
Surat Luqman ayat 18 merupakan nasihat berharga dari Luqman kepada anaknya tentang pentingnya akhlak mulia, khususnya dalam menjauhi kesombongan dan menjunjung tinggi ketawaduan. Pasalnya, kesombongan adalah sifat tercela yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam dosa dan kemurkaan Allah. Orang yang sombong merasa dirinya lebih tinggi daripada orang lain dan tidak mau mengakui kekurangannya. Allah berfirman:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ
“Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.”
Tafsir Al-Misbah
Menurut Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah, surat Luqman ayat 18 merupakan nasihat Luqman kepada anaknya tentang akhlak dan sopan santun dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Nasihat ini diawali dengan larangan untuk memalingkan wajah dari manusia karena sombong. Luqman menasihati anaknya untuk selalu menunjukkan wajah yang berseri dan rendah hati kepada semua orang, tanpa pandang bulu.
Lebih lanjut, Luqman melarang anaknya berjalan di muka bumi dengan angkuh. Ia menganjurkan untuk berjalan dengan lemah lembut penuh wibawa, menunjukkan kesederhanaan dan keanggunan dalam langkah. Hindari berjalan tergesa-gesa atau terlalu lambat, dan jaga nada suara agar tidak meninggi bagaikan teriakan keledai yang dianggap sebagai suara terburuk.
Nasihat Luqman ini bukan hanya tentang tata krama, tetapi juga mencerminkan akhlak mulia seorang muslim yang rendah hati, penuh kasih sayang, dan senantiasa menjaga kesopanan dalam berinteraksi dengan sesama. Hal ini sejalan dengan ajaran akidah Islam yang menekankan pentingnya akhlak karimah sebagai bagian integral dari keimanan. (Prof. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2002], Jilid XI, halaman 138-139).
Dengan menggabungkan materi akidah dan akhlak dalam pengajaran, Luqman ingin menunjukkan kepada anaknya bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan. Akhlak mulia merupakan manifestasi dari keimanan, dan keimanan yang kokoh akan melahirkan akhlak yang terpuji.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda tentang larangan untuk saling membenci dan membelakangi orang lain, karena merasa lebih baik, dari orang tersebut. Nabi bersabda:
قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
“Telah menceritakan kepadaku [Anas bin Malik] radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki, saling membelakangi, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari.” (HR. Imam Bukhari)
Imam Munawi dalam kitab Faidul Qadil menjelaskan dalam kitab Al-Aridah, dijelaskan bahwa istilah “at-tadabur” merujuk pada sikap berpaling atau menjauh satu sama lain. Sikap ini dapat terjadi secara fisik, seseorang membelakangi temannya secara langsung dengan tubuh mereka. Selain itu, “at-tadabur” juga bisa bermakna secara konseptual, dalam artian seseorang menjauh dalam hal keyakinan, pandangan, dan ucapan.
Dengan kata lain, “at-tadabur” mencakup dua aspek utama, yaitu fisik dan non-fisik. Secara fisik, ini berarti secara nyata setiap individu membelakangi yang lain. Sementara itu, secara non-fisik, ini mengindikasikan perbedaan atau konflik dalam hal keyakinan, pendapat, dan kata-kata yang diucapkan, menunjukkan adanya jarak atau perpecahan dalam hubungan interpersonal maupun pemikiran.
قال في العارضة : التدابر أن يولي كل منهم صاحبه دبره محسوسا بالأبدان أو معقولا بالعقائد والآراء والأقوال
“Dalam kitab Al-Aridah, disebutkan bahwa kata ‘at-tadabur’ berarti setiap orang berpaling dari temannya, baik secara fisik dengan tubuh mereka atau secara konseptual dengan keyakinan, pandangan, dan ucapan mereka,” [Imam Munawi, Faidul Qadir, [Beirut: Darul Ma’rifah,1972], Jilid III, halaman 123].
Tafsir Marah Labib
Sementara itu, Syekh Nawawi Banten, dalam kitab Tafsir Marah Labib, Jilid II, halaman 238 menjelaskan bahwa ayat 18 ini mengandung dua makna. Pertama, maksud ayat ini merupakan larangan untuk merendahkan dan menghina orang Muslim. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai fundamental Islam yang menjunjung tinggi persaudaraan dan kesetaraan di antara kaum muslimin. Pun, sikap tercela ini, dapat memicu permusuhan dan perpecahan di antara umat Islam.
