Abstrack

Moralitas adalah seperangkat prinsip atau aturan yang memandu perilaku seseorang dalam membedakan antara apa yang benar dan salah. Dalam konteks filsafat, moralitas seringkali merujuk pada sistem nilai atau etika yang dibentuk oleh budaya, agama dan pengalaman individu. Menurut Journal of Moral Education, moralitas adalah seperangkat nilai, prinsip dan keyakinan yang memandu perilaku individu dalam berinteraksi dengan masyarakat.

Moralitas biasanya dipengaruhi oleh norma-norma sosial, yaitu aturan yang diterima secara umum dalam masyarakat untuk menjaga keteraturan sosial. Contohnya, kejujuran dan keadilan dianggap sebagai nilai moral penting dalam banyak budaya. Moralitas berperan penting dalam kehidupan sehari-hari, karena membantu manusia dalam membuat keputusan yang lebih bijaksana, mengurangi konflik, dan menciptakan hubungan yang harmonis dalam masyarakat.

Klaim tentang degradasi moral Generasi Z sering kali didasarkan pada stereotip dan mitos. The Conversation mencatat bahwa banyak pandangan negatif tentang generasi ini muncul karena ketidak-pahaman generasi yang lebih tua terhadap dunia digital yang mereka tempati. Dalam banyak kasus, apa yang dianggap sebagai “degradasi moral” hanyalah perubahan dalam norma dan nilai-nilai yang sesuai dengan zaman mereka.

Dunia mulai menuju era digitalisasi dan modernisasi. Perkembangan rasionalitas dan penciptaan teknologi semakin gencar dilakukan. Semua hal menjadi lebih instan dan canggih. Perkembangan ini digadang-gadang menjadi tonggak kemajuan kehidupan manusia. Namun, muncul peristiwa-peristiwa yang malah menunjukkan adanya kemunduran moral dan perilaku manusia itu sendiri. Sebut saja tindakan kriminal yang semakin marak, konten tidak pantas di berbagai platform, kata-kata kasar yang mulai di normalisasi, hingga hal-hal negatif yang dengan mudahnya menjadi viral.

Kemerosotan atau degradasi moral tak jarang dikaitkan dengan Generasi Z. Generasi Z atau Gen-Z adalah mereka yang lahir di tahun 1995-2012. Gen-Z secara notabene lahir di era perkembangan teknologi yang sudah maju dan tumbuh di tengah perkembangan tersebut. Para ahli menyebut Generasi Z ini sebagai generasi net atau digital native. Kondisi tersebut membuat mereka menggunakan teknologi secara masif. Penggunaan teknologi membuat mereka dapat mengakses segala hal dari berbagai referensi, yang tak jarang menimbulkan perilaku di luar norma sosial, sehingga disebut sebagai kemerosotan moral. Beberapa komponen utama moralitas meliputi:

  1. Norma Sosial: Moralitas biasanya dipengaruhi oleh norma-norma sosial, yaitu aturan yang diterima secara umum dalam masyarakat untuk menjaga keteraturan sosial. Contohnya, kejujuran dan keadilan dianggap sebagai nilai moral penting dalam banyak budaya.
  2. Tanggung Jawab Pribadi: Moralitas melibatkan tanggung jawab pribadi untuk memilih tindakan yang dianggap benar. Seseorang dituntut untuk tidak hanya mengikuti aturan eksternal, tetapi juga merenungkan apa yang dianggap benar berdasarkan hati nurani.
  3. Etika Religius: Dalam banyak tradisi agama, moralitas sering terkait dengan aturan yang berasal dari kitab suci atau ajaran agama. Misalnya, dalam Islam, moralitas terkait dengan perintah Tuhan yang disampaikan melalui al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad. Prinsip-prinsip seperti jujur, amanah, adil dan sabar, dianggap sebagai kewajiban moral seorang Muslim.
  4. Etika Universal: Di luar agama, terdapat pula konsep moralitas universal yang diterima oleh hampir semua budaya, seperti larangan mencuri, membunuh dan berbuat curang. Ini dianggap sebagai dasar etika manusia yang mengutamakan kesejahteraan bersama.
  5. Prinsip Utilitarianisme & Deontologi: Dalam filsafat moral modern, ada dua pendekatan utama untuk memahami moralitas. Utilitarianisme menilai tindakan berdasarkan hasilnya, apakah menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi orang banyak. Deontologi ialah sebaliknya, menilai tindakan berdasarkan apakah tindakan tersebut mematuhi aturan atau kewajiban moral, terlepas dari hasil akhirnya.

