
Allah menurunkan wahyu-Nya pada Rasulullah untuk menjadi pedoman bagi umat Islam. Sebagai pedoman, wahyu yang terwujud dalam Al-Qur’an memberi panduan yang sangat lengkap. Bukan hanya berisi tauhid dan hukum formal saja, namun juga memuat panduan akhlak dan cerita-cerita umat terdahulu untuk dijadikan sebagai hikmah dan bahan renungan.
لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.”(QS. Yusuf: 111).
Di antara kisah yang disajikan dalam Al-Qur’an adalah kisah pembunuhan Habil oleh Qabil, yang keduanya merupakan putra Nabi Adam. Allah berfirman:
وَٱتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ٱبْنَىْ ءَادَمَ بِٱلْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ ٱلْءَاخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ (٢٧) لَئِن بَسَطتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ ۖ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ (٢٨) إِنِّي أُرِيدُ أَن تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ ۚ وَذَٰلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ (٢٩) فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ (٣٠)
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa (27). Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam (28) Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim (29) Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi.” (30). (QS. Al-Maidah: 27-30)
Qabil membunuh Habil karena kurbannya tidak diterima oleh Allah, lalu ia menyimpan dengki pada saudaranya tersebut, yang membuatnya melakukan tindakan keji. Dalam berbagai kitab tafsir, disebutkan kisah yang melatarbelakangi Qabil dan Habil berkurban, sekaligus menjadi titik awal kedengkian Qabil pada Habil.
Alkisah, Ibu Hawwa’, istri Nabi Adam, selalu melahirkan bayi kembar laki-laki dan perempuan sebanyak 40 kali, kecuali Nabi Syits, ia dilahirkan tanpa saudara kembar. Qabil sang kakak, memiliki saudara kembar perempuan yang cantik bernama Aqlima, sedangkan Habil memiliki saudara kembar bernama Labuda, yang tidak cantik seperti Aqlima.
Syariat yang berlaku saat itu, putra-putra Nabi Adam boleh menikahi siapapun dari saudara perempuannya, kecuali saudara kembar. Suatu ketika Allah memerintahkan Adam untuk menikahkan Qabil dengan Labuda, dan menikahkan Habil dengan Aqlima. Adam pun menyampaikan perintah itu pada Qabil dan Habil. Qabil tidak menerima keputusan tersebut, dan menuduh bahwa hal itu adalah keputusan Adam sendiri, bukan perintah dari Allah, “Aku lebih berhak atas Aqlima karena dia saudara kembarku”, kata Qabil.
Nabi Adam mencari jalan tengah, ia memerintahkan keduanya untuk berkurban. “Siapa yang kurbannya diterima Allah, ia yang berhak menikahi Aqlima”.Kemudian Habil yang berprofesi sebagai penggembala kambing, mempersembahkan kambing terbaiknya untuk dijadikan kurban. Sementara Qabil yang merupakan seorang petani, justru memilih hasil panennya yang buruk untuk dijadikan kurban. Mereka berdua naik ke atas gunung dan menaruh kurbannya masing-masing.
Pada masa itu, tanda diterimanya kurban adalah turunnya api berwarna putih untuk membakarnya. Setelah kurban ditaruh, mereka menunggu, dan akhirnya api putih pun turun dan membakar kurban Habil. Sebenarnya dari awal, Qabil tidak peduli kurban siapa yang diterima, yang ia pedulikan hanya satu; Habil tidak boleh menikahi Aqlima. Setelah persembahan kurban tersebut, kedengkian Qabil pada Habil pun kian besar. Selain karena ia tidak bisa menikahi Aqlima, kejadian tersebut membuat orang-orang memandang bahwa Habil lebih baik dari Qabil, karena kurbannya diterima Allah. Ia pun akhirnya memutuskan untuk membunuh adiknya tersebut. (Abu Muhammad Al-Husain Al-Baghawiy, Ma’alimut Tanzil [Beirut: Dar Ihya’it Turatsil ‘Arabiy, 2000], juz II, halaman 39).
