
Alhamdulillah wash-Shalatu was-Sallamu Ala Sayidina Rasulillah Muhammad ibni Abdillah wa Ala Alihi wa Shahbihi wa Sallam…
Sayidina Abdullah bin Abbas merupakan contoh yang sempurna, bagaimana berteman atau menjadi seorang murid sejati. Itu Sayidina Abdullah bin Abbas merupakan contoh panutan, berguru disertai dengan adab, dengan etika. Beliau duduk di depan rumah shahabat Nabi—seperti saya ceritakan kemarin. Zaid bin Tsabit, Sayidina Abdullah bin Abbas belajar kepadanya, termasuk orang yang cerdas, memiliki ilmu yang luar biasa cerdas. Pernah Zaid bin Tsabit ini pernah disuruh oleh Rasulullah untuk belajar bahasa Yahudi, bahasa Ibrani. Maka kata beliau, “Saya mempelajarinya selama 15 hari, 15 hari saya sudah menguasainya.”
Sehingga bilamana ada surat-surat dengan bahasa tersebut, yang merupakan bahasanya orang Yahudi, maka nabi tidak perlu memanggil penerjemah, cukup shahabat beliau. Pun kalau beliau ingin menulis, ditulisnya. Sehingga beliau betul-betul menguasai. Termasuk ahli Faraidh yang sangat hebat, dan guru daripada Sayidina Abdullah bin Abbas. Berguru dengan sungguh-sungguh, berguru dengan serius.
Sayidina Abdullah bin Abbas ketika belajar itu, kadang sampai dipenuhin debu, karena duduk nunggu gurunya. Duduk di depan pintunya, sampai ketika Zaid bin Tsabit keluar, beliau menanyakan: “Wahai sepupu Rasulullah, kenapa enggak engkau ketok pintu?
Kata Sayidina Abdullah: “Enggak, saya enggak mau mengganggu dirimu. Jadi apa yang ingin beliau pelajari dari guru-gurunya tersebut, “Enggak, saya enggak mau mengganggu dirimu, takut.” Nah, begitu seterusnya. Itu dilakukan oleh banyak para ulama.
Syaikh Abu Bakar bin Salim misalnya, juga begitu ketika beliau mendatangi Syaikh Umar Bamakhramah, ingin belajar kepada beliau. Kadang ditinggalin, hujan, panas, debu. Dibiarin di depan pintunya, sampai kadang beberapa hari, baru keluar gurunya itu. Tapi Syaikh Abu Bakar bin Salim bersabar, demi untuk berjumpa dan mengambil faedah dari orang yang beliau yakini.
Di Hadramaut itu ada Syekh al-Habib Ali bin Abdullah Assegaf, di Sewun beliau itu. Pergi ke India untuk belajar kepada gurunya, al-Habib Muhammad bin Abdullah bin Syekh al-Aydrus, seorang ulama besar. Sampai di India, di Surath namanya, beliau belajar di situ, sampai di rumahnya. Enggak dihiraukan, dibiarin sama gurunya, bahkan enggak dipersilakan masuk. Yang lain murid-muridnya masuk, beliau dibiarin, kadangkala di depan rumahnya.
Bahkan ketika orang pada makan, bekas dari cuci piring, cuci tangan itu dikumpulkan jadi satu, kemudian pura-pura, “Coba siramkan sama orang yang di depan pintu tuh, biar dia pergi.” katanya. Disiramin itu bekas comberan gitu bekas makanan, al-Habib Ali bin Abdullah bersabar, karena tujuannya adalah ingin mengambil faedah. Tahu akhirnya gurunya dan dipersilakan masuk, maka menjadi murid utamanya, menjadi murid yang luar biasa.
