
“Tu quoque, Brute, fili mi? (Kau juga, oh Brutus, anakku?)”
Kalimat itu sangat terkenal. Diucapkan oleh Julius Caesar menjelang kematiannya. Syahdan, ia dijebak oleh para senator yang menginginkannya lengser dari kedudukannya sebagai Kaisar Romawi.
Saat membacakan petisi yang telah disiapkan untuknya, seorang senator bernama Publius Servilius Casca menarik lengannya, lalu menikam lehernya dengan sebilah belati.
Sejurus kemudian, 23 senator lain ikut menikamnya. Terus dan terus. Sang Kaisar sebenarnya masih mencoba menyelamatkan diri, namun akhirnya ambruk tepat di bawah patung Pompey.
Persis sebelum napas terakhirnya, Julius Caesar sempat menatap Brutus, dan mengucapkan kalimat yang dikenang sejarah sebagai dalil bahwa pengkhianatan selalu dilakukan oleh orang-orang terdekat.
“The Saddest thing about betrayal is that never comes from your enemies. (Hal paling menyedihkan dari sebuah pengkhianatan adalah ia tak pernah dilakukan oleh musuhmu.)”
Sejarah pun mencatat, kejatuhan daulah-daulah Islam selalu ditutup dengan “gong” pengkhianatan oleh orang-orang terdekat penguasa.
Pengkhianatan yang paling masyhur adalah kejatuhan Granada, ke-emiran Islam terakhir di Andalusia.
Tersebutlah nama Yusuf bin Kamasyah, Abul Qasim al-Malih dan al-Faqih al-Baqini. Ketiganya adalah para menteri yang berada di lingkaran terdekat sultan.
Bahkan, al-Faqih al-Baqini adalah seorang ulama, ahli ilmu, yang mencarikan dalil-dalil pembenaran untuk menekan sultan menyerahkan kunci gerbang Granada pada Isabel dan Ferdinand dengan penuh kehinaan.
Begitupun kejatuhan Baghdad hingga Utsmani. Selalu muncul manusia-manusia pengkhianat yang menjual bangsanya demi kepentingan pribadi.
Kalau pada para pengkhianat negara, jelas bagaimana hukumnya. Namun, bagaimana kalau kita yang dikhianati, haruskah membalasnya, atau memaafkannya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyampaikan dalam “Qa’idah fii Ash-Shabr”, ada tiga macam sikap manusia dalam menyikapi orang-orang yang mengkhianatinya.
Pertama, dzalim yaitu membalas lebih dari kewajaran.
Kedua, muqtashid yaitu yang membalas sewajarnya (sama dengan tindakan yang dilakukan si dzalim).
Ketiga, muhsinun yaitu yang memaafkan dan tidak membalas sama sekali.
Pilihan ada di tangan kita, mau menjadi manusia yang mana?
Tak mudah memang menjadi manusia yang mampu berbesar hati membukakan pintu maaf seluas-luasnya. Tidak seperti Sang Maha Pemberi Maaf, yang selalu memaafkan hambanya yang ingin kembali.