Shalahuddin Al Ayubi dikenal sebagai pahlawan Islam. Dialah yang memimpin pasukan Islam membebaskan Al Quds (yang di atasnya berdiri Masjidil Aqsha) dari cengkeraman pasukan Salib.
Tentu saja Shalahuddin tidak tiba-tiba datang begitu saja. Dia salah satu hasil dari pembinaan panjang yang dilakukan para ulama. Bahkan, sebagian orang percaya, andaikan tidak muncul Shalahuddin, pasti bakal hadir tokoh lain. Artinya, orang sekualitas Shalahuddin saat itu tersedia cukup banyak.

Ini bukan berarti mengecilkan peran Shalahuddin. Dia tetap tokoh besar yang berjasa besar mengembalikan Al Quds kepada pangkuan umat Islam. Hanya saja, kualitas umat Islam saat itu memang mumpuni, setelah sebelumnya carut marut penuh konflik. Para ulama kemudian berhasil mengobati penyakit akut itu.

Lantas, bagaimana jerih payah para ulama membentuk generasi pembebas Al Quds? Dengan merujuk kepada karya Dr Irsan Majid Al Kilani, seorang cendekiawan yang lahir di Yordan yang berjudul Ha Kadza Dhahara Jail Shalahuddin wa Ha Kadza ’Ada Al Quds (Beginilah Lahirnya Generasi Shalahuddin dan Beginilah Kembalinya Al Quds), Ihwal edisi ini akan memberikan jawaban dengan jelas. Selamat membaca!

Ulama Sibuk Berdebat, Umat Dibantai Musuh

Ulamanya sibuk berdebat, penguasanya gila dunia, musuh pun dengan mudah menyerbu. Keadaan umat Islam pada periode 369 H, sungguh sangat menyedihkan. Para ulama banyak terlibat dalam perdebatan antar madzhab. Seakan perdebatan itu sudah menjadi tontonan yang lumrah.

Tak jarang, perdebatan itu berakhir dengan pertumpahan darah. Inilah yang menguras pikiran dan tenaga mereka, hingga persoalan mendasar yang dihadapi umat terabaikan. Mereka sudah tidak sempat lagi mengetahui apa yang sedang terjadi di sekitar mereka.

Kebanyakan, hal yang mengundang perdebatan adalah perbedaan persepsi mengenai sifat-sifat Allah. Sebenarnya, perdebatan semacam itu tidak pernah terjadi di masa generasi salaf, karena mereka memilih menyerahkan makna ayat-ayat tersebut kepada Allah. Bila perbedaan itu hanya sebatas pada pendapat, tentu saja tidak terlalu bermasalah. Yang menyedihkan, perdebatan itu diikuti dengan pertumpahan darah.

Para sejarawan Muslim merekam perseteruan memilukan itu dengan amat terperinci. Disebutkan dalam catatan para sejarawan, pada tahun 369 H datang Abu Nashr Al Qushairi ke madrasah An Nidzamiyah Iraq. Ia mencela pengikut Hanbali dan menisbatkan mereka dengan aqidah tajsim (penyerupaan sifat Allah dengan sifat makhluk yang memiliki anggota badan).

Tentu saja celaan itu memancing kemarahan pengikut Hanbali. Terjadilah kemudian kericuhan. Celakanya, kericuhan itu tak cuma terjadi di Nidzamiyah, tapi juga merembet ke luar madrasah. Ada lagi kericuhan lain. Tahun 470 H, para pelajar An Nidzamiyah Iraq yang bermadzhab Syafi’i dan Hanbali kembali terlibat perseteruan. Bahkan perseteruan itu melibatkan kaum awam, hingga terbunuh kurang lebih 20 orang, dan beberapa lainnya menderita luka-luka.