Nah ini contoh nyata, bagaimana para ulama tidak mau ketinggalan daripada gurunya, ingin selalu mendapat faedah dari gurunya dari banyak hal, bukan hanya sekedar ucapan-ucapan dan pelajaran yang diucapkan, tapi dari ahwal-nya. Ini Syekh Muhammad Awwamah bercerita, tentang ketika beliau ngarang kitab ini, beliau masih mulazamah kepada gurunya, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, seorang muhaddist, seorang ulama. Kata beliau, suatu saat saya ikut sama beliau, shalat tarawih di Masjid Quba’ di Madinah—kebetulan keduanya ini merupakan dosen di Jami’ah Islamiyah di Madinah—akhirnya shalat. Sekarang Syekh Muhammad Awwamah di Turki, karena kondisi kayaknya kurang berkenan ada di Madinah, mudhayaqat. “Saya ngarang kitab tentang adab ikhtilaf itu, kemudian saya mengutip ucapan salah seorang imam yang mengatakan begini,
مَذْهبيْ خَطَاءٌ يَحْتَمِل الصَّوَابَ، وَمَذْهَبُ غَيْرُنَا صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَاء
Kata gurunya, ‘Kamu ini kebalik, bukan seperti itu. Mazhab kami benar, tapi bisa kemungkinan salah. Mazhab orang lain salah, tapi kemungkinan benar.’
Jadi jangan dibalik, sebab yang kita yakini dan itu yang kita amalkan, karena kita meyakini misalnya kita pengikut Mazhab Syafi’i, Mazhab Syafi’i adalah yang benar dalam pandangan kita dan keyakinan, kita Mazhab Syafi’i adalah mazhab yang paling kuat, dalil-dalilnya paling lengkap, cara beristinbath-nya menggunakan logika yang rasional, tidak bertentangan dengan nash-nash, diikuti oleh banyak imam, baik dalam imam mazhab , baik dalam berbagai imam ahli hadis, ahli tafsir, ahli Nahwu dan ulama-ulama besar, Para dai-dai ikut dalam Mazhab Syafi’i. Makanya kita ikut Mazhab Syafi’i misalnya, dasarnya seperti itu. Tapi bukan berarti kita menganggap sesat mazhab yang lain, karena bisa jadi mazhab mereka juga ada benarnya dan seterusnya.
Itu cara menyikapi ikhtilaf, cara menyikapi ikhtilaf di kalangan para ulama. Sehingga nanti kalau kita semakin menyelami, terutama di dalam furu’ul fiqhiyah, kita akan menemukan banyak pendapat yang beraneka ragam. Jangan heran kalau ke Makkah itu orang bermazhab macam-macam, ada orang yang kalau shalat sambil gendong anak, kadang anaknya masih kecil pakai Pampers, kan kalau mazhab kita batal. Kadang kala juga ada orang shalatnya enggak pakai Bismillahir-Rahmanir-Rahim, tapi langsung Alhamdulillahi Rabbil–Alamin, itu di dalam mazhab Maliki. Kemudian juga ada yang shalat dengan banyak bergerak, shalatnya bergerak-gerak seenaknya. “Wah ini batal dalam mazhab kita.”
Namun itu semua kekayaan di dalam syariat Islam, sehingga tidak merepotkan seseorang di dalam beribadah kepada Allah, tapi bukan untuk seenaknya. Dalam mazhab Abu Hanifah itu bersentuhan dengan bukan mahram enggak batal wudhu, sehingga kita tawaf misalnya nyentuh orang lain enggak batal wudhunya, nyentuh ajnabiyah enggak membatalkan wudhu.
Nah, kalau kita berpegang teguh kepada Mazhab Syafi’i zaman sekarang, di mana tempat wudhu jauh di Makkah itu, kalau tawaf sudah selesai kurang satu putaran, eh tahu-tahu disentuh orang. Akhirnya wudhu lagi, enggak selesai-selesai dan seterusnya. Tapi karena ada beraneka ragam mazhab. Nah ini kita akan mendapati hal-hal tersebut, ketika kita banyak suhbah, banyak belajar dan berteman dengan para guru, menyaksikan mereka.
