Alhamdulillah washolallahu wasallam ala sayidina rasulillah Muhammad ibni Abdillah wa ala alihi wa shohbihi wa man walah. Amma ba’d…

Qala al-Imam Qadhi Iyadh Abil Fadhl Iyad bin Musa al-Yahsubi, fi kitabihi “Asy-Syifa fi Huquqil-Mushthafa”. Disebutkan bahwa Allah ketika menurunkan “Sakinah”, dan Allah turunkan untuknya ketenangan, ketentraman, kedamaian, tenang.

Jadi orang itu kalau sudah tenang, maka dalam kondisi apapun, dia akan stabil, enak ataupun tidak. Kisahnya Suraqah—telah kita ceritakan kemarin. Bahwa Suraqah ini mengejar Nabi Muhammad dan Sayidina Abu Bakar, tapi Nabi santai, tidak takut. Begitu pula cerita Ketika Nabi bersama Sayidina Abu Bakar ada di dalam gua. Sampai-sampai itu seandainya mereka orang-orang Quraisy yang mengejar Nabi Muhammad di saat hijrah itu melihat tempat kaki mereka berpijak, kata Sayidina Abu Bakar: “Seandainya mereka melihat ke tempat kakinya berpijak, mereka akan melihat kita ya Rasulullah.”

Tapi Nabi santai, tenang. Sebab seorang yang beriman yakin, bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi di muka bumi ini melainkan atas kehendak Allah. Makhluk mau berupaya seperti apapun, kalau Allah sudah tidak berkehendak maka tidak akan sanggup untuk melakukannya.

Ingin membahayakan Nabi Muhammad, menangkap Nabi Muhammad, Allah enggak berkehendak percuma. Makanya Allah kasih ketenangan. Tapi orang yang enggak tenang, penakut, orang yang pengecut, tidak yakin terhadap Allah, jangankan menghadapi musuh di depan mata, menghadapi mara bahaya, nonton aja ketakutan. Nonton sendiri aja, “Aduh, takut!” Dikasih rasa takut oleh Allah.

Sehingga ketenangan itu merupakan nikmat dari Allah. Dikatakan di dalam Perang Badar, dari tenangnya para shahabat, padahal musuh yang di hadapin itu tidak seimbang, 1000 melawan 300 orang. Tapi itu shahabat lagi naik unta, mereka itu tidur, enak tidur. Padahal musuh di depan, nyawanya terancam. Tapi dari tenangnya, sampai jatuh dari atas unta ketiduran. Naik lagi, jatuh lagi. Naik lagi, jatuh lagi.

Kadang kala santri juga begitu, dari tenangnya shalat ngantuk. Dan cerita tentang hijrahnya Nabi Muhammad itu juga Allah kasih ketenangan, nabi tenang, tidak panik. Pernah ada seorang cerita kepada kami kemarin bulan Ramadan, bahwa Habib Umar itu lagi di kantor beliau, sedang baca kitab. Kemudian ada tukang ngebetulin lemari, masang kaca, panjang kacanya. Ternyata kacanya pecah, berantakan semuanya. Sehingga dia ketakutan, “Ya Allah, ini gimana. Nanti Habib Umar kaget.”

Ternyata Habib Umar enggak kaget, enggak apa. Beliau cuma menulis, seakan-akan tidak terjadi apapun. Tapi kaca pecah bukan karena bergurau, kaca itu pecah bukan karena dilempar. Bukan! Fahimtum?

Itu karena fokus terhadap sesuatu dan meyakini bahwasannya Allah bersama mereka. Orang yang merasa dirinya bersama dengan Allah, maka akan senantiasa beradab kepada Allah.

أَنْـتَ وَالْخَلَائِــــقْ   ―  كُلُّـهُـمْ عَبِـــــيـدْ

وَالْإِلَـهُ فِينَــــــــا   ―  يَفْعَـلْ مَــا يُـرِيـدْ

Kalian dan seluruh makhluk itu semuanya hamba, sedangkan yang menentukan, yang bergerak, yang mengatur segala sesuatu, itu sesuai dengan kehendak Allah.”

Dan di antaranya yang menunjukkan akan keagungan dan kebesaran Nabi Muhammad di sisi Allah adalah,

اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ ۝١ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ ۝٢ اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُࣖ ۝٣

Sesungguhnya Kami telah memberimu (Nabi Muhammad) nikmat yang banyak.Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus (dari rahmat Allah). (QS. Al-Kautsar: 1-3)

Firman Allah, “Aku memberimu al-Kautsar, maka shalatlah untuk Tuhanmu, shalat dan menyembelih kurban. Sesungguhnya musuhmu itu, yang membencimu itu yang abtar, yang tidak punya keturunan.” Dalam riwayat lain, “yang sendirian.”