Kedua, maksud Surat Luqman ayat 18 adalah larangan sombong. Ayat ini melarang umat Islam untuk memalingkan wajah dari orang lain karena kesombongan, dan berjalan di muka bumi dengan angkuh. Kesombongan dan membanggakan diri merupakan sifat yang dibenci oleh Allah SWT.
Orang yang sombong menunjukkan kebesaran dirinya kepada orang lain, seolah-olah dirinya lebih tinggi dan lebih baik. Mereka merasa superior dan memandang rendah orang lain. Sedangkan orang yang membanggakan diri merasa puas dengan diri sendiri dan tidak mau mengakui kekurangannya. Mereka terjebak dalam rasa superioritas dan lupa diri.
Kedua sikap ini, sombong dan membanggakan diri, merupakan penyakit hati yang berbahaya. Sifat-sifat ini dapat menjauhkan kita dari Allah SWT dan mengantarkan kita kepada kehancuran. Oleh karena itu, penting untuk selalu menjaga diri dari kesombongan dan membanggakan diri. Umat Islam harus selalu rendah hati dan bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah SWT.
وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ أي لا تعرض وجهك من الناس تكبرا. ويقال: لا تحقر فقراء المسلمين وَلا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحاً أي اختيالا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتالٍ فَخُورٍ (١٨) فالمختال من يكون به خيلاء، وهو الذي يري الناس عظمة نفسه، وهو التكبر والفخور، من يكون مفتخرا بنفسه، وهو الذي يرى عظمة نفسه وهو التكبر والفخور من يكون مفتخرا بنفسه وهو الذي يرى عظمة لنفسه في عينه
“[Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia], Janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia karena kesombongan. Ada yang mengatakan: Jangan merendahkan orang-orang miskin di antara kaum Muslimin. [Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh], yakni dengan kesombongan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri (18). Maka, orang yang sombong adalah yang memperlihatkan kebesaran dirinya kepada orang lain, dan ini adalah bentuk kesombongan. Dan orang yang membanggakan diri adalah yang merasa bangga dengan dirinya sendiri, yakni orang yang melihat kebesaran dirinya dalam pandangannya sendiri.”
Tafsir Al-Munir
Dalam Tafsir Al-Munir karya Syekh Wahbah Zuhaili, pada Jilid XXI halaman 144, ayat 18 dari Surat Luqman memiliki munasabah yang menarik dengan ayat-ayat sebelumnya. Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah SWT menerangkan tentang kerusakan keyakinan orang-orang musyrik, yang digambarkan sebagai zalim dan sesat. Mereka menolak kebenaran meskipun tanda-tanda kebesaran Allah SWT sudah sangat jelas. Ayat ini menunjukkan kesesatan dan kezaliman mereka melalui penilaian hikmah dan ilmu yang membimbing manusia untuk mengakui keesaan Allah SWT. Hal ini penting meskipun tidak ada seorang nabi atau rasul yang hadir di antara mereka.
Luqman al-Hakim merupakan contoh nyata dari seseorang yang berhasil mencapai kesimpulan tentang tauhid, ketaatan kepada Allah SWT, dan komitmen terhadap akhlak mulia tanpa melalui seorang nabi atau rasul. Ia mencapai hikmah dan kebijaksanaan yang membawanya kepada pengakuan akan keesaan Allah SWT dengan pemikiran dan pengamatan yang mendalam.
Kisah Luqman ini menjadi bukti bahwa pengetahuan dan hikmah yang benar dapat membawa seseorang kepada kebenaran meskipun tanpa bimbingan langsung dari seorang nabi atau rasul. Ini menunjukkan bahwa petunjuk Allah SWT melalui alam semesta dan akal yang sehat cukup untuk mengarahkan seseorang kepada kebenaran.