Sayidil Habib Umar itu bahkan kadang kala berfatwa dan memerintahkan murid-muridnya untuk taqlid kepada pendapat bahkan keluar dari Madzahibul-Arba’ah. Madzahibul Arba’ah enggak ada yang berpendapat seperti itu, tapi dalam kondisi tertentu al-Habib Umar mengatakan itu ada mazhab yang memperboleh, akhirnya disuruh mengikutinya. Ini kekayaan di dalam fikih, kita akan tahu itu semua ketika kita sering belajar dan ikut kepada guru. Di sini nanti akan disebutkan, bagaimana beliau kalau sudah keluar baru dia ikutin, dia temenin dan dia tanya banyak hal, dia belajar.
Sayidina Abdullah bin Abbas kepada Zaid bin Tsabit tidak mengetok pintu, nabi mengatakan tentang Zaid bin Tsabit ini. Bahkan Abdullah bin Abbas ketika ibunya meninggal, ibunya Zaid bin Tsabit meninggal mau dikubur, beliau ngikut melayatnya dan ketika akan dikubur Zaid bin Tsabit ikut naik kuda, kudanya beliau yang pegang. Abdullah bin Abbas, sepupu Nabi Muhammad, seorang alim yang luar biasa. Ketika sampai di kuburan, ketika beliau naik kuda dari rumahnya mau ke kuburan, kata Zaid bin Tsabit “Jangan begini, jangan begini.”
“Enggak, tetap akan saya lakukan,
هَكَذَا أُمِرْناَ بِعُلَمَائِنَا
“Beginilah kami diperintah untuk menghormati dan takzim kepada ulama kami, kepada guru-guru kami.”
Akhirnya ketika sampai di pemakaman, Zaid bin Tsabit turun dan dipegang oleh Abdullah bin Abbas, turun dari punggung kudanya beliau cium tangan Abdullah bin Abbas, dan beliau mengatakan
هَكَذَا أُمِرْناَ بِأَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّنَا
“Beginilah kami diperintah untuk menghormati keluarga nabi kami.”
Jadi mereka saling hormatin, saling memuliakan. Makanya Manhaj kita, Manhaj cinta kepada Ahlul Bait, keluarga Nabi Muhammad, juga cinta kepada shahabat. Dua-duanya merupakan orang terdekat Nabi Muhammad, Ahlul Bait adalah keluarga Nabi, Shahabat adalah para sahabat nabi, teman-teman nabi, hasil didikan Nabi Muhammad.
Sehingga seperti hari ini, hari Asyura misalnya, sebagian daripada umat Islam mengenang Imam Husein yang wafat pada hari ini, itu Sayidina Husein wafat syahid pada hari ini, pada 10 Asyura. Beliau dibantai, bahkan wafatnya pun sangat mengenaskan, di satu tempat yang disebut dengan Karbala, di satu tempat (karb wa bala’), orang mengatakan kesedihan dan bencana.
Itu di Karbala, itu sebetulnya Imam Husein tadinya beliau di Madinah, saat itu ada surat dari orang-orang Kufah bahwa mereka ingin membai’at Imam Husein. Mereka ingin membaiat Imam Husein menjadi khalifah, karena mereka mengadukan kekejaman Yazid bin Muawiyah. Yazid itu sangat kejam, membunuh Imam Husein. Akhirnya Imam Husein saat itu tawaf, tawaf sunah, enggak di diselesaikan tawafnya. Langsung beliau pergi. Sayidina Abdullah bin Abbas menasihatinya, termasuk Abu Hurairah, untuk tidak keluar ke Irak, karena dikhawatirkan dikhianati oleh orang-orang Irak.
Beliau telah mengirim Muslim bin Aqil, salah seorang dari sepupu beliau. Muslim bin Aqil berangkat ke Kufah, ternyata oleh orang Kufah, yang mewakili Imam Husein untuk menerima bai’at orang-orang Kufah, malah dibunuh. Kuburannya ada di Kufah, dekat kuburan Sayidina Ali bin Abi Thalib, dekat istananya Sayidina Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Sayidina Ali itu dikubur di Najf namanya, sekitar satu atau 2 jam. Saya pernah ziarah ke sana. Itu Imam Husein berangkat, akhirnya Sayidina Abdullah bin Abbas mengatakan pamitan, “Saya titipkan engkau kepada Allah dari kesyahidan.”
