Nabi Muhammad adalah manusia yang paling pemaaf dan berlapang dada. Pemaaf ini juga merupakan salah satu sifat Nabi Muhammad. Allah berfirman:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”(QS. Ali Imran [03]: 134)

Sehingga di antara akhlak yang mulia adalah memaafkan orang yang berbuat zalim kepadanya. Dalam kitab Makarimul-Akhlak, bahwa di antara bentuk bermuamalah dengan akhlak mulia kepada orang lain ialah jika Anda dizalimi atau diperlakukan dengan buruk oleh seseorang, maka Anda memaafkannya. Karena Allah memuji orang-orang yang suka memaafkan orang lain. Allah berfirman:

وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“Dan jika kamu memaafkan itu lebih dekat kepada takwa.”(QS. al-Baqarah [02]: 237)

Membalas kezaliman dengan pemaafan merupakan bentuk membalas dengan kebaikan, yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”(QS. Fushilat [41]: 34)

Orang yang memaafkan juga dianggap melakukan sedekah. Dari Ubadah bin Shamit, Nabi Muhammad pernah bersabda:

“Tidaklah seseorang yang badannya dilukai oleh orang lain, kemudian ia bersedekah dengan memaafkannya (tidak menuntut diyat), kecuali Allah akan hapuskan dosanya sebanding dengan pemaafan yang yang ia sedekahkan.” (HR. Imam Ahmad)

Oleh karena itu, sifat suka memaafkan merupakan sifat yang seharusnya menjadi tabiat seseorang, dan sifat yang seharusnya dipaksakan oleh seseorang kepada dirinya ketika ia dizalimi. Para ulama mengatakan, bahwa memaafkan itu hukumnya tidak wajib. Seorang yang dizalimi boleh saja tidak memaafkan orang yang menzaliminya. Allah berfirman:

 وَٱلَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ ٱلْبَغْىُ هُمْ يَنتَصِرُونَ . وَجَزَاء سَيّئَةٍ سَيّئَةٌ مّثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ ٱلظَّـٰلِمِينَ

“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”(QS. asy-Syura [42]: 39-40)

Orang yang tidak mampu menahan marah dan cenderung membalas kesalahan orang lain dengan cara yang buruk, kasar dan berwatak temperamen, sejatinya sedang merendahkan diri sendiri. Sebab pelampiasan amarah sering kali melahirkan penyesalan di kemudian hari. Sebaliknya, orang yang terlatih mengendalikan emosi, pemaaf, lembut dan santun, sejatinya telah menjaga diri sendiri dari kehinaan. Rasulullah bersabda:

وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا

“Dan tidaklah Allah menambahkan kepada hamba yang pemaaf, kecuali kemuliaan.” (HR. Imam Muslim)

Inilah salah satu keutamaan sifat pemaaf. Dalam hadis yang lain, Nabi Muhammad mengajarkan Uqbah bin Amir tiga akhlak yang paling utama: “Menyambung tali silaturahmi dengan seseorang yang memutusnya, memberi orang yang tidak pernah memberi, serta memaafkan orang yang berbuat zalim.” (HR. Imam ath-Thabrani)

Selain memberi nasihat dengan kata-kata, Rasulullah juga memberi contoh dan teladan yang nyata, tentang kaitannya dengan keutamaan memberi maaf. Berikut ini beberapa fragmen menarik dari Sirah Nabawiyah yang menunjukkan sifat pemaaf Rasulullah sebagai suri teladan yang baik (Uswah Hasanah).

Pertama, Mendoakan Kebaikan Penduduk Tha’if

Tahun sepuluh setelah terutus (bi’tsah), Rasulullah kehilangan dua sosok yang sangat beliau cintai, yakni istri dan pamannya: Sayidah Khadijah dan Abu Thalib. Setelah peristiwa itu, beliau memutuskan untuk mengunjungi Tha’if, berdakwah dan menyambangi kerabat beliau di sana. Namun bukannya disambut dengan baik, beliau justru dihujani batu. Disiksa, dihina, ditolak mentah-mentah, bahkan diusir! Seakan melengkapi kesedihan ‘ammul-huzni pada waktu itu.