Jatuhnya korban jiwa tidak membuat perseteruan itu berhenti. Pada tahun 475 H, para penganut madzhab As Syafi’i mengundang Abu Al Qasim Al Bakri ke Madrasah An Nidzamiyah, untuk memberi ceramah. Dalam ceramahnya, Qasim menyindir para pengikut Hanbali dengan mengatakan, ”Tidaklah kafir Sulaiman, akan tetapi syetan-syetanlah yang kufur (karena aqidah tajsim). Demi Allah, tidaklah Ahmad kafir, akan tetapi para pengikutnyalah yang kafir.”

Tak terima dengan sindiran itu, pengikut Hanbali lalu menyerbu Nidzamiyah dan menjarah buku-buku yang ada di dalamnnya.

Pada tahun 478 H, kembali peristiwa serupa terjadi. Saat Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al Faurki berkunjung ke Bagdad dan memberikan ceramah di madrasah An Nidzamiyah, muncullah kekacauan seperti sebelumnya.

Pada tahun 495 H, para pelajar Hanbali melakukan fitnah terhadap salah satu pengajar Madzhab Syafi’i di madrasah An Nidzamiyah, Muhammad bin Ali Ath Thabari. Mereka menuding ulama ini menganut sekte Bathiniyah.

Akibatnya, dia ditahan dalam penjara. Kemudian Syeikh Ibnu Aqil, ulama madzhab Hanbali mendatangi penguasa untuk bersaksi bahwa Muhammad terbebas dari tuduhan yang ditujukan kepadanya. Teman Imam Al Imam al-Ghazali ini akhirnya dibebaskan.

Di tahun 521 H, Abu Al Fath As Isfarayini, salah satu tokoh madzhab Syafi’i, mengunjungi Baghdad. Dia menjadikan Masjid Jami’ Al Manshur tempat untuk menyampaikan pelajaran dan petuah, hingga masyarakat sekitar tertarik.

Tapi, para pengikut madzhab Hanbali tidak menyukai hal ini. Mereka mengumpulkan para pengikut dan melakukan kekerasan terhadap beliau. Selanjutnya mereka keluar dan berteriak di jalanan, ”Hari ini adalah kemenangan Hanbali! Bukan Syafi’i atau Asy’ari!”

Perseteruan dalam Madzhab

Keadaan di Syam tak berbeda jauh dengan Iraq. Abdullah Al Balasa’uni, seorang hakim Damaskus, bermadzhab Hanafi, sangat benci terhadap madzhab Syafi’i. Suatu saat ia pernah mengatakan, ”Kalau seandainya aku penguasa, maka aku benar-benar mengambil jizyah terhadap para pengikut Syafi’i.”

Pada masa itu pula banyak ulama yang berganti madzhab karena ingin memperoleh kekuasaan. Abu Wafa’ Ali bin Aqil menyebutkan, karena daulah Nidzamiyah mendukung madzhab Syafi’i-Asy’ari, banyak pengikut Hanbali yang berpindah menjadi pengikut Asy’ari karena rakus kekuasaan.

Kedatangan Pasukan Salib

Di saat kaum Muslimin tercabik-cabik, datang kaum Salib dari Eropa dengan senjata yang terhunus. Dengan amat mudah mereka menguasai Anthakiyah. Setelah itu menyusul kota Al Quds, Ramallah, dan Asqalan.

Dua penguasa Syam di Halab dan Damaskus sama sekali tak berkutik. Mereka memilih membayar upeti sehingga pasukan itu dengan bebas membantai umat Islam dengan cara amat keji.

Pada tahun 492 H, 70 ribu umat Islam, termasuk para wanita, anak-anak, ulama, para pencari ilmu, serta orang-orang zuhud di bunuh di sekitar Al Aqsha.

Setelah umat Islam banyak terbantai di Al Quds, sedangkan penguasa Syam tidak berbuat apa-apa, sekelompok penduduk Syam melakukan perjalanan menuju Iraq untuk meminta pertolongan. Qadhi Abu Sa’d Al Harawi adalah salah satu ulama yang berada dalam rombongan itu.

