
Dalam kehidupan sehari-hari, kita diingatkan untuk selalu bersyukur kepada Allah atas anugerah kehidupan dan segala fasilitas yang diberikan. Shalawat dan salam kita persembahkan kepada Nabi Muhammad, yang telah membimbing umat dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya ilmu pengetahuan. Semoga kita termasuk dalam golongan umatnya yang taat dan kelak mendapat syafa’at yang agung. Amin.
Di zaman digital ini, kita melihat fenomena di mana banyak orang yang tidak memiliki keahlian dalam agama justru menjadi panutan di media sosial. Ini berbahaya, karena pengakuan terhadap mereka sering kali melebihi penghormatan kepada para ulama yang sebenarnya. Ketika ada perbedaan pendapat, banyak yang cenderung memilih pendapat orang yang lebih dikenal di media sosial ketimbang ulama yang sudah lama memberikan bimbingan.
Oleh karena itu, penting untuk memahami kriteria ulama Ahlussunnah wal-Jama’ah dalam memilih sumber ilmu. Imam Malik pernah berkata:
لا تَحْمِلِ الْعِلْمَ مِنْ اَهْلِ الْبِدَعِ وَلا تَحْمِلْهُ عَمَّنْ لَا يُعْرَفُ بِالطَّلَبِ
Yang berarti kita tidak boleh mengambil ilmu dari orang yang ahli bid’ah, atau dari mereka yang tidak jelas sumber belajarnya. Ini menunjukkan betapa pentingnya mengenali latar belakang pendidikan seseorang, sebelum kita menganggapnya sebagai rujukan utama.
Kita perlu meneliti tiga aspek penting: pemikiran, amaliyah, dan gerakan seseorang. Jangan sampai hanya karena kedekatan melalui media sosial, kita menganggapnya sebagai ahli agama. Ingat, ilmu itu diperoleh melalui proses belajar, bukan bawaan lahir. Maka dari itu, penting untuk mendalami dan memahami referensi yang ada.
Selain itu, seseorang yang layak dijadikan rujukan adalah yang benar-benar ahli dalam ilmu agama. Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari menyampaikan dalam kitabnya:
فَلا تَرْوُوْهُ اِلَّا عَمَّنْ تَحَقَّقَتْ أَهْلِيَّتُهُ
“Kita harusnya meriwayatkan ilmu hanya dari orang yang telah terbukti keahliannya.”
Ini juga sejalan dengan pendapat Imam Nawawi bahwa urusan ijtihad harus diserahkan kepada para ulama, bukan sembarangan kepada orang awam.
Sikap yang penuh kehati-hatian ini harus kita pegang, apalagi dalam konteks permasalahan agama yang krusial. Al-Quran mengingatkan kita dalam Surah Al-Isra ayat 36:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui.” (QS. Al-Isra: 36)
Yang mengisyaratkan tentang pentingnya pengetahuan dalam setiap pernyataan yang kita buat. Kepercayaan adalah ciri lainnya. Ulama yang dapat dijadikan rujukan adalah mereka yang tidak hanya cakap dalam ilmu, tetapi juga jujur dalam perbuatan. KH. Hasyim Asy’ari mengingatkan agar kita tidak mengambil ilmu dari mereka yang berbohong di depan umum. Ilmu yang disampaikan dengan keikhlasan dan kejujuran akan membawa keberkahan.
Dengan demikian, mari kita berhati-hati dalam memilih sumber ilmu. Tidak semua orang yang berbicara dengan baik dapat dijadikan panutan. Kita harus memastikan bahwa mereka memahami dan mengamalkan ajaran Islam dengan benar. Dengan sikap kritis dan pengetahuan yang mendalam, kita akan lebih bijak dalam menghadapi berbagai persoalan agama.
Semoga Allah memberikan petunjuk dan keberkahan kepada kita semua dalam pencarian ilmu yang benar.