Fiqih, yang secara bahasa berarti “pemahaman yang mendalam,” merujuk pada pemahaman hukum Islam yang mencakup berbagai aspek kehidupan seorang Muslim. Dalam era modern ini, pemahaman fiqih menghadapi tantangan baru. Hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi, globalisasi, dan perubahan sosial yang sangat cepat. Fiqih tidak hanya tentang hukum peribadatan semata, tetapi juga mengenai interaksi sosial, ekonomi, dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memiliki pemahaman fiqih yang relevan dengan perkembangan zaman namun tetap berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis.

1. Pentingnya Pemahaman Fiqih Dinamis

Pemahaman fiqih yang dinamis berarti memahami bahwa hukum-hukum Islam harus dapat diterapkan sesuai konteks zaman tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar syariat. Dalam hal ini, ulama telah mengembangkan konsep “ijtihad” atau upaya memahami hukum syariat untuk situasi yang tidak ada ketetapan khususnya dalam Al-Qur’an atau Hadis. Rasulullah ﷺ bersabda:

“إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا اجتهد فأخطأ فله أجر”

“Apabila seorang hakim berijtihad lalu ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala, dan jika ijtihadnya salah, maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Dalam hadits ini, Rasulullah ﷺ memberikan apresiasi terhadap upaya ijtihad, baik hasilnya benar maupun tidak. Ijtihad diperlukan agar fiqih tetap relevan dan dapat diaplikasikan dalam konteks kehidupan masa kini yang semakin kompleks.

2. Relevansi Fiqih di Kehidupan Sosial & Ekonomi Modern

Fiqih tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah (hablun min Allah) tetapi juga hubungan antar manusia (hablun min an-nas). Dalam konteks kehidupan sosial, Islam mengajarkan akhlak yang baik, toleransi, dan prinsip keadilan. Dalam kehidupan ekonomi, fiqih memberikan pedoman tentang kejujuran, larangan riba, dan anjuran untuk tolong-menolong dalam kebajikan. Allah berfirman:

“وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا”

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Prinsip ini menjadi panduan bagi umat Islam untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi yang halal dan menghindari praktik-praktik yang merugikan orang lain.

3. Pentingnya Menjaga Etika di Media Sosial

Di era digital, media sosial menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Namun, penggunaan media sosial juga harus diatur dengan kaidah fiqih. Prinsip menjaga lisan (al-hifzh ‘alal-lisan) dalam Islam dapat diterapkan pada perilaku online. Allah berfirman:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا”

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70)

Ayat ini mengingatkan umat Islam untuk berbicara dengan perkataan yang baik dan benar. Dalam konteks media sosial, ini berarti menghindari ujaran kebencian, fitnah, atau menyebarkan informasi palsu.

4. Peran Ulama Menyampaikan Pemahaman Fiqih Kontekstual

Di tengah perubahan sosial yang cepat, ulama memiliki peran penting dalam menyampaikan pemahaman fiqih yang kontekstual dan relevan. Mereka dituntut untuk memahami masalah-masalah kontemporer seperti masalah lingkungan, hak asasi manusia, dan etika teknologi. Rasulullah ﷺ bersabda:

“العلماء ورثة الأنبياء”

“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Imam Abu Dawud)

Hadits ini menunjukkan bahwa ulama memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan ajaran Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga dapat menjadi pedoman bagi umat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

5. Kesimpulan

Pemahaman fiqih dalam kehidupan masa kini harus disesuaikan dengan perubahan zaman tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar syariat. Umat Islam perlu menyadari bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dan dapat diterapkan dalam berbagai situasi kehidupan. Dalam hal ini, ijtihad menjadi instrumen penting agar ajaran Islam tetap relevan dan memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi di era modern.