Dalam konteks ini, Allah SWT mengisyaratkan pentingnya mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Meskipun ada hal-hal dalam agama yang tidak dapat dinalar dengan akal, mengikuti Nabi Muhammad SAW adalah bentuk ketaatan dan ketundukan mutlak kepada Allah SWT. Apalagi dalam hal-hal yang dapat dipahami dan dinalar, ajaran Nabi Muhammad SAW harus diikuti dengan penuh keyakinan. Kisah Luqman ini mempertegas bahwa kebenaran dan hikmah Allah SWT dapat diterima dan dipahami oleh akal manusia, dan mengajak umat untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW dengan sepenuh hati. Terkait tafsir ayat 18 ini, Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan ayat ini mengajarkan nilai-nilai kesopanan dan kerendahan hati dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Sejatinya, seorang Muslim tidak boleh memalingkan wajah atau membuang muka ketika berbicara dengan orang lain.
Tindakan seperti itu mencerminkan kesombongan, keangkuhan, dan sikap merendahkan orang lain. Seseorang seharusnya tidak menunjukkan perilaku sombong yang membuat orang lain merasa tidak dihargai atau diabaikan. Sebaliknya, seorang Muslim harus bersikap tawadu (rendah hati), menunjukkan keramahan dan sikap bersahabat kepada semua orang.
Selanjutnya, tafsir ini menekankan pentingnya tidak meremehkan atau menghina orang lain. Sikap berbicara dengan memalingkan wajah atau menunjukkan ekspresi yang merendahkan adalah cerminan dari keangkuhan. Syekh Zuhaili mengingatkan bahwa sikap sombong dan meremehkan hanya akan menciptakan jarak dan perpecahan di antara sesama.
Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk selalu bersikap rendah hati dan menghargai martabat setiap individu, tanpa memandang status atau kedudukan mereka. Sikap ini mencerminkan nilai-nilai luhur Islam yang mengajarkan kasih sayang dan penghormatan terhadap sesama manusia.
Syekh Zuhaili juga mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Dzarr al-Ghiffari yang melarang manusia untuk sombong dan takabur. Nabi bersabda:
لا تَحْقِرَنَّ مِنَ المَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ وَوَجْهُكَ إِلَيْهِ مُنْبَسِطٌ، وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ، فَإِنَّهَا مِنَ المَخِيلَةِ، وَالمَخِيلَةُ لا يُحِبُّهَا اللهُ
“Janganlah kamu meremehkan suatu kebajikan, sekecil apapun itu, bahkan jika itu hanya berupa menampilkan wajah yang ceria ketika bertemu saudaramu. Dan janganlah kamu membiarkan ujung bawah pakaianmu lebih rendah di bawah pergelangan kakimu karena itu adalah salah satu bentuk kesombongan, dan Allah SWT tidak menyukai kesombongan.” (HR Muslim)
Dengan demikian, ayat 18 dari Surat Luqman melanjutkan wasiat bijak Luqman kepada anaknya dengan menekankan pentingnya memiliki budi pekerti yang baik. Dalam ayat ini, Luqman mengingatkan anaknya untuk tidak bersikap angkuh dan sombong. Sikap seperti itu dapat menampakkan diri melalui perilaku yang membanggakan diri dan meremehkan orang lain.
Luqman memperingatkan bahwa tanda-tanda kesombongan terlihat dari cara seseorang berinteraksi dengan orang lain, seperti memalingkan muka saat bertemu dengan mereka dan enggan untuk menyapa atau menunjukkan sikap ramah. Sikap ini mencerminkan hati yang penuh dengan kesombongan dan keangkuhan, yang seharusnya dihindari agar kita bisa hidup harmonis dengan sesama.
Dalam konteks ini, Luqman mengajarkan anaknya agar senantiasa menghormati orang lain dan tidak menganggap diri lebih tinggi daripada mereka. Dengan menjaga sikap tawadu dan menghargai orang lain tanpa memandang status atau kedudukan orang lain. Wasiat ini adalah pengingat yang penting untuk membentuk akhlak yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam.
Penulis : Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, Tinggal di Ciputat.
_________________________________________________________________________
Sumber: https://islam.nu.or.id/tafsir/tafsir-surat-luqman-ayat-18-larangan-sombong-dalam-islam-FUuxQ