
“Apabila aku menyaksikan suatu kemungkaran dan aku tidak melakukan apa-apa (mendiamkannya), niscaya aku mengeluarkan kencing darah saking mendalamnya kesedihanku.”
Kata-kata berbalut kesedihan itu diucapkan Imam Sufyan ats-Tsauri, seorang ulama ahli hadist.
Kisah hidupnya menarik. Ia adalah ulama yang diburu untuk dibunuh oleh dua orang khalifah, yang kebetulan kedua khalifah itu adalah bapak-anak.
Alasan perburuannya pun tak kalah mencengangkan: Sang Ulama menolak ditawari jabatan sebagau mufti negara!
Tersebutlah Khalifah Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M) dari Daulah Abbasiyyah yang mula-mula menawarkan jabatan itu. Imam Sufyan ats-Tsauri tidak mau menerimanya, karena tangan Sang Khalifah telah berlumur darah ulama. Ia telah memenjarakan Imam Abu Hanifah hingga wafat di penjara.
Mendengar tawarannya ditolak, meski telah dibujuk dan diiming-imingi gaji tinggi, Khalifah murka dan meminta Sang Ulama ditangkap. Imam Sufyan ats-Tsauri pun bertindak cepat dengan menyelamatkan diri ke Kuffah, Basrah, Makkah, hingga Yaman.
Ia merasa lega setelah mendengar kabar Khalifah Al Manshur wafat. Penggantinya adalah anaknya yang bernama Abu Abdullah Muhammad alias al-Mahdi (775-785 M).
Lagi-lagi, ia ditawari jabatan sebagai mufti, yang tetap ditolaknya. Khalifah yang marah, tetap mengeluarkan surat pengangkatannya. Surat pengangkatan itu lalu dibuang begitu saja oleh Imam Sufyan ats-Tsauri di sungai Tigris.
Mengapa Imam Sufyan ats-Tsauri bersikeras menolak tawaran jabatan itu?
Tak lain, karena ia tak mau menjadi bagian dari pemerintahan yang dzalim. Ia tak mau nantinya dipaksa mengeluarkan fatwa yang hanya untuk memuaskan nafsu penguasa.
Tercatat, Imam Sufyan ats-Tsauri terus menjadi “buronan” khalifah, hingga ajal menjemputnya.
Begitulah seharusnya menjadi seorang alim berilmu: Tegas terhadap pemerintah yang dzalim. Tidak seperti yang kita saksikan hari ini, ya, ramai-ramai menyodorkan diri untuk jabatan menteri.