“Biarlah hati ini patah karena sarat dengan beban, dan biarlah dia meledak karena ketegangan. Pada akhirnya perbuatan manusia menentukan, yang mengawali dan mengakhiri. Bagiku, kata-kata hiburan hanya sekedar membasuh kaki. Memang menyegarkan. Tapi tiada arti. Barangkali pada titik inilah kita berpisah…” ― Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik.

Bertahun lalu saya membaca novel “Arus Balik” setebal 751 halaman, yang menceritakan kedatangan Portugis di bumi Nusantara pada awal abad XVI. Bersamaan dengan surutnya pengaruh Majapahit dan naiknya pamor Kesultanan Demak.

Tokoh utama dalam novel ini adalah Wiranggaleng, seorang pemuda dari desa Awis Krambil yang ikut berjuang melawan Portugis di Malaka yang dipimpin oleh Pati Unus.

Sekalipun saya tidak menyetujui banyak hal dari novel ini, terutama penggambaran Syah Bandar Sayid Habibullah Almsawa, seorang keturunan Arab yang menguasai bahasa Portugis. Tapi ya namanya juga novel, tentu terserah penulisnya.

Novel ini mengambil setting Malaka, Malaysia dan Tuban, Jawa Timur. Berkali melakukan perjalanan ke Malaka, baru kali ini saya berkesempatan menyusuri jejak sejarahnya di Tuban.

Perjalanan dari Surabaya ke Tuban memakan waktu sekitar 3 jam, melewati Gresik dan Lamongan. Sepanjang perjalanan, kontainer dan truk-truk besar yang mendominasi ruas jalan.

Banyak pesantren-pesantren terkemuka yang berada di sepanjang rute ini, salah satunya adalah Pesantren Langitan.

Tujuan pertama saya adalah mercusuar alias menara Syah Bandar. Mercusuar yang asli sudah tak ada lag. Di dekat lokasi semula didirikan mercusuar baru. Tak banyak masyarakat setempat yang tahu keberadaan mercusuar itu.

Mercusuar adalah menara dengan sumber cahaya di puncaknya untuk membantu navigasi kapal laut. Yang sudah membaca novel ini, tentu tahu mercusuar yang menjadi titik penting pembuka cerita.

Saya membayangkan, pada waktu itu di tempat ini lah kapal-kapal dagang yang sarat muatan berlabuh.

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, pelabuhan Tuban menjadi salah satu pelabuhan penting yang banyak disinggahi kapal-kapal dagang, sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Maluku untuk memperoleh rempah-rempah.

Pada abad ke -15, pelabuhan Tuban yang awalnya bernama pelabuhan Kambang Putih adalah pelabuhan transito bagi para pedagang internasional yang masuk melalui jalur Malaka menuju kawasan Maluku ataupun sebaliknya.

Teluk Tuban dinilai aman dan baik untuk transportasi laut karena kedalamannya yang ideal bagi perahu-perahu besar yang datang.

Tetiba berkelebat tokoh-tokoh yang digambarkan dalam novel itu. Wiranggaleng, Idayu, kedua anaknya: Kumbang dan Gelar, Adipati Tuban, serta Syah Bandar Sayid Habibullah Almsawa.

Syah Bandar dalam novel ini digambarkan sangat buruk. Keturunan Arab yang licik, memperdaya banyak orang, bahkan dengan menggunakan ramuan yang dicampur ke dalam kopi menghamili Idayu.

Membaca novel ini, kita akan menyadari, begitulah mereka yang tejangkiti Islamphobia, segala cara dilakukan untuk mendiskreditkan Islam.

Sejatinya, jatuhnya Malaka sering diungkapkan para ulama sebagai perluasan perang Salib di Asia. Mereka tak hanya merampok kekayaan alam dan memperdaya penduduknya, namun juga punya misi untuk memurtadkan negeri yang dikuasainya. Tuban menjadi saksi atas peristiwa itu.