وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Dan Kami turunkan kepadamualQuran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,(QS. An-Nahl:44)

“Zikir” itu banyak maknanya. Adakalanya zikir itu “peringatan”, adakalanya zikir itu “nikmat”. Allah mengatakan:

وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرٰى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin.”(QS. Adz-Dzariyat:55)

Adakalanya zikir itu “al-Quran”,

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkanalQuran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.(QS. Al-Hijr:9)

Adakalanya zikir itu bermakna “ingat kepada Allah” dan “mensyukuri rahmat.”

وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ ٱلرَّحْمَٰنِ

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Quran),” (QS. Az-Zukhruf:36)

Allah berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى

Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku,” (QS. Taha:124)

Maknanya zikir itu macam-macam. Nah di sini “aku (Allah) menurunkan kepadamu adz-zikra, untuk menjelaskan kepada manusia (untuk dijelaskan makna al-Quran di sini) apa-apa yang diturunkan kepada mereka, agar mereka berpikir.”

Allah berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba: 28)

Ini ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah memberi bermacam-macam anugerah untuk kekasihnya Nabi Muhammad. “Tidaklah aku mengutusmu, melainkan sebagai utusan kepada seluruh manusia.”(QS. Saba:28)

Makanya umat Nabi Muhammad itu semuanya, baik “umatud-da’wah”, ataupun “umatul-ijabah”. Umatud-Dakwah adalah umat yang masih dalam rangka didakwahi, dalam kondisi masih diajak oleh Allah. Orang kafir yang belum beriman, itu masih termasuk umat Nabi Muhammad, tapi masih dalam rangka proses dakwah. Ada Umatul-Ijabah yakni umat yang sudah menerima, merespon terhadap dakwah kaum muslimin, menerima dakwahnya. Tapi semuanya adalah umat Nabi Muhammad. Dalam hadis, Nabi Muhammad pernah bersabda:

كان النبي يبعث إلى قومه خاصة وبعثت إلى الناس عامة

“Para nabi itu diutus oleh Allah untuk kaumnya secara khusus, dan aku diutus untuk seluruh makhluk (termasuk kepada malaikat, kepada jin, dan seterusnya. Sebagai pemberi kabar gembira dan memberi peringatan).” (HR. Imam Bukhari)

قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا ٱلَّذِى لَهُۥ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْىِۦ وَيُمِيتُ ۖ فَـَٔامِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِ ٱلنَّبِىِّ ٱلْأُمِّىِّ ٱلَّذِى يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَكَلِمَٰتِهِۦ وَٱتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Katakanlah: ‘Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk’”.(QS. Al-A`raf:158)

Pada satu sisi, Allah mengatakan:

إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”(QS. Al-Qashas:56)

وَإِنَّكَ لَتَهْدِىٓ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy-Syura:52)

Imam al-Qadhi Iyadh berkata: “Semua ini merupakan keistimewaan Nabi Muhammad.”

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ

“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya,” (QS. Ibrahim:4)

Setiap nabi itu pasti diutus dengan menggunakan lisan kaumnya. Nabi Bani Israil pakai bahasa Ibrani, maka nabinya pun pakai bahasa Ibrani. Ada pakai bahasa Suryani, kaumnya dari Nabi Isa. Bahasa Suryani itu sampai sekarang masih ada, bukan “maqoli-maqoli” itu, bukan!

Makanya para Dai biasanya mereka adalah orang-orang yang sanggup dan pandai di dalam bahasa kaumnya itu. Kita mempelajari bahasa, mempelajari kosakata dengan baik, semata-mata demi untuk ikut serta di dalam menyampaikan risalah dan nubuwah, serta amanah dari Allah kepada anbiya wal-mursalin.

“Allah mengkhususkan mereka dengan kaumnya, tapi aku (Rasulullah) diutus kepada orang yang berkulit hitam ataupun yang berkulit merah.”

Ada yang berkulit merah, Ahmar, maksudnya kemerah-merahan itu orang yang terlalu putih. Itu kan mereka ada merah, sebetulnya mereka enggak putih, tapi mereka itu berkulit merah. Dan warna kulit itu tidak menentukan kemuliaan seseorang, kehebatan seseorang. Al-Imam as-Suyuti itu sampai punya karangan, lupa saya judulnya “Keutamaan orang-orang yang berkulit hitam”, karena banyak para ulama yang seperti itu, banyak para anbiya wal-mursalin.

