Belakangan ini, tidak sedikit sejarawan (Muslim maupun non-Muslim) yang mempersoalkan posisi, konsepsi, serta peran tokoh-tokoh ulama besar di masa konfrontasi Perang Salib (Crusade) yang pecah antara tahun 1095 M hingga 1291 M. Umat Islam dalam durasi tersebut hampir dibuat kalang kabut, karena harus berperang selama hampir 196 tahun lamanya melawan kekuatan koalisi global kerajaan-kerajaan Kristen Eropa.

Di antara sebagian tokoh ulama yang pernah “disudutkan” ialah Suthanul Ulama Imam Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H/1262 M), atau Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H/1111 M). Keduanya jelas-jelas hidup di antara rentang waktu di mana Perang Salib sedang memanas, namun sepertinya tak ada indikasi apapun untuk menggalang kekuatan Muslimin berjihad membendung serbuan pasukan Salibis.

Bukti anti tesisnya, Imam al-Ghazali dalam karya besarnya, Ihyâ’ Ulûmiddîn, tidak pernah menyinggung atau menuliskan satu bab pun tentang jihad. Tak ada informasi apapun tentang Perang Salib atau berita kedatangan pasukan Salib yang jelas telah menduduki beberapa wilayah negeri Muslim. Malahan dalam kitab fenomenal yang pastinya ditulis pada kisaran masa Perang Salib tersebut, Imam al-Ghazali seperti hanya menekankan pentingnya apa yang disebut sebagai Jihâd al-Nafs (jihad melawan hawa nafsu).

Sebagai contoh, Robert Irwin, dalam artikelnya berjudul “Muslim Responses to The Crusades” (1997), menyebut bahwa meskipun Imam al-Ghazali sempat berada di berbagai tempat suci Islam—termasuk di Masjid al-Aqsha sekitar tahun 1096 M—tetapi ia tidak bereaksi apapun bahkan tidak pernah menyebut informasi tentang adanya Pasukan Salib dalam berbagai tulisannya.

Di masa kini, sebagian peneliti dan pemerhati sosial kemanusiaan (dalam skala global) juga sering mempertanyakan peran ulama dalam hal pembelaan mereka terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) secara umum, ataupun hak-hak umat Islam secara khusus. Banyak negara Islam yang sepertinya dibiarkan hancur lebur tersebab konflik internal antar umat Islam sendiri, padahal di negeri itu ada banyak ulama besar dengan keilmuan level global. Di manakah peran para ulama kebanggaan kita?

Ketokohan Sayyidil Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz juga demikian. Sebagian kalangan mempersoalkan posisi atau peran beliau sebagai salah satu ikon ulama besar paling berpengaruh di dunia. Dalam berbagai forum komunikasi, beliau jarang sekali menyinggung konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia Islam. Alih-alih mempersoalkan konflik dunia Islam, nyatanya apa yang disampaikan Sayyidil Habib Umar dalam beberapa forum internasional ialah hanya seputar perbaikan etika-sosial (adab), fan keilmuan, serta indahnya Islam melalui teladan pribadi Rasulullah.

Seperti ada korelasi yang sangat signifikan, antara idealisme yang dimiliki Imam al-Ghazali di masa lampau dengan konsepsi Sayyidil Habib Umar di masa kini, serta konsekuensi yang akan muncul ke permukaan karena perbedaan persepsi orang-orang terhadap peran dan posisi beliau berdua terkait konflik akut yang melanda umat Islam (di masa lalu maupun di masa kini). Fokus problem interpretasi inilah yang harus diluruskan, agar tidak ada peneliti konflik dunia Islam yang menyangsikan ketokohan Imam al-Ghazali dan Sayyidil Habib Umar selama ini.

Bahwa sejatinya Imam al-Ghazali bukan tidak peduli dengan Perang Salib. Tetapi kondisi moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah ketika itu, menyebabkan seruan jihad tidak banyak mendapat sambutan. Karena itulah, para ulama seperti Imam al-Ghazali berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar, yakni dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya pada keyakinan, kecintaan akan ibadah, zuhud, dan jihad di jalan Allah. Sebaliknya, ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan enggan berjihad di jalan Allah. Itulah mengapa Kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn diawali pembahasannya dengan bab tentang ilmu (Kitâbul-Ilmi).

Langkah dan prinsip Imam al-Ghazali ini perlu direnungkan secara serius. Ketika umat Islam mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, Imam al-Ghazali melakukan upaya penyembuhan paling mendasar pada akar problem umat. Sebab, sumber dari segala kebaikan dan kerusakan adalah “hati”. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya didalam tubuh terdapat segumpal darah (mudhghah). Jika ia baik, maka baiklah seluruh fisiknya. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh fisiknya. Itulah hati (Qalb).” (HR. Imam Muslim)

Di masa kini, posisi yang diperankan oleh Sayyidil Habib Umar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kegigihan yang dilakukan Imam al-Ghazali di masa lampau. Konflik yang terjadi di belahan dunia Islam saat ini, tidak seharusnya dilihat sebagai konflik internal umat Islam, namun lebih spesifik ia merupakan problem interes individu yang menginfeksi hati tiap kaum Muslimin. Memperbaiki umat tidak melulu dengan cara memperbaiki negaranya, akan tetapi bisa melalui pembenahan mental personalnya.

Membuat Islam kembali “mulia” tidak harus dengan melakukan perlawanan, tetapi bisa juga melalui transparansi informasi-informasi yang objektif tentang indahnya Islam. Menghadapi dan mengatasi konflik tidak musti dengan cara mengangkat senjata, akan tetapi konflik bisa di redam dengan merujuk kembali pada petunjuk yang disabdakan oleh Nabi Muhammad. Islam sejatinya telah final disampaikan konsep dan aplikasinya semasa Rasulullah masih hidup, yang hal ini berarti juga konsep konflik dan solusinya pun telah final disampaikan oleh Rasulullah. Fokus poin inilah yang mestinya dipahami pada konteks umat Islam saat ini. []