk mencetak ulama, untuk mencetak para penuntut ilmu yang hakiki.”
Jadi ilmu ini di dapati dengan belajar, tidak cukup hanya dengan ijazah, tidak cukup hanya dengan hadir majelis-majelis, tanpa dia muraja’ah, tanpa kitab, enggak ada itu. Enggak cukup! Ente hadir majelis-majelis, mustami’ hanya dengerin doang, yang tidak jelas maudhu’-nya, apa isi ceramah-ceramahnya. Terus akan mencetak ulama? Meskipun ente 10 tahun hadir di majelis itu, enggak bakalan. Kenapa? Karena tidak manhajiyah, itu hanya majelis berkah, agar orang terjaga imannya, mahabbahnya, agar masyarakat awam atau masyarakat umum tidak sesat. Itu disebut dengan majelis tadzkir, majelis mau’idzah, majelis untuk mengingatkan.
Adapun yang mencetak ulama, ya harus bawa kitab, duduk talaqqi, menghafal, membahas, mudzakarah, baru akan melahirkan para ulama. Fahimtum? Pun juga tidak cukup dari internet download sebanyak-banyaknya, atau baca kitab doang, meskipun punya kemampuan, memiliki kejeniusan. Enggak cukup menjadi seorang ulama, mesti belajar dengan sungguh-sungguh, punya guru yang memang gurunya mutqin di dalam bidang tersebut. Makanya lihat ucapan-ucapan Abu Hanifah, jadi hal yang terjadi saat ini, ya gara-gara ini. Fahimtum? Wallahu A’lam bish-Shawab…
Nasalullaha al-Afiah was-Salamah was-Sadad wa Yulhimana ar-Rusyda Lima Yuhibbuna wa Yardhahu, wa Ila Hadratin-Nabi Muhammadin Shallallahu Alaihi wa Sallam wal-Hamdulillah. Alfatihah…
selengkapnya : https://www.youtube.com/watch?v=1vxrzA2oG2I