Jubah putihnya yang terbuat dari kain Khurasan atau Mesir terlihat mahal. Sesekali berkibar lembut tertiup angin. Semerbak wewangian menguar dari balik jubahnya. Terompahnya pun tak kalah mewah. Jenggotnya terpotong rapi. Senyum teduhnya melengkapi penampilan fisik nan istimewa.

Siapakah sosok elegan itu?

Ia adalah Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn ‘Amar ibn al-Harits. Nasabnya berpangkal dari Ya’rub ibn Yasjub ibn Qahthan al-Ashbahi. Sang alim itu lebih dikenal sebagai Imam Malik.

Sehari-hari saat mengajar murid-muridnya, penampilan Imam Malik selalu “memukau”. Imam Malik dikenal memiliki interpretasi yang sangat berbeda tentang pengertian zuhud. Ia berpakaian mewah sebagai bentuk rasa syukur terhadap nikmat Allah.

“Aku tidak suka dengan seseorang yang sudah diberi nikmat oleh Allah, tapi nikmat itu seakan tidak kelihatan,” kata Imam Malik dikutip oleh Abu Zahrah dalam salah satu kitabnya.

Dengan penampilannya yang mewah, Imam Malik pun disegani para penguasa Makkah dan Madinah. Mereka segan dengan keilmuannya, sekaligus segan dengan penampilannya yang luar biasa.

Begitulah menjadi seorang alim berilmu. Ada wibawa yang harus terjaga. Tentu bukan soalan penampilan fisik semata, namun juga kualitas keilmuan yang harusnya tak diragukan.

Bayangkan jika seorang alim telah kehilangan wibawanya, tersebab adab yang tak sesuai dengan apa yang disampaikannya, mungkinkah para murid masih mau mendengarkannya?

Syekh Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim telah menulis tentang hal-hal yang harus diperhatikan ketika mencari guru. Pertama, carilah karena ilmunya. Kemudian, sanad ilmunya harus jelas. Berikutnya, yang nasabnya bagus, karena nasab yang bagus akan menjadi salah satu sebab ilmu kita diberkahi Allah. Terakhir, carilah yang berakhlak mulia.

Dari Imam Malik, mari kita belajar bersama.