Hari-hari ini kita menyaksikan kegaduhan para pejabat negara dan politisi yang seakan tiada henti. Belum selesai satu perkara, sudah muncul kegaduhan lainnya.

Di sisi lain, kehidupan rakyat kian bertambah berat. Pajak tinggi. Harga kebutuhan tak terkendali.

Seakan tak ada yang belajar. Padahal sejarah telah memberikan gambaran dengan gamblang, ketidakpuasan rakyat, ontran-ontran para penguasa, selalu menjadi penanda sirnanya sebuah peradaban. Sebagaimana yang terjadi pada pemerintahan Daulah Mamluk.

Daulah Mamluk berkuasa di wilayah Mesir dan sekitarnya selama lebih dari 250 tahun, sebelum akhirnya dikalahkan oleh Sultan Salim dari Utsmani.

Corak pemerintahan Daulah Mamluk adalah oligarki militer. Yakni pemerintahan yang menerapkan kepemimpinan yang dipilih di antara para Mamluk yang paling kuat dan berpengaruh. Mudahnya, siapa yang kuat, dia yang berkuasa.

Sultan yang lemah akan disingkirkan atau diturunkan dari kursi jabatannya oleh Mamluk yang lebih kuat dan memiliki pengaruh besar di tengah-tengah masyarakat.

Pada tahun 1390 M, Daulah Mamluk Bahri berakhir dan digantikan Mamluk Burji. Pada periode inilah, jabatan sultan tidak lagi menggambarkan lembaga yang dapat menjamin keberlangsungan pemerintahan, namun tempat memburu kesenangan dan kemewahan yang terus diperebutkan.

Pemakaian uang negara untuk hidup hedon dan mewah di kalangan sultan yang dimulai pada masa Sultan An-Nasir semakin parah di tangan Mamluk Burji.

Demi memenuhi keinginan sultan, pajak rakyat dan pedagang dinaikkan. Kesewenang-wenangan itu membuat jatuhnya wibawa sultan di mata rakyat dan para penguasa daerah atau para amir. Hingga akhirnya sultan kehilangan kontrol atas daerah-daerah yang pernah dikuasainya.

Mereka yang sedang membuat kegaduhan hari ini harusnya segera sadar, kekuasaan tak selamanya ada dalam genggaman. Mereka harus berkaca, bahkan kekuasaan Mamluk yang kuat dan terlatih secara militer pun akhirnya berakhir jua.