Adapula yang sengaja membawa sekarung tengkorak, rambut para wanita dan anak-anak, serta pakaian yang berlumuran darah, untuk ditunjukkan kepada para penguasa di Baghdad. Harapannya, dengan itu semua hati para penguasa terketuk, hingga bersedia mambantu saudara mereka di Syam.

Namun, nyatanya kekecewaanlah yang mereka dapatkan. Saat menerima para utusan dari Syam, Khalifah malah menolak permintaan mereka dan mengatakan kepada menterinya, ”Ada hal yang lebih penting dari hal ini! Sudah tiga hari aku tidak melihat merpatiku!”

Saat itu, di Baghdad perlombaan merpati sangat populer. Kalangan rakyat jelata hingga para pejabat ”tergila-gila” dengan permainan ini.

Gerakan Islah dari Imam al-Ghazali 

Menata umat Islam dulu, baru melawan pasukan Salib. Tak hanya sibuk berdebat, para ulama pada periode abad 4 H juga dihinggapi penyakit dunia. Mereka tergila-gila pada harta dan kekuasaan. Salah satu ulama itu adalah Imam al-Ghazali, yang mendapat gelar Hujjatul Islam.

Saat itu, Imam al-Ghazali diangkat sebagai guru di Madrasah Nidzamiyah (484 H). Imam al-Ghazali menunjukkan diri sebagai ulama yang brilian. Muridnya banyak. Berasal dari berbagai madzhab.

Di antara ulama, banyak juga yang belajar kepada dia. Tak heran bila kemudian pendapatnya banyak dikutip para ulama lainnya.

Sayangnya, saat itu Imam al-Ghazali juga tergoda kepada nikmat duniawi. Bayangkan, pakaian yang dia pakai amatlah mahal. Harganya mencapai 500 dinar atau sekitar Rp 500 juta!

Dia juga pernah meminta gelar kebesaran kepada Anu Syirwan, pajabat kekhalifahan Thus. Bahkan, disebutkan dalam Tabyin Kadzb Al Muftari, ulama yang ini memiliki sifat sombong dan menganggap remeh orang lain dikarenakan kecerdasan yang dia miliki.

Bedanya dengan kebanyakan ulama, Imam al-Ghazali segera menyadari kesalahan yang telah dilakukan itu.

Pergi ke Syam dan Hijaz

Sejak itu, dia berguru kepada para ulama zuhud seperti Syeikh Al Fadh bin Muhammad Al Farmazi, murid Al Qusyairi. Setelah itu dia melepaskan jabatannya sebagai pengajar Nidzamiyah, pergi ke Syam dan Hijaz selama 10 tahun.

Dalam kurun waktu itu, dia mengevaluasi total semua tindakan yang pernah dibuatnya. Ihya Ulumuddin dan Al Mungkidz min Ad Dzalal adalah karya yang dihasilkan selama menetap di dua wilayah tersebut.

Begitu buku itu selesai ditulis, dia kembali ke Iraq dan mengajarkan karya terbarunya itu. Namun, tak lama kemudian, Imam al-Ghazali mengasingkan diri ke At Thus, kampung halamannya. Di sini dia mendirikan madrasah di samping rumah tempat tingganya.

Suatu saat Menteri Fakhr Al Mulk memintanya agar bersedia mengajar kembali di Madrasah Nidzamiyah. Permohonan itu dikabulkan oleh Imam al-Ghazali. Namun, dia tidak bisa bertahan lama. Dia memutuskan kembali ke Thus.

Waktu itu, sifat Imam al-Ghazali sudah tampak jauh berbeda dengan sebelumnya. Pakaian yang dipakai harganya tidak lebih dari 15 qirath saja. Tidak hanya membersihkan hati sendiri, dia juga mulai melakukan diagnosa mengenai penyakit-penyakit yang diderita umat. Begitu menemukan penyakitnya, dia lalu melakukan gerakan islah untuk menyembuhkan penyakit kronis ini. Bersambung…

Sumber : http://majalah.hidayatullah.com/2010/06/jalan-panjang-melahirkan-generasi-shalahuddin