Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita larut membayangkan hal-hal yang ada di luar kendali akal pikiran. Alih-alih memperbanyak introspeksi diri dan melakukan amal saleh, justru kita sibuk dengan membahas kapan terjadinya kiamat.

Memang benar, pembahasan kiamat merupakan topik yang menarik karena didasari oleh rasa penasaran manusia akan hal yang gaib. Tidak hanya di masa sekarang, orang-orang pada masa Rasulullah pun sudah menanyakan perihal kiamat. Hanya saja, jawaban pastinya selalu nihil, melainkan beliau hanya memaparkan tanda-tandanya saja.

Membaca perihal tanda-tanda kiamat merupakan hal yang baik karena dapat memberi peringatan kepada kita. Hanya saja, tidak jarang pembahasan kiamat yang berlarut-larut menimbulkan kecemasan bagi sebagian orang. Lebih parah lagi, sebagian orang mengalami rasa khawatir yang konstan, ketidakstabilan emosi, dan kecenderungan untuk menghindari realitas yang ada. Kondisi ini tentu dapat menghambat produktivitas karena kehilangan ketenangan diri.

Jika dampaknya demikian, maka niscaya kaum muslimin akan lupa pada tugas utama mereka, yaitu senantiasa meningkatkan kualitas iman dan takwa, memperbanyak ibadah dan amal saleh, serta melakukan introspeksi diri terhadap perbuatan yang telah dilakukan, agar semua itu menjadi bekal di akhirat kelak.

Jawaban Nabi ketika Sahabat Takut Kiamat

Takut pada kiamat merupakan hal yang wajar. Bahkan, para sahabat yang sehari-hari selalu bersama dengan Nabi merasakan hal yang sama, yaitu khawatir akan hari kiamat. Tidak jarang Nabi menerima pertanyaan tentang kiamat dari para sahabat.

Dikisahkan pada suatu hari, ketika Rasulullah sedang menyampaikan khutbah di depan para sahabat, seorang laki-laki tiba-tiba datang menghampiri seraya berdiri di hadapannya.

Sontak saja laki-laki tersebut bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, kapan kiamat akan terjadi?” Mendengar pertanyaan laki-laki tersebut, Rasulullah tidak langsung menjawab waktunya secara definitif. Beliau balik bertanya, “Apa yang sudah engkau persiapkan?”

Pertanyaan balik Rasulullah kepada penanya menunjukkan bahwa hal terpenting bukanlah berpikir tentang kapan kiamat akan terjadi, akan tetapi mempersiapkan diri dengan amal ibadah dan kebaikan untuk bekal di alam akhirat.

Kemudian laki-laki tersebut menjawab bahwa ia sama sekali tidak memiliki bekal yang banyak dari ibadah shalat, puasa dan lainnya, hanya saja ia sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Lantas Nabi bersabda: “Engkau bersama orang yang engkau cinta.”

Riwayat tersebut dicatat oleh Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali (w. 505 H) dalam kitabnya, berikut teks lengkapnya:

  قَامَ أَعْرَابِيٌّ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَهُوَ يَخْطُبُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَتَى السَّاعَة؟ فَقَالَ: مَا أَعْدَدْتَ لَهَا؟ قَالَ مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيْرِ صَلاَةٍ وَلاَ صِيَامٍ إِلاَّ أَنِّي  أُحِبُّ اللهَ وَرَسولَهُ، قَالَ: أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

“Seorang A’rabi berdiri di hadapan Rasulullah, dan dia sedang berkhutbah. Ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, kapan terjadinya kiamat?’ Rasulullah bersabda: ‘Apa yang telah kau persiapkan padanya?’ Ia menjawab: ‘Tidak ada yang telah aku persiapkan padanya, berupa banyanya shalat, juga tidak banyanya puasa. Akan tetapi aku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Lantas Rasulullah bersabda: ‘Engkau bersama dengan yang kau cinta.’” (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut: Darul Ma’rifah, tt], jilid III, halaman 198).

Sikap Proporsional tentang Kabar Kiamat Sebagaimana telah dijelaskan pada kisah di atas, membahas kiamat bukanlah sebuah kesalahan. Bahkan, sebenarnya baik jika pembicaraan tersebut dapat memunculkan dan meningkatkan amal baik serta menambah waktu introspeksi diri terhadap perbuatan yang telah dilakukan.

Hanya saja, jika setelah membahasnya justru timbul rasa takut yang berlebihan hingga lalai terhadap tugas dan kewajiban sebagai mukalaf, maka alih-alih memberikan dampak positif, aktivitas tersebut justru menjadi kontraproduktif. Berkaitan dengan hal ini, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an:

  يَسْأَلونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا. فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا. إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا. إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرُ مَنْ يَخْشَاهَا. كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا

“Mereka (orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari Kiamat, ‘Kapankah terjadinya?’ Untuk apa engkau perlu menyebutkannya (waktunya)? Kepada Tuhanmulah (dikembalikan) kesudahannya (ketentuan waktunya). Engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari Kiamat). Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (karena suasananya hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari.” (QS An-Nazi’at, [79]: 42-45).

Imam Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini Allah turunkan ketika orang-orang musyrik Makkah banyak bertanya kepada Rasulullah perihal kapan terjadinya kiamat. Kemudian ayat ini turun untuk menjelaskan kepada Nabi bahwa waktu terjadinya kiamat tidak perlu disebut secara definitif, karena hanya Allah yang tahu. Nabi saw cukup menjelaskan tanda-tanda dan peristiwa luar biasa yang akan terjadi ketika kiamat. (Imam al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Riyadh: Daru Alamil Kutub, tt], jilid XIX, halaman 209).

Sementara itu, menurut Syekh Wahbah az-Zuhaili, reaksi orang-orang Quraisy ketika Rasulullah saw menjelaskan tentang kiamat terbagi menjadi dua. Sebagian merasa takut sehingga menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah, sebagian lainnya semakin mengingkari kiamat secara penuh, bahkan golongan ini tidak jarang mencemooh Nabi karena penilaian mereka bahwa kiamat tidak akan pernah terjadi.

Dengan adanya dua reaksi tersebut, Rasulullah hanya menjelaskan perihal kiamat dan tanda-tandanya kepada orang-orang yang takut padanya saja. Harapannya, mereka dapat bisa mengambil manfaat dari informasi yang disampaikan oleh Rasulullah, sebagaimana Syekh Wahbah menyebutkan:

  وَخُصَّ الْإِنْذَارُ بِأَهْلِ الْخَشْيَةِ لِأَنَّهُمْ الْمُنْتَفِعُوْنَ بِذَلِكَ

“Pemberian peringatan hanya ditujukan kepada orang-orang yang takut (pada kiamat saja), karena hanya mereka yang akan mengambil manfaat dari peringatan tersebut.” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, [Damaskus: Darul Fikr al-Mu’ashir, cetakan kedua: 1418], jilid XXX, halaman 53).

Kesimpulannya, membahas soal kiamat adalah sebuah kebaikan jika dapat memberikan semangat untuk meningkatkan kualitas ibadah dan ketaatan. Jika tidak memberikan dampak apa-apa kecuali rasa takut dan cemas yang berlebihan, maka tentu hal ini tidaklah dibenarkan. Wallahu a’lam.

Penulis : Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan Jawa Timur.

_________________________________________________________________________

Sumber: https://islam.nu.or.id/hikmah/introspeksi-diri-dan-beramal-lebih-utama-daripada-larut-mengkhawatirkan-kiamat-LrKVa