Kisah ini memang tidak bisa dipastikan valid atau tidaknya. Ibn Katsir sendiri meskipun ikut mengutipnya, namun seolah memilih tidak memakainya. Setelah mengutip kisah ini, Ibn Katsir mengutip atsar dari Ibn ‘Abbas yang menceritakan versi lain dari kisah Qabil dan Habil. Dalam cerita tersebut disebutkan bahwa kurban yang dipersembahkan Qabil dan Habil adalah atas inisiatif mereka sendiri. Kemudian Ibn Katsir menyebutkan:
فَهَذَا الْأَثَرُ يَقْتَضِي أَنَّ تَقْرِيبَ الْقُرْبَانِ كَانَ لَا عَنْ سَبَبٍ وَلَا عَنْ تَدَارُئٍ فِي امْرَأَةٍ، كَمَا تَقَدَّمَ عَنْ جَمَاعَة منْ تَقدم ذِكْرِهمْ، وَهُوَ ظَاهِرُ الْقُرْآنِ
“Atsar dari Ibn ‘Abbas ini menunjukkan bahwa persembahan kurban Qabil dan Habil tidak didasari oleh sebab apapun termasuk bersaing untuk menikahi seorang perempuan, sebagaimana disampaikan oleh beberapa ulama yang telah aku sebutkan, itulah yang sesuai makna dzahir ayat tersebut”. (Isma’il Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir [Riyadh: Dar Thaybah, 1999], juz III, halaman 85).
Namun, dari kedua versi ini, semuanya sepakat bahwa Qabil membunuh Habil karena termakan kedengkian yang membara dalam hatinya. Kemudian ia tidak dapat mengendalikan emosinya sebagaimana disebutkan pada ayat
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ
“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu ia membunuhnya.” (QS. Al-Maidah: 30)
Nafsu manusia dapat menumbuhkan emosi dalam diri manusia itu sendiri, jika tidak dapat mengontrolnya, maka nafsu yang akan mengambil alih dirinya untuk kemudian melakukan hal-hal bodoh dan keji. Maka, pengendalian nafsu memang berat. Itulah sebabnya dalam sebuah hadits, Rasulullah menyebut bahwa berperang melawan nafsu merupakan “Jihad Akbar”. Hal ini memang sangat penting dan harus dilakukan, karena keselamatan seseorang tergantung pada bagaimana ia mengendalikan nafsunya.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Al-Isti’dad Liyaumil Ma’ad mengutip sebuah kalam hikmah:
طوبى لمن كان عقله أميرا وهواه أسيرا، وويل لمن كان هواه أميرا وعقله أسيرا
“Beruntunglah orang yang akalnya menjadi pemimpin, sedangkan hawa nafsunya menjadi tawanan, celakalah orang yang hawa nafsunya menjadi pemimpin, sedangkan akalnya menjadi tawanan” (Ahmad Ibn Hajar, Al-Isti’dad Liyaumil Ma’ad [tt: Darut Tarbiyyah, tt], halaman 29).
Akal dan nafsu selalu berebut kendali atas diri manusia, jika akalnya menang, selamatlah ia, namun jika nafsunya yang menang, maka ia sedang berjalan menuju kehancuran. Untuk itulah Rasulullah memerintahkan kita agar senantiasa berperang melawan nafsu, agar nafsu kita kian melemah sehingga tidak dapat memegang kendali atas diri kita. Demikian pelajaran yang dapat dipetik dari kisah dua putra Nabi Adam, semoga kita semua termasuk orang-orang yang dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari setiap peristiwa.
Penulis: Rif’an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah
Sumber: https://islam.nu.or.id/hikmah/pelajaran-kisah-qabil-dan-habil-akibat-tak-bisa-mengontrol-emosi-Wd0Mr