Dan Imam Husein itu waktu masih kecil ketika beliau bermain, ada istri Nabi, Ummu Salamah meriwayatkan, ketika Husein sedang bermain, tahu-tahu beliau melihat tanah yang ada di situ merah, sehingga Rasulullah mengatakan, “Anakku ini akan menjadi Sayidus-Syuhada.”
Dan itu direkam oleh Ummu Salamah, riwayat itu direkam. Dan tentu Imam Husein tahu bahwa beliau akan mati syahid. Akhirnya beliau berangkat bersama dengan para pengikutnya, para keluarganya, kebanyakan Ahlul Bait nabi. Keluar semuanya, anak-anak beliau, anak-anak dari saudara beliau Imam Hasan juga ikut. Tapi di tengah jalan, Imam Husein tahu bahwa suasana tidak mendukung. Maka beliau mempersilakan para pengikutnya untuk pulang, beliau mengatakan, “Kalian telah kami batalkan bai’at kalian. Yang mau pulang silakan, enggak usah pulang.”
Tapi akhirnya Imam Husein pergi, singkat ceritanya beliau dibantai, dibunuh semua keluarganya, dibunuh kecuali yang perempuan. Dan tersisa satu, itu Imam Ali Zainal Abidin, putra beliau, Ali al-Ausath. Beliau punya anak namanya Ali itu tiga, ada Ali Akbar, ada Ali Asghar, dan ada Ali Ausath. Ali Ausath itu adalah Imam Ali Zainal Abidin. Nah Ali Ausath saat itu beliau enggak ikut perang, karena sakit menggigil (humma).
Akhirnya oleh bibiknya, Sayidah Zainab saudara daripada Imam Husein, putri daripada Sayidah Fatimah. Dijaganya saat itu Sayidah Zainab, ada putra beliau yang bernama Ali al-Asghar masih kecil itu kena panah. Sehingga Sayidah Zainab sempat keluar, beliau lupa enggak pakai kerudung karena ngelihat keponakannya yang masih bayi itu kena panah. Kata Imam Husein, “Masuk kamu. Biarkan Zainab, biarkan dia. Kamu akan menjadi fitnah di kalangan kaum muslimin.” kata beliau. Karena lupa pakai kerudung. Ya wajar, orang namanya kondisi yang begitu mencekam.
Akhirnya Imam Husein memeluk Ali al-Ashgar dan dibawanya, akhirnya wafat meninggal. Dan Imam Husein meninggal dalam keadaan haus, karena di Karbala itu ada sungai tempat sumber air gitu, dikuasai oleh ibn Ziyad pemimpin pasukan saat itu. Sehingga Imam Husein sangat kehausan, beliau di bunuh, beliau di ditombak, beliau dipanah, banyak luka, udah kehausan. Beliau berkata, “Tolong kasih saya minum.”
“Enggak. Enggak boleh. Jangan dikasih minum. Biarin dia kehausan.”
Meninggal dalam keadaan kehausan. Akhirnya ada yang enggak sabar, langsung memenggal kepalanya Imam Husein, sehingga terpisah antara kepala dengan jasadnya. Nah kekuasaan Bani Umayah saat itu ada di Syam, ada di Damaskus. Dibawa oleh Ibnu Ziyad, kepalanya Imam Husein itu dibawa ke Damaskus, sedangkan jasad beliau dikubur di Karbala. Itu kejadian terjadi pada bulan ini, sehingga sebagian daripada kelompok di dalam Islam ini senantiasa meratapi, meratapi kejadian ini. Sehingga ketika masuk Bulan Muharram terutama pada hari Asyura, mereka memperingati dengan cara menyakiti diri mereka sendiri, kebanyakan dari mereka dulu adalah ahli Irak. Dan sampai hari ini mazhab mereka adalah mazhab itu orang-orang Irak, karena menyesalin dengan perbuatan, karena meninggalkan Imam Husein yang dibantai di depan mata kepala mereka, sedangkan yang mengundang Imam Husein adalah mereka, giliran Imam Husein di bantai semuanya diam. 70 orang daripada keluarga dan sahabat-sahabatnya terbunuh saat itu, dibantai dengan sedemikian sadis.