“Adapun dirimu (Muhammad) adalah bersama dengan Allah, dirimu bersama dengan para malaikat.” Itu kata Allah.

Di sini dikatakan, Allah memberitahu kepada Nabi Muhammad akan pemberian-pemberian yang Allah berikan, di antaranya adalah “al-Kautsar”. Apa Kautsar itu? Yaitu telaga, atau merupakan sungai yang ada di surga. Ada yang mengatakan makna daripada al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak; ada yang mengatakan syafa’ah, maksudnya saya kasih syafa’ah kamu, wahai Muhammad; ada yang mengatakan mukjizat yang banyak; juga ada yang mengatakan an-Nubuwah dan al-Ma’rifah, makna daripada al-Kautsar.

Namun riwayat yang paling sahih berdasarkan dengan hadis Nabi Muhammad, makna daripada Kautsar itu adalah Nahrun fil-Jannah (sungai di surga). Pernah Nabi itu tidur, tahu-tahu beliau bangun girang banget, dari girangnya sampai terlihat wajah beliau seperti bulan purnama. Para shahabat bertanya, “Ada apa, ya Rasulullah?”

“Saya barusan tidur, dan saya mendapatkan kabar dari Allah, wahyu dari Allah bahwa saya mendapatkan al-Kautsar.”

Ada yang mengatakan Telaga Kautsar itu adalah telaga yang dalam, yang besarnya itu ukurannya dari ‘Aden—negara ‘Aden di Yaman—sampai ke Yordan. Jadi jauh banget, enggak tahu berapa kalau diukur. Sehingga semuanya minum pun, masih banyak itu air. Nah ini untuk Nabi Muhammad. Makanya beliau sering mengatakan,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الحَوْضِ

“Aku tunggu kalian di telaga nanti.” Banyak riwayat beliau berjanji seperti itu.

Selanjutnya, setelah Allah memberitahu kepada Nabi Muhammad bahwa beliau mendapatkan al-Kautsar, Allah menjawab tuduhan-tuduhan dari musuh-musuh Nabi Muhammad dan Allah bantah ucapan-ucapan mereka. Apa itu? Allah berfirman,

اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُࣖ 

“Sesungguhnya musuhmu, pembencimu itu yang abtar (yang hina). Adapun engkau tetaplah mulia.” (QS. Al-Kautsar:3)

Ada diriwayatkan bahwa Nabi itu oleh orang-orang Quraisy, di antaranya Abu Jahal dan Abu Lahab, mengolok-ngolok Nabi enggak punya keturunan anak laki-laki, sebab anak-anak laki-laki beliau wafat di masa kecil semuanya. “Abtar” katanya, enggak punya keturunan. Maka turun ayat ini,

اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُࣖ

Yang enggak punya keturunan itu ya musuhmu, pembencimu. Adapun Nabi Muhammad enggak, enggak terputus keturunannya. Beliau yang mengatakan,

كلُّ بَني آدمَ ينتَمونَ إلى عَصَبةِ أبيهِم غيرُ ولَدِ فاطمةَ فإنِّي أَنا أبوهم وأَنا عصَبتُهُم

“Semua putra Adam itu bernasab kepada ayahnya, kecuali putra Fatimah—Hasan dan Husein. Maka aku adalah ayah dari keduanya.” (HR. Imam As-Suyuthi)

Dalam hadis yang lain, Ana abuhumawa ashabatuhuma.” Dalam riwayat yang lain, Nabi pernah mengatakan, terkait dengan al-Hasan dan al-Husein.

 إن الله عز وجل جعل ذرية كل نبي في صلبه وإن الله تعالى جعل ذريتي في صلب علي بن أبي طالب رضي الله عنه

“Sesungguhnya Allah menaruh keturunan para nabi itu di dalam tulang sulbi mereka, tapi Allah ngasih keturunanku di dalam tulang sulbi Sayidina Ali bin Abi Thalib.” (HR. Imam Thabrani)

Padahal setelah hijrah, Nabi nanti punya putra, namanya Ibrahim. Kenapa hikmah Ibrahim wafat masih kecil, Ibrahim meninggal masih kecil? Apa hikmah dari semua itu? Di antaranya, Nabi itu pasti memiliki mukjizat dan keistimewaan melebihi nabi-nabi yang lain.