Dekadensi akhlak pada generasi milenial bisa juga disebabkan dari perkembangan teknologi, perubahan sosial, kurangnya perhatian orang tua, hingga kurangnya pengawasan dari lingkungan tradisional. Sebagai generasi yang tumbuh dalam era digital, mereka terpapar oleh dinamika baru yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Berikut adalah beberapa faktor utama yang menjadi motor terhadap degradasi moral Gen Z secara detail:

Pengaruh Konsumerisme & Hedonisme

Konsumerisme telah menjadi salah satu norma yang dihadapi oleh Gen Z, terutama dengan munculnya budaya belanja online dan influencer yang mengajak gaya hidup glamor. Hedonisme, yang menekankan kesenangan dan kebahagiaan instan, sering kali dikaitkan dengan perilaku materialistis. Gen Z secara tidak langsung terpengaruh oleh eksposur terus-menerus terhadap gaya hidup ini, yang mengikis nilai-nilai moral seperti kerja keras, kesederhanaan, dan empati terhadap orang lain.

Kurangnya Pendidikan Moral Formal

Pendidikan moral dan etika yang sistematis di sekolah-sekolah sering kali tidak memadai, terutama di era sekarang di mana fokus lebih besar diarahkan pada pendidikan akademis dan keterampilan teknis. Gen Z sering kekurangan bimbingan moral formal, baik dari sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Pendidikan agama dan moralitas yang kuat sering kali diabaikan atau dianggap kurang penting dibandingkan keterampilan yang lebih praktis untuk dunia kerja.

Pergeseran Nilai-Nilai Keluarga

Banyak dari Gen Z yang tumbuh dalam lingkungan keluarga dengan struktur yang berubah. Dengan meningkatnya angka perceraian dan orang tua yang sibuk bekerja, sering kali anak-anak mengalami kekurangan pengawasan dan bimbingan moral dari keluarga. Kurangnya kehadiran orang tua yang mendampingi dalam pembentukan karakter dapat menyebabkan Gen Z mencari sumber nilai dan panduan moral dari luar, seperti teman sebaya atau internet.

Peran Pendidikan Islam Menghadapi Degradasi

Pendidikan moral menjadi kunci dalam upaya mengatasi penurunan moral dengan menanamkan dan membentuk moral anak menjadi lebih baik, yang kemudian diharapkan mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Agama Islam merupakan strategi untuk meningkatkan potensi siswa ke arah terciptanya manusia berkarakter islami yang sesuai dengan nilai-nilai islam. Dengan menyediakan sumber bimbingan moral dan otoritas, dengan menawarkan seperangkat aturan, norma, nilai, dan cita-cita yang berasal dari sumber suci atau ilahi.

Untuk menciptakan manusia yang berakhlak mulia, Islam telah mengajarkan bahwa pembinaan jiwa harus lebih diutamakan dari pada pembinaan fisik atau lainya, karena dari jiwa yang baik akan melahirkan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Tentunya dengan menerapkan version pembelajaran yang holistik dan berbasis karakter, revitalisasi pendidikan etika, nilai, agama, dan kewarganegaraan, revitalisasi pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat, revitalisasi peran media massa.

Oleh karena itu dengan upaya dan peran pendidikan Agama Islam, diharapkan mampu terealisasi dan berhasil diimplementasikan oleh seluruh masyarakat, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Dengan hal ini, pendidikan Agama Islam dapat membentuk masyarakat yang madani, yaitu masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan apapun.

Menurut metode Thawâli’us-Sa’diyah, prinsip utama yang harus dijaga adalah keseimbangan antara pendekatan yang lembut dan tegas. Thawâli’us-Sa’diyah menekankan pentingnya berdakwah dengan hikmah (kebijaksanaan), serta memberikan nasehat dengan cara yang baik dan efektif. Sebagaimana yang diajarkan dalam al-Quran, khususnya dalam Surah An-Nahl ayat 125: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” Metode ini merupakan kombinasi dari pendekatan intelektual, emosional dan spiritual yang memungkinkan dakwah menjadi lebih efektif dan diterima oleh berbagai kalangan.