Penduduk Thaif bahkan mengajari anak-anak kecil mereka untuk ikut-ikutan melukai Nabi Muhammad dengan melempari batu. Tumit beliau sampai bersimbah darah. Sayidah Aisyah mengisahkan bahwa Nabi Muhammad mendengar ucapan malaikat gunung yang bersedia menelungkupkan dua gunung kepada penduduk Thaif. Namun Rasulullah menjawab:

“Sungguh aku berharap Allah akan mengeluarkan dari keturunan mereka, golongan yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (Hadis Muttafaq Alaih)

Kedua, Mendoakan Kebaikan bagi Kabilah Bani Daus

Rasulullah pernah mengutus Shahabat Thufail bin Amr ad-Dausi kepada kaumnya, Suku Daus, untuk mengajak mereka masuk Islam. Akan tetapi mereka justru menyakiti, mencela dan menghinanya. Lalu Thufail kembali menemui Rasul dan berkata, “Ya Rasul, doakanlah keburukan untuk mereka.”

Setelah itu beliau mengangkat kedua tangannya, sembari menghadap kiblat. Namun, bukan doa buruk yang dipanjatkan, melainkan doa agar mereka mendapatkan hidayah. (Hadis Muttafaq Alaih)

Ketiga, Memaafkan Orang Badui yang Kencing di Masjid

Diriwayatkan dari Shahabat Anas bin Malik, tatkala kami bersama Rasulullah di masjid, tiba-tiba datang seorang Badui dan kencing di dalam masjid. Para sahabat bertanya, “Apa-apaan orang ini?” Rasulullah lantas bersabda, “Jangan kalian menyelanya, biarkan dia.”

Mereka pun membiarkan orang Badui tersebut sampai hajatnya tuntas. Setelah itu Rasulullah memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya masjid ini tidak layak untuk terkena air kencing, tidak pula kotoran. Akan tetapi, masjid ini untuk tempat berzikir kepada Allah, shalat dan membaca al-Qur’an.” (Muttafaq Alaih)

Lalu beliau memerintahkan salah seorang shahabat untuk mengambil timba berisi air dan mengguyurkannya ke bekas air kencing tersebut.

Keempat, Memaafkan Orang Badui yang Berlaku Kasar

Perhatikanlah sikap mulia yang satu ini, tatkala seorang Badui meminta bantuan kepada Nabi dengan cara yang kasar dan tidak beradab. Nabi saat itu mengenakan selendang buatan Najran yang kasar di bagian tepinya. Orang Badui tersebut menariknya dari belakang, sehingga meninggalkan bekas di leher Nabi.

Shahabat Anas bin Malik yang meriwayatkan kisah ini, menyebutkan bahwa Nabi hanya membalas perlakuan itu dengan tersenyum dan memberikan apa yang diminta orang Badui tadi. (Hadis Muttafaq Alaihi)

Kelima, Memaafkan Abu Sufyan bin Harb

Tokoh kafir Quraisy yang selama ini begitu sengit memusuhi dakwah, bersaksi bahwa Nabi adalah sosok yang murah hati. Saat ia diampuni pada peristiwa Fathu Makkah, Abu Sufyan berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusan bagimu. Alangkah lembutnya hatimu. Alangkah agungnya engkau. Alangkah giatnya engkau dalam menyambung silaturahmi. Alangkah agungnya maafmu.”

Keenam, Memaafkan Abu Sufyan bin al-Harits

Abu Sufyan yang satu ini adalah sepupu Nabi yang berprofesi sebagai penyair selalu mencaci maki beliau. Saat Fathu Makkah, ia berusaha untuk kabur dan berniat mengungsikan anak-istrinya. Namun, Sayidina Ali yang mengetahui hal tersebut mencegahnya, seraya meyakinkan bahwa Rasulullah adalah sosok yang paling murah hati dan paling mulia.