Ada seorang disebut dengan Bisyir al-Hafi, kalau tidak salah. Itu berkulit hitam, tapi kalau beliau lewat itu bekasnya orang rebutan, bekasnya orang pengin dapat berkah dari Bisyir al-Hafi. Makanya dalam agama kita tidak ada beda antara yang putih ataupun yang hitam, semuanya adalah takwa kepada Allah.

ٱلنَّبِىُّ أَوْلَىٰ بِٱلْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَٰجُهُۥٓ أُمَّهَٰتُهُمْ ۗ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ إِلَّآ أَن تَفْعَلُوٓا۟ إِلَىٰٓ أَوْلِيَآئِكُم مَّعْرُوفًا ۚ كَانَ ذَٰلِكَ فِى ٱلْكِتَٰبِ مَسْطُورًا

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).(QS. Al-Ahzab:4)

Maksudnya “awla bil-mu’minin”, bahwa apa yang telah diterapkan, yang diputuskan oleh nabi, maka itu harus dilaksanakan. Seperti seorang Sayid kepada kepada budak-budaknya. Artinya kita di depan nabi ini enggak punya hak, di depan nabi kita harus tunduk dan patuh, disuruh apa aja harus patuh. Ada yang mengatakan:

ٱلنَّبِىُّ أَوْلَىٰ بِٱلْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri,”(QS. Al-Ahzab:4)

Maksudnya, mengikuti perintah nabi itu lebih utama dibandingkan dengan mengikuti pendapatnya sendiri. Zaman kita sekarang ini, kalau akhir zaman orang-orang itu maunya pendapatnya yang menang dengan segala cara, meskipun harus menipu, meskipun harus hoaks. Ini termasuk tanda akhir zaman.

إذا رأيتَ شُحّاً مُطاعاً، وهوىً متبَعاً، ودنيا مؤثرة، وإعجابَ كل ذي رأي برأيه، فدع عنك أمرَ العامة، وعليكَ بخاصة نفسك

Jika kalian mengikuti nafsu dan harus diikutin—ini orang kalau sudah maunya sampai aneh-aneh, orang laki pengin jadi perempuan, orang perempuan pengin jadi laki, maksa padahal enggak bisa. Orang laki pakai operasilah, pakai ini. Orang laki enggak mungkin jadi perempuan. Sebaliknya, orang perempuan pakai fitness, pakai ini pengin jadi laki. Ya Allah, itu maksakan kehendak namanya.

Di zaman sekarang ini, jangankan aturan, hukum Allah saja yang bersifat Kauniyah (ciptaan permanen), pengin dirubah. Bisa enggak matahari keluar dari Selatan? Dipaksa itu, gimana manusia di zaman kita sekarang ini. Ciptaan-ciptaan Allah, sudah cakep-cakep, mukanya cakep, eh merasa kurang dioperasi, tambah begini. Akhirnya keluar kayak setan, karena memaksakan kehendak.

Begitu pula di dalam berpendapat, di dalam beragama. Ada Fulan bilang begini, Fulan begitu, enggak didengerin. Apapun maunya yang penting pendapat dia harus di turuti. Nah, seorang yang beriman belajar untuk mengalah, untuk mengikutin kemauan sesuatu yang lain, bagaimana kita tunduk atas kemauan Allah dan juga kemauan Nabi Muhammad.

لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ

“Tidaklah beriman—kata Allah—sehingga mereka itu menjadikan Engkau sebagai hakim dan di dalam hatinya enggak ada haraj, enggak ada terpaksa.” (QS. An-Nisa:65)

Harus pasrah, sebab itu orang-orang yang beriman. Makanya dengarkan tadi hadis itu, “al-marja’iyah” katanya. Marja’iyah itu tempat kembali. Kepada siapa? Ya satu-satunya hanya Allah dan rasul-Nya, enggak ada yang selain keduanya. Kata nabi:

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ

“Tidaklah sempurna iman seorang, hingga hawa nafsunya mengikuti ajaran yang aku (Rasulullah) bawa.” (HR. Imam Baghawi)

Benar-benar kita ini di pesantren itu melatih untuk melawan hawa nafsu, pengin keluar yang enggak diikutin, tahan! Pengin begini, kesel sama ini, belajar bersabar. Itu proses! Sampai pada akhirnya kita sanggup patuh dan menerima segala ketetapan dari Allah dan rasul-Nya, baru itu akan mendapatkan hakikat keimanan dan manisnya iman.