Nabi-nabi yang lain itu mereka meneruskan estafet Nubuwah, diteruskan oleh putra-putranya, diteruskan oleh anak-anaknya dan keturunannya. Seperti Nabi Ibrahim punya dua orang anaknya Nabi, ada Ishaq ada Ismail. Ishaq punya anak lagi, punya keturunan terus, Nabi Ayyub, Nabi Ya’qub, Nabi Yusuf, terus wal-asbat, dan mereka nabi semuanya.

Nah, sehingga dikhawatirkan kalau Nabi Muhammad punya anak laki-laki, dikhawatirkan diyakini sebagai nabi juga. Dan ini bertentangan dengan kehendak Allah yang mengatakan,

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّۦنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab:40)

Kalau ada anak gede, bisa-bisa dia mengklaim, atau bisa-bisa diyakini bahwa beliau adalah seorang nabi juga, karena dia putra dari seorang nabi.

Itu hikmahnya. Lantas bagaimana dengan dengan keturunan Hasan dan Husein? Dalam artian keduanya keturunan daripada Sayidah Fatimah? Dalam hadis yang mengatakan, Nabi pernah mengatakan,

فَاطِمَةُ بَضْعَةٌ مِنِّی

“Fatimah itu bagian dariku.” (HR. Imam Ahmad)

Artinya, karena Fatimah adalah bagian dariku, maka anak-anak dari Fatimah berarti anak anakku. Makanya beliau pernah berkata kepada Sayidina Hasan,

إن ابني هذا سيد ولعل الله أن يصلح به بين فئتين عظيمتين من المسلمين

“Sayidina Hasan akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum muslimin.” (HR. Imam Bukhari)

Di zaman ayahnya (Sayidina Ali bin Abi Thalib) terjadi fitnah dengan Sayidina Muawiyah bin Abi Sufyan, sampai terjadi Perang Shifin, Perang Nahrawan, dan lain sebagainya. Ketika menjadi khalifah, Sayidina Hasan mengalah demi apa? Demi mendamaikan dan menjaga tertumpahnya darah di kalangan kaum muslimin, maka beliau mengalah.

Sayidina Hasan ini memberikan kekuasaan kepada Muawiyah, “Udah deh, ambil aja. Kalau hanya sekedar kekuasaan dzahir, kekuasaan hukum dan politik yang ada di dunia ini, sudah ambil aja. Tapi Sayidina Hasan masih menjadi khalifah secara bathin, beliau secara kewalian masih memegang Khilafah. Nah, itu Sayidina Hasan. Kata Nabi Muhammad,

إن ابني هذا سيد

“Cucuku ini adalah seorang pemimpin.” (HR. Imam Bukhari)

Sehingga Ahlussunah wal-Jamaah meyakini, bahwasannya keturunan Sayidah Fatimah adalah keturunan baginda Nabi Besar Muhammad.

وَلَقَدْ ءَاتَيْنَٰكَ سَبْعًا مِّنَ ٱلْمَثَانِى وَٱلْقُرْءَانَ ٱلْعَظِيمَ

Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang danalQuran yang agung. (QS. Al-Hijr:87)

Sehingga al-Quran secara umum, “sab’ul-matsani” itu Surah al-Fatihah. Berapa jumlah Surah Fatihah? Tujuh. Tapi ada yang mengatakan lebih dari itu, delapan. Kalau di pakai bismillah,lebih lagi. Karena bismillah bukan ayat di dalam al-Fatihah menurut sebagian mazhab. Sehingga kita temukan dalam sebagian mazhab itu langsung baca “al-hamdu lillahi rabbil-alamin.” Enggak baca bismillah.

Meskipun disunahkan membaca bismillah dengan cara “sirri” (lirih). Seperti Imam Ahmad bin Hanbal. Kalau mazhab Maliki sama sekali enggak baca bismillah, langsung baca “Alhamdulillahi rabbil-alamin.” Berdasarkan dengan riwayat-riwayat seperti itu. Tapi kita Madzhab Syafi’i meyakini bahwa bismillah itu merupakan ayat daripada al-Fatihah. Sedangkan bismillah itu juga ada di dalam al-Quran,

إِنَّهُۥ مِن سُلَيْمَٰنَ وَإِنَّهُۥ بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

“Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Naml:30)

Ada yang mengatakan maksud daripada “Sab’ul-Matsani” ini adalah surat-surat panjang; wa qila, “Sab’ul-Matsani” Umul Quran. Itu makna-makna tentang “Sab’ul-Matsani”. Kenapa Fatihah disebut dengan “Sab’ul-Matsani”? Sebab diulang-ulangin di setiap rakaat. Bismillah, baca Fatihah. Rakaat pertama, rakaat yang kedua. Itu dalam Mazahibul Arba’ah. Meskipun nanti dalam mazhab Imam Abu Hanifah boleh diganti dengan apa saja, tidak harus Suratul-Fatihah, yang penting baca surat dari al-Qur’an. Itu kata mazhab Abu Hanifah.

