Perempuan bekerja masih saja menjadi “isu seksi” yang terus dibahas hingga hari ini. Seakan itu adalah hal baru yang harus diperjuangkan.

Banyak Muslimah yang terbawa framing Barat. Pertanyaannya, mengapa perempuan Barat masih saja ribut soal emansipasi?

Tak lain karena mereka baru mengenalnya di tahun 1908. Berawal dari demonstrasi yang dilakukan para perempuan di New York menuntut diperbolehkan bekerja dengan gaji yang layak, jam kerja yang lebih pendek, dan hak untuk memilih.

Sementara, isu tersebut dalam Islam sudah selesai sejak 15 abad lalu. Tersebutlah beberapa umahatul mukminin yang berkarya dan berpenghasilan.

Paling masyhur adalah Ibunda Zainab binti Jahsy. Tersebutlah ia mempunyai keterampilan menjahit, membuat kerajinan dari manik-manik dan menyamak kulit.

Keahlian menyamak kulit itu dalam terminologi bahasa Arab dikenal dengan istilah Dābighah. Ibunda Zainab dikenal sebagai penyamak kulit yang andal, bahkan mempunyai semacam “home industry” di kediamannya.

Fakta menariknya, sebagian besar dari pendapatannya itu disedekahkan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Tak heran jika Ibunda Zainab dikenal sebagai istri Rasulullah yang paling dermawan.

Bahkan Rasulullah menjulukinya “tangan panjang” yang dalam bahasa Arab istilah tersebut berarti metafora dari gemar bersedekah dan memiliki sifat dermawan.

Begitupun istri tercinta, Ibunda Khadijah. Ia dikenal sebagai seorang pengusaha besar sejak sebelum menikah dengan Rasulullah.

Lalu, Ibunda Aisyah yang mempunyai keahlian di bidang pengobatan, juga diriwayatkan membuat ramuan-ramuan kesehatan bagi yang membutuhkan.

Kakak kandungnya, Asma binti Abu Bakar, juga seorang pekerja keras. Disebutkan Asma biasa berjalan kaki untuk mengambil pakan ternak dari tanah suaminya yang berjarak tiga kilometer dari Madinah.

Ada juga Ummu Mihjan yang bekerja membersihkan Masjid Nabawi. Suatu hari Rasulullah tidak melihatnya dan menanyakan pada para sahabat, ternyata Ummu Mihjan wafat semalam dan telah dimakamkan, Rasulullah lalu menziarahi makamnya.

Pada masa Khalifah Umar ibn Khattab, ia mengangkat seorang pengawas pasar yang disebut al-hisbah dari kalangan sahabiyah yang bernama Ash-Shifa bint Abdullah.

Selain berprofesi sebagai pengawas pasar, Ash-Shifa bint Abdullah juga mengajar para Muslimah membaca dan menulis serta mempraktikkan keahliannya di bidang pengobatan.

Islam tidak pernah melarang perempuan bekerja dan berpenghasilan, namun sekaligus memberikan panduan bagaimana menjalaninya.