“Perintahkan ia untuk keluar dari Naisabur sekarang juga.”

Perintah itu disampaikan. Karena tak ingin membuat kegaduhan, Imam Bukhari segera meninggalkan kota Naisabur. Tujuannya adalah Bukhara, kota kelahirannya.

Di Bukhara, kehadirannya disambut bak pahlawan yang baru pulang dari medan juang. Tua muda miskin kaya menyambutnya dengan gembira. Majelis ilmunya segera dipenuhi murid-murid dari berbagai penjuru negeri.

Hal itu membuat penguasa setempat yang bernama Khalid ibn Ibrahim tak suka, apalagi Imam Bukhari pernah menolak ketika diminta untuk mengajar anak-anaknya di istana. “Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi,” tegas Imam Bukhari.

Akhirnya munculah perintah yang sama, “Usir Imam Bukhari dari Bukhara sekarang.”

Imam Bukhari bermaksud pergi ke Samarkand. Namun rupanya penguasa Samarkand telah lebih dulu menerima surat dari Bukhara yang isinya fitnah bahwa Imam Bukhari adalah sosok yang berbahaya.

Malam itu juga ia diminta meninggalkan Samarkand. Bersama kerabatnya yang bernama Ibn Ma’qil, Imam Bukhari meninggalkan Samarkand.

Di pinggir desa Kartank, Imam Bukhari merasa kelelahan dan ingin sejenak beristirahat.

Malam itu, di saat semua orang sedang berbahagia menyambut Hari Raya Idul Fitri 870 M, Imam Bukhari menghadap Rab-nya.

Innalillahi wa innalillahi rajiun

Uttiek M Panji Astuti