Akhirnya untuk memperingati itu, mereka memukul diri mereka sendiri, melukai diri mereka sendiri atau melukai orang lain, menganggap bahwa itu adalah tebusan dosa. Padahal kalau kita umat Nabi Muhammad Ahlusunah Wal Jamaah, tidak juga berpesta pora di hari ini, di hari Asyura, dengan girang atas kematian al-Husein. Bayangin coba, mereka umat Nabi Muhammad, umat Nabi Muhammad. Kemudian membunuh cucu Nabi Muhammad, kan sebuah hal yang tidak masuk nalar, tidak masuk akal, perlakuan yang dilakukan mereka.
Nah, tapi bukan berarti kita harus hidup meratapi atau menyesali, sebab agama kita dibangun bukan dengan dasar pesimisme, dasar dendam, tapi dasarnya adalah optimisme. Nabi Muhammad itu diutus oleh Allah hari Senin, dilahirkan hari Senin, wafat juga hari Senin, tapi kita tidak memperingati hari wafatnya Rasulullah, kita tidak memperingati. Yang kita peringati adalah lahirnya Nabi Muhammad. Nah ini Ahlusunah Wal Jamaah, antara Ifrad wa tafrid, tidak masuk kepada Nawashib yang membenci Ahlul Bait, juga tidak termasuk Rawafidh yang benci kepada shahabat Nabi Muhammad. Kita mengikuti kedua-duanya, kita mencintai kedua-duanya, kita berada di dalam tonggak yang benar, tetap menjalankan ajaran, kasih sayang, bahkan kepada orang-orang yang memusuhin kita, sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad.
Di hari Asyura ini banyak hal yang disunahkan, di antaranya berpuasa. Ada yang puasa hari ini? Kemudian di hari Asyura ini juga disunahkan untuk mandi, juga disunahkan untuk ziarah silaturahim kepada orang alim, kemudian juga beberapa sunah yang lain. Kemudian memperbanyak al-’iyal—ada dua pendapat, ada yang mengatakan maksudnya memberi atau menyantuni lebih untuk anak-anak, untuk keluarga. Ada yang mengatakan ‘iyalitu adalah orang-orang miskin, kemudian menyantuni anak yatim, menyayangi dengan mengelus kepala anak-anak yatim.
Itu kesunahan-kesunahan yang ada di dalam bulan Asyura ini. Dan kita melaksanakan itu semua bukan karena kita senang dengan wafatnya Imam Husein, dengan syahidnya Imam Husein. Dan kita yakin Imam Husein sudah menghadap kepada Allah dengan riang gembira, tapi kita di sini adalah melaksanakan sunah Baginda Nabi Besar Muhammad. Nah, dengan belajar lebih serius, lebih sungguh-sungguh.
Di sini dikatakan, dan mengikuti dengan Abdullah bin Abbas dan para shahabat, murid daripada Imam Malik, namanya Abdurrahman Ibnul Qasim, dan nantinya akan menjadi khalifah Imam Malik. Di antaranya ketika beliau bercerita tentang dirinya di dalam biografi beliau dituliskan, “Saya itu sering mendatangi Imam Malik. Saya kadang nanya dua masalah, tiga masalah, empat masalah. Dan saya perhatikan, beliau itu di saat-saat saya nanya dalam kondisi Imam Malik sedang senang, hatinya lagi lapang.”