Tidak lupa Sayidina Ali mengajarkan salam kepada Abu Sufyan bin al-Harits, sebagaimana salam yang diucapkan saudara-saudara Nabi Yusuf kepada Nabi Yusuf. Maka Nabi Muhammad pun menjawab salam itu dengan kata-kata Nabi Yusuf (QS. Yusuf []: 92).

Ketujuh, Memahami dan Memaafkan Istri yang Cemburu

Saat Nabi Muhammad sedang berkunjung ke salah satu rumah istrinya, beliau mendapat kiriman makanan dalam sebuah nampan dari istrinya yang lain. Melihat hal tersebut, sang istri yang sedang dikunjungi itu memukul tangan pembantu. Makanan tumpah, nampan terbelah.

Lantas Nabi mengumpulkan belahan nampan dan meletakkan makanan di atasnya, seraya bersabda: “Ibu kalian sedang cemburu.” Saksi mata dari kejadian ini adalah Shahabat Anas bin Malik. (HR. Imam Bukhari)

Kedelapan, Tidak Membalas Abdullah bin Ubay

Orang munafik ibarat duri dalam daging. Di antara gembong munafik yang eksis pada masa Rasulullah adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia pernah bersekutu dengan Yahudi, lari dari perang Uhud, menyebarkan berita bohong tentang Ibunda Sayidah Aisyah, dan masih banyak lagi ulahnya yang merugikan kaum muslimin.

Akan tetapi, meski telah disakiti berkali-kali oleh Abdullah, Nabi Muhammad memilih untuk memaafkan, memberi kain kafan dan menshalati jenazah gembong munafik itu ketika ia meninggal dunia.

Kesembilan, Memaafkan Hathib bin Balta’ah

Hathib bin Batla’ah pernah melakukan kesalahan fatal. Yaitu membocorkan rahasia penaklukkan kota Makkah kepada kaum musyrikin. Wahyu turun dan mengabarkan hal itu kepada Nabi Muhammad. Lantas beliau memanggil Hathib dan menanyainya dengan tenang, “Wahai Hathib, apa maksudnya ini?”

Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, jangan tergesa-gesa memvonisku. Dahulu aku adalah orang yang diikutkan kepada Quraisy dan bukan berasal dari mereka. Aku ingin menjalin hubungan dengan mereka, sehingga mereka menjaga kekerabatanku. Aku tidak melakukan hal itu karena kufur, murtad, atau ridha pada kekufuran.”

Nabi mengapresiasi kejujuran Hathib, meskipun Umar sempat naik pitam dan ingin menebas batang lehernya. Satu keutamaan Hathib yang diingat betul oleh Nabi: beliau adalah veteran Perang Badar. Rasulullah bermurah hati, memahami kondisi Hathib dan memaafkannya.

Kesepuluh, Memaafkan Zaid bin Sa’nah

Sebelum memeluk Islam, Zaid bin Sa’nah adalah seorang Uskup Yahudi. Suatu hari, ia pernah berlaku kasar dan mempermalukan Nabi Muhammad di muka umum. Dia menagih hutang kepada Nabi sebelum jatuh tempo. Dia berlaku kasar kepada Nabi: menarik pakaiannya dan berteriak di tengah khalayak, “Sesungguhnya kalian, wahai Bani Abdul Muthalib, adalah orang-orang yang suka menunda pelunasan hutang.”

Umar membentak Zaid bin Sa’nah dan hendak menangkapnya. Rasulullah hanya tersenyum, tetap tenang dan bersabda: “Hendaknya engkau memerintahku untuk membayar dengan cara yang baik dan memerintahkannya untuk menagih dengan cara yang baik. Pergilah bersamanya, wahai Umar dan penuhilah haknya. Tambahkan untuknya 20 Sha’ kurma sebagai ganti rasa takutnya atas perlakuanmu.”

Demikianlah contoh-contoh konkret sifat pemaaf Rasulullah. Sebagai umatnya, sudah selayaknya kita mengambil hikmah dan ibrah dari kisah-kisah ini dengan menjadikan beliau sebagai role model, dalam mendidik diri menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari. Wallahul-muwaffiq ila aqwamith-thariq.