Para “Ummahatil-Mukminin” di dalam hal keharaman (bagi umat Islam) itu seperti orang tua, jadi gak boleh menikah istri-istri Nabi Muhammad. Haram hukumnya orang-orang mukmin menikahi mereka setelah Nabi Muhammad. Dan orang yang macam-macam terkait dengan hal ini, itu ngacau.

Ada orang datang, Dzul-Khuwaisirah namanya kalau enggak salah, datang kepada shahabat. “Nanti kalau Muhammad mati, saya kawinin Aisyah,” katanya. Kurang ajar banget. Maka kata nabi: “Akan keluar Khawarij dari sulbi orang ini.” Dan benar Khawarij itu keturunan dia, yang membunuh para shahabat, membunuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, yang menghalalkan darah kaum muslimin, keturunan dari orang yang kurang ajar kepada Nabi Muhammad ini.

Sebab itu sebagai bentuk penghormatan dari Allah untuk Nabi Muhammad dan keistimewaan. Dan karena mereka, Ummahatul-Mukminin itu merupakan istri Nabi nanti di akhirat. Terus mau diambil sama orang lain?

Ada yang membaca (Qari’ah): “Wa Hua Abun lahun”, ada yang pembacaan seperti itu, tapi enggak dibaca hari ini, karena bertentangan dengan mushaf yang ada. Disebut dengan Qira’ah Syadzah, bacaan al-Quran yang jarang dan menyalahi kebiasaan qira’ah yang ma’ruf, yaitu adalah Qira’ah Sab’ah atau Qira’ah Asyrah. Nah ada sampai 14 model para ulama menyebutkannya, tapi itu banyakan qira’ah syadzah yang tidak dibaca.

وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

“Dan Allah menurunkan kepadamu Al-kitab dan hikmah, dan mengajarkan kepadamu sesuatu yang tidak engkau ketahui sebelumnya.”(QS. An-Nisa:113)

Anugerah itu adalah nubuwah (kenabian) dan telah Allah tetapkan di zaman azal sebelum terciptanya alam semesta. Dan yang disebutkan disini oleh Al-Imam al-Washiti, “fadlullahil-adzim” itu maksudnya sebagai isyarah bahwa Nabi Muhammad bisa untuk memandang Allah, di mana pandangan ini tidak sanggup dilakukan oleh Nabi Musa ketika beliau mengatakan:

قَالَ رَبِّ اَرِنِىۡۤ اَنۡظُرۡ اِلَيۡكَ‌ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰٮنِىۡ

“Ya Allah, aku Ingin melihatmu. Engkau tidak akan bisa melihatku, wahai Musa.” (QS. Al-A`raf:143)

Allah kemudian berfirman:

لٰـكِنِ انْظُرۡ اِلَى الۡجَـبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَكَانَهٗ فَسَوۡفَ تَرٰٮنِىۡ‌ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلۡجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَّخَرَّ مُوۡسٰى صَعِقًا‌

“Tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (QS. Al-A`raf:143)

Nabi Musa itu roboh dan pingsan. Tapi untuk Nabi Muhammad, justru dipanggil oleh Allah.

ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّىٰ * فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ * فَأَوْحَىٰٓ إِلَىٰ عَبْدِهِۦ مَآ أَوْحَىٰ * مَا كَذَبَ ٱلْفُؤَادُ مَا رَأَىٰٓ

“Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.” (QS. An-Najm: 8-11)

Keistimewaan Nabi Muhammad bisa memandang Allah, sedangkan Nabi Musa enggak sanggup.

Sallallahu Alaihi Wa alihi wa shahbihi wa sairil-anbiya wal-mursalin ajma’in. Wallahu a’lam bish-shawab…