Bukan pas lagi sumpek, ditanya. Lagi sibuk, ditanya. Itu enggak layak. Tapi seseorang itu harus peka, harus mengerti kondisi ustadznya, kondisi gurunya. Kadang gurunya lagi capek-capek malah datang, malah tambah bikin ribet. Akhirnya jawabannya pun enggak maksimal, jawabannya pun juga tidak maksimal, sekenanya.
“Setiap waktu sahur, tengah malam saya datang. Suatu saat saya duduk di depan rumah beliau itu—misalnya di ruangan tamu—akhirnya saya ketiduran. Saya tidur di situ, di ruang tamu, di majelisnya Imam Malik. Tahu-tahu Imam Malik tanpa saya sadari, karena saya tertidur, beliau sudah pergi keluar ke masjid. Dan Imam Malik punya budak hitam, perempuan jariah. Budak hitam itu datang ngebangunin saya, menginjak saya, nendang saya. Ditendang saya lagi tidur ditendang, dan dia mengatakan, ‘Tuanmu sudah keluar.’ katanya.
“Ayo-ayo, cepat-cepat, bangun!” katanya. “Bukan orang kayak kamu ini. Tuan kamu itu udah keluar duluan, enggak kayak kamu pemalas, enggak kayak kamu suka lalai, kayak gini pemalas.” katanya. Beliau itu Imam Malik sudah 49 tahun tidak shalat shubuh kecuali dengan wudhu isya’-nya, maksudnya. Jadi enggak tidur semalaman, Imam Malik beribadah kepada Allah, atau memperdalam ilmu, “Enggak seperti kamu ini, ngorok tidur.”
Dia marahin begitu, maksudnya budak hitam itu nyangka bahwa Imam Abdurahman ibn Qasim itu seorang budak juga. Kenapa? dari seringnya datang kepada beliau, tiap hari datang ngelayanin, membantu kebutuhan-kebutuhan Imam malik. Hal itu juga karena sering ke situ dan biasanya tidur di depan pintu. Hal itu biasanya dilakukan oleh budak, budak tidurnya di situ. Adapun kalau hanya sekedar menuntut ilmu, belajar menuntut ilmu dan belajar dari seorang guru, setahun, 2 tahun. Itu pun cuman di kelas. Kemudian merasa enggak butuh. Merdeka. Padahal dia cuman belajar setahun, 2 tahun. Dan cuman baca kitab, baca kitab.
Dan seperti apa yang terjadi kepada para penuntut ilmu di zaman kita saat ini, zaman ajaib, zaman yang penuh dengan keanehan. Maka dia enggak akan menjadi seorang Alim, tidak akan menjadi Alim, dan tidak bakalan menjadi Alim. Sukses kalau hanya sekedar begitu, belajar cuman setahun, 2 tahun sudah.
Apalagi zaman sekarang ini, kadang baru tobat, ada artis tobat, ya tobat. Belajar 2, 3 hari udah jadi Dai. Iya kan? Ada preman tobat, ada mualaf masuk Islam, tokoh. Enggak berapa lama sudah jadi Ustadz. Di undang ke mana-mana. Lailahaillallah. Ya karena yang audiensnya sama-sama orang yang enggak berilmu. Ngelantur pun juga didengerin. Zamanul–Ajaib kata beliau. Penuntut ilmu itu tidak cukup setahun, 2 tahun. Membutuhkan waktu yang lama, membutuhkan banyak dinamika.
Imam Abi Darda beliau mengatakan, “Salah satu daripada ahli fikih—artinya pemahaman yang benar seputar agama—seseorang memiliki pemahaman yang benar, keluar masuk artinya ke mana-mana dia senantiasa bersama dengan Ahlul Ilmi. Bukan dengan orang Ahlul Ghaflah.”
Artinya perjalanan dia adalah untuk ilmu, perjalanannya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Nah, ini kita yang dikasih kesempatan oleh Allah untuk belajar, menggunakan kesempatan ini, bersabar di dalam menuntut ilmu. Fahimtum?
Wallahu A’lam bish-Shawab…
selengkapnya : https://www.youtube.com/watch?v=K1RZ7GjN9kU