“Wahai Allah yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kekuasaan pada yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran: 26)

Secara tegas tertulis dalam Al-Qur’an, Allah berikan kekuasaan pada yang dikehendaki.

Allah berikan contoh dengan memberikan kekuasaan pada Fir’aun, Namrud, hingga Abrahah. Penguasa lalim yang membuat kerusakan di muka bumi.

Apakah itu berarti kekuasaan mereka diridhai? Tentu saja tidak! Kita tahu bagaimana akhir kisah kekuasaan mereka. Dari sejarah kita belajar dan mengambil ibrah.

Begitu pentingnya kisah para pemimpin lalim itu, Al-Qur’an sampai menyebut nama Fir’aun sebanyak 74 kali di 27 surat yang berbeda.

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa kisah para pemimpin lalim yang tersebut dalam Alqur’an “mewakili” kedzaliman yang berbeda-beda.

Fir’aun adalah gambaran pemimpin yang aniaya. Ia tega membuat kebijakan kejam, seperti membunuh bayi-bayi laki-laki yang baru lahir dan meminta rakyat mempertuhankannya.

Lalu Namrud, kisahnya diabadikan dalam QS Al-Baqarah 258. Namrud contoh thaghut. Penguasa yang sombong, arogan, membiarkan rakyatnya mati kelaparan jika bersebrangan dengannya.

Berikutnya, Buya Hamka menyebut Abrahah adalah pemimpin yang memiliki sifat riya dan ingin dipuji. Ia seorang pemimpin yang membangkitkan perpecahan antar golongan.

Masih ada lagi, Buya Hamka juga menjelaskan tentang penguasa Asẖabul kahfi, yang mengancam tujuh pemuda jika tidak mau menyembah patung mereka.

Serta penguasa Asẖabul ukhdud yang membakar kaum mukminin yang bertuhankan Allah. Mereka adalah gambaran pemimpin yang bengis dan keras hati.

Istimewanya, Alqur’an tidak menyebut langsung nama para pemimpin lalim itu, bahkan Fir’aun pun bukan nama orang melainkan gelar raja.

Karena Allah ingin tunjukkan, bahwa pemimpin lalim dengan sifat-sifat yang telah digambarkan itu bisa terjadi di setiap zaman dari belahan bumi manapun.

Dan mengapa kisah Fir’aun yang paling banyak disebut dalam Al-Qur’an? Karena kisah pemimpin lalim seperti dirinya selalu relevan sampai akhir zaman, sebagai pelajaran bagi manusia sesudahnya.