Tapi kalau kita Mazhab Syafi’i wajib pakai al-Fatihah, kecuali enggak mampu, cuman mampu ayat tapi selain ayat Fatihah. Misalnya cuma hafal Qul-huwallahu Ahad, yaudah ganti qul-huwallahu Ahad. Atau misalnya cuman bisa baca zikir, subhanallah wal-hamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar, yasudah itu. Tapi dia tetap berkewajiban untuk belajar, kan begitu di dalam Mazhab Syafi’i. Dan kalau dia enggak mau belajar, berdosa dia. Harus belajar Suratul-Fatihah.

Surah al-Fatihah itu dikecualikan untuk Nabi Muhammad, dan disimpan dikasih kepada Nabi Muhammad yang tidak dikasih kepada nabi-nabi yang lain. Kenapa? Di kasih nama al-Quran dengan “almatsani”, sebab di situ banyak kisah-kisah yang ada di dalam al-Quran, kadang diulangin, kadang kisah Nabi Ibrahim, Nabi Musa, beberapa kali di dalam ayat itu. Maksudnya, “Aku (Allah) telah memberimu, mendatangkan untukmu tujuh kemuliaan, yaitu (1) Petunjuk;

وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى 

Dan Dia mendapatimu sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (QS. Adh-Dhuha:7)

(2) Kenabian dan (3) Rahmah;

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya:107)

(4) Syafaat;

مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ

Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? (QS. Al-Baqarah:225)

(5) Kewalian;

ٱلنَّبِىُّ أَوْلَىٰ بِٱلْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri,” (QS. Al-Ahzab:6)

(6) Pengagungan dan (7) Ketenangan;

Nabi itu enggak pernah panik, enggak pernah emosi, selalu tenang dalam hidupnya. Maka orang yang semakin dekat dengan perangai Nabi Muhammad, maka akan semakin banyak tenang. Makanya kata Nabi dalam dalam hadis;

تعلموا العلم، وتعلموا للعلم السكينة والوقار

Pelajarilah ilmu, dan pelajarilah untuk ilmu ketenangan dan sopan santun” (HR. Imam Thabrani)

Jadi belajar juga bukan hanya ilmu, tapi belajar juga “as-sakinah wal-waqar”, hidup itu tenang, hidup itu dewasa, hidup itu tidak grasa-grusu. Tahu grasa-grusu? Tidak panikan, tidak tergesa-gesa. Kadang kala kita kalau menginginkan sesuatu atau panik sesuatu, cepat ingin diselesaikan. Padahal kadang kala belum waktunya. Nah ini orang-orang yang diberi sakinah oleh Allah, segala sesuatu tidak “musta’jil”.

خُلِقَ ٱلْإِنسَٰنُ مِنْ عَجَلٍ

Manusia itu memang diciptakan dalam keadaan tergesa-gesa (cepat-cepat).”(QS. Al-Anbiya`:37)

إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.”(QS. Al-Ma`arij:19 )

Tapi kata Nabi Muhammad:

اَلْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

“Tergesa-gesa itu dari setan.” (HR. Imam Abu Hatim)

Jadi jangan tergesa-gesa, santai aja dulu. Dalam hidup ini santai segala sesuatunya, jangan tergesa-gesa. Itu kalau orang kena bisul, tahu bisul? Baru tumbuh, pengin cepat kelar. Di pencet-pencet, sampai keluar. Yang keluar bukan bisulnya, yang keluar darah-darah doang? Tambah parah apa tambah sembuh? Justru tambah parah! Makanya ada sebuah kaidah;

من استعجل شيأ قبل أوانه عوقب بحرمانه

“Orang yang tergesa-gesa sebelum waktunya, enggak dapat apa-apa dia.”

Orang pengin kawin, cepat-cepat kawin, tapi belum waktunya kawin. Akhirnya bukan malah dapat, malah enggak dapat-dapat. Karena segala sesuatu ada waktunya. Nah itu pentingnya assakinah, pentingnya tenang dalam hidup itu seperti